Aku itu berani bersumpah, kalau ini sungguh menjengkelkan. Aku nampak seperti seekor tikus yang dimasukkan kedalam kandang kucing. Tapi bukan itu kenyataanya, bagiku ini justru lebih parah ketimbang kejadian tahun lalu saat diriku tidak sengaja menjatuhkan beberapa bola basket yang tengah kubawa kedalam lapangan yang tengah dilaksanakan perlombaan sengit. Hingga beberapa di antara pemainnya harus dilarikan ke ruang kesehatan karena cidera ringan dan sebagai hukuman untuk diriku, aku harus membersihkan seluruh lapangan olahraga sebulan penuh.
Ya tuhan. aku mengerang. Rambutku acak-acakan disertai pakaian yang sudah tidak berbentuk ditambah wajah yang mungkin sudah terlihat seperti gembel jalanan bahkan lebih buruk dari itu.
Ini sudah jam sembilan, namun seseorang tak bertanggung jawab sudah merusak acara malamku yang jauh lebih buruk dari dikejar oleh anjing tetangga yang paman Roy lepaskan tadi pagi.
Aku bahkan nyaris ingin berteriak ketika tanganku berhasil membuka pintu ruangan dengan tulisan 'kantor kemahasiswaan' yang langsung disambut meriah oleh tumpukan kertas-kertas putih yang setengahnya sudah berserakan di lantai. Ditambah beberapa kaleng soda yang tercecer di atas meja komputer yang dinyalakan begitu saja. Tempat sampah yang penuh dengan gumpalan kertas juga map-map yang ditumpuk asal di atas laci meyambut pandanganku kala itu.
Mungkin barangkali merasa lega ketika tidak menemukan presensi seseorang yang lebih berhak untuk berada di ruangan itu. Menarik napas panjang, tubuh kurusku berjalan menghampiri meja terlebih dahulu, mencuri pandang untuk memastikan sekali lagi bahwa tidak ada manusia lain selain diriku.
Oh. Mungkin, tidak. Pemikiran itu harus di ralat tatkala seorang lelaki jangkung bermata sipit berdiri menyender di tepi lemari kaca tepat di sisi kiri ruangan, melipat tangannya di depan dada disertai seringaian menyebalkan menghiasi wajahnya.
Mencoba mengabaikan, aku mendengus ketika aku membungkukkan tubuhku, mengambil serangkaian kertas yang sedikit kotor dilantai lalu menatanya rapi dengan kertas lain di atas meja.
Tak lupa ku kumpulkan kaleng-kaleng soda kosong lalu membuangnya di tempat sampah yang dipenuhi gumpalan kertas. Bola mataku sempat mencuri pandang ke arah lelaki itu, mendecih tidak suka lalu berjalan ke arah rak buku, menyusun berbagai macam map yang di dominasi oleh warna hitam itu ke tempat semula dengan sedikit membantingnya.
"Rusak sama dengan hukuman."seru lelaki itu tiba-tiba. Menggeser kursi putar lalu mendudukinya begitu saja.
Diriku meremas pelan map ditangan. Seharian ini aku benar-benar berhasil menjadi mainan monster gila kontrol. Mulai dari menyemir sepatunya, membawa catatannya, membeli makan siang untuknya. Oh astaga. Lalu sekarang satu-satunya orang yang pantas disalahkan akibat hukuman ini hanya si monster itu.
Kano Hansen Andreas, sang manusia gila kontrol.
Ia benar-benar membencinya. Sangat.
Selesai dengan map. Tubuhku berbalik---menerima kenyataan bahwa pekerjaanku sia-sia. Darah seketika mendidih ketika melihat gumpalan kertas di lantai itu semakin banyak tatkala diriku mengadahkan kepala, menemukan seekor monster gila kembali melemparkan gumpalan-gumpalan kertas ke lantai.
Bibirnya berulang kali mengulum senyum kemenangan. Seperti ada kebahagiaan tersendiri saat melihat korban kekejamannya sengsara setengah mati.
"Kano___"
"Presiden mahasiswa." Ralat kano. Masih mempertahankan senyumnya.
"Tsk, presiden mahasiswa. Tolong jangan buang sampah di lantai, kau menambah berat hukumanku. Aku sudah lelah membersihkannya." ucapku mencoba mengontrol nada ucapan.
Aku sudah sangat lelah ketika harus berdebat dengan lelaki itu. ditambah harus kembali membersihkan kekacauan yang dibuat oleh Kano.
"Aku sudah membuangnya pada tempat yang seharusnya," Kano mengendikkan bahunya acuh, "Tempat sampah, kau."
Kano menyipitkan matanya, bola mata bergerak menelusuri setiap inci tubuhku mulai dari ujung kaki hingga kepala, jarinya bergerak-gerak memutar. Seakan sedang menilai sesuatu dari diriku.
"Tempat sampah, Aletta." Ucapnya sekali lagi. Lebih menekankan disetiap katanya.
Dasar brengsek, idiot, bedebah. Terkutuk kau Presiden mahasiswa.
Mengepalkan tanganku sekuat tenaga ketika tiba-tiba Kano tertawa keras, hampir terpingkal. Buku-buku jariku hampir memutih, kugigit bibir bawahku kuat-kuat ketika diriku mencoba meredam amarah, hampir memaksa keluar saat tiba-tiba teringat bahwa keadaan akan semakin buruk jika aku sampai melakukannya.
Kano memiringkan kepalanya, menggunakan satu tangan sebagai tumpuan sedangkan tangan satunya menunjuk-nunjuk lantai, aku baru mengerti maksudnya saat lelaki itu berujar memerintah, "Jangan diam saja, cepat bersihkan lagi teman-temanmu itu."
Menghirup udara kuat-kuat lalu membuangnya dengan kasar. Diriku barangkali tertawa miris. Meratapi nasib semenjak aku berurusan dengan sang gila kontrol. Mencoba untuk bersabar selagi diriku menemukan kelemahan lelaki itu.
#
"Aletta, matamu bengkak!"
Kirby menyentuh wajahku, memutarnya kesana kemari dengan bingung. Lalu aku menyentak tangannya, kembali menyelusupkan wajah ke atas meja lalu bergumam tidak jelas.
"Ya. Ada apa denganmu? Kau sakit?"
Kirby membungkukkan badan, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku lalu menyentuh kedua pundakku. Jemarinya bergerak menyentuh rambut milikku yang menutupi wajah lalu mengusap pipiku pelan, menepuknya beberapa kali hingga aku meringis pelan.
"Jangan sentuh pipiku, rasanya sakit."
Kirby mengangguk pelan, mengerti. Kembali membawa tubuhnya untuk menyandar tatkala ia berujar pelan, "Apa yang terjadi padamu? kau bahkan tidak menjawab panggilanku malam tadi."
Mengangkat wajahku, mengacak rambutku asal-asalan lalu menopang dagu dengan kedua tangan, "Takdir terburuk yang pernah ada."
"Apa yang terjadi?"
"Kau tau kisah seorang malaikat maut dalam drama Goblin? Tidak, tidak. Lebih tepatnya seorang iblis yang memangsa gadis lemah? Itu yang terjadi padaku." Ucapku mengada, suaraku bahkan lebih terdengar seperti gumaman.
Kirby mengerutkan dahinya samar, seperti menerawang apa yang baru saja aku katakan. Lalu, ia menggelengkan kepalanya tidak percaya. Kepalanya diserang pening seketika saat memikirkan perkataanku baru saja.
"Kau ini bicara apa, sih? Malaikat maut? Iblis? Gadis lemah? Ok, ok. Sekarang tenangkan dirimu dulu sebelum bercerita yang sebenarnya."
Kirby memutar tubuhku agar menghadap ke arahnya, menyentuh pundakku agar duduk dengan posisi yang benar.
Diriku sendiri barangkali sudah malas-malasan untuk bercerita, mood yang sudah hancur lebur tatkala ibu pagi tadi mengomel tak karuan saat mendapatiku menyelusup masuk ke dalam rumah pukul dua pagi, setelah manusia brengsek itu puas mempermainkanku.
Seketika ingatanku kembali pada malam itu, dimana diriku terus saja bekerja di bawah pengawasan Kano yang tak henti-hentinya memperkeruh keadaan. Membuang kembali kertas yang telah tersusun, menyalakan komputernya tanpa dimatikan, hingga menginjak-injak lantai hingga diriku lelah sendiri.
Diriku bahkan sempat merasa heran, saat diriku mengomel ingin pulang, namun hanya suara dari pendingin ruangan yang mengisi keadaanya kala itu, lantas aku segera membalikkan badan dan mendapati sang pengacau itu tengah melipat tangan dengan mata yang telah terpejam rapat.
Sempat terbesit di kepala saat melihat wajah polos Kano saat tertidur, seratus delapan puluh derajat bedanya saat lelaki itu sudah membuka mata.
Wajahnya yang tenang, bibir yang mengkerut lucu, napasnya yang teratur sempat mengecoh bahwa sebenarnya sang pemilik adalah monster gila yang bersembunyi di balik wajah kamuflase.
Namun, pada malam itu aku menyadari bahwa kadar ketampanan paling puncak seorang lelaki adalah ketika mereka terlelap. Polos dan tidak berdosa.
"Hei, Aletta!"
Kesadaranku kembali, menggeleng-gelengkan kepalaku saat diriku berspekulasi sedemikian rupa, oh apa itu? tidak, tidak. Kau sudah tidak waras Aletta Florencia Yasmine! Lantas aku kembali menatap Kirby tatkala berucap agak bingung, "Apa?"
"Pacarmu sudah datang."
Perkataan Kirby membuatku mengedipkan mata berulang kali, mencoba mengumpulkan kesadaran saat irisku menangkap bayangan lelaki bersurai hitam tengah tersenyum manis. Berdiri agak jauh dari tempatku sekarang.
"Ya, Aku suka gaya rambut barumu, Daniel!" Seru Kirby keras ketika baru saja aku membawa tubuhku bangkit dari kursi, meraih tas lalu menghampiri kekasihku itu.
Daniel tersenyum ketika berujar agak malu, "Thanks, Kirby."
Aku segera menarik tangan Daniel keluar sebelum monster datang mengacau, memberi isyarat 'OK' ketika Kirby Berteriak bahwa diriku memiliki hutang cerita padanya. melambaikan tangan sebelum menghilang di belokan pintu.
Cuaca mirip sauna dari waktu ke waktu, matahari begitu terik ketika kami berjalan di koridor lantai satu menuju parkiran. Ini adalah kali pertama dari beberapa bulan yang lalu aku memiliki waktu berdua setelah kepergian Daniel ke Jepang guna melanjutkan pendidikannya.
Biasanya, waktu sekolah menengah Daniel akan setia menungguku di depan pintu kelasku hingga selesai. Mengajak pulang bersama walau akhirnya berakhir ke perpustakaan kota. Kami telah bersama semenjak aku berada di tahun terakhir masa SMA, saat dimana Daniel menjadi adik kelasku kala itu.
Well, tentunya Daniel Guanna sebagai siswa kelas 11 sedangkan diriku siswi kelas 12.
"Kau tidak membohongi ayahmu lagi, kan?" tanyaku saat kami telah sampai di parkiran. Daniel membuka pintu mobilnya lalu menyuruhku masuk sebelum berkata menambahkan, "Jangan lupakan kali terakhir ayahmu mengomel padaku karena kau selalu meminta pulang agar bisa bertemu denganku."
Pemuda itu lantas terkekeh, menggeleng samar lalu berkata meyakinkan, "Hmm, tidak, kok. Libur musim panas sedang berlangsung, jadi ya aku kemari saja. sekalian bertemu denganmu, melepas rindu," katanya. Menyengir lucu.
Mengusap rambutnya, diriku baru menyadari perubahan kecil yang terdapat dari penampilan baru pemuda itu, mengerjab kagum lantas berbicara, "Woah, kau terlihat jauh lebih dewasa saat penampilanmu seperti ini, Niel."
"Benarkah? Apa iya?" Daniel terkekeh lalu menundukkan kepalanya, menghadap ke arah spion mobil sambil mengusap tatanan rambutnya.
Aku tertawa, merasa gemas sendiri tatkala kuacak-acak rambut kekasihku itu walau sang korban mengerucutkan bibir, merasa kesal karena tampilannya harus rusak akibat ulah gadisnya. Menarik tanganku hingga membuat tubuhku terbanting kedepan, Daniel mendekap tubuh kurusku dengan erat, menekan wajaku hingga ke ceruk lehernya. Merasakan hembusan napasku yang sudah tidak teratur. Lelaki itu sendiri sesekali menghirup aroma Mint yang dihasilkan dari rambut milikku, "Aku merindukanmu, sangat." Katanya.
Refleks aku tersenyum, diriku bahkan tidak bisa mengungkapkan bagaimana manisnya pemuda itu karena diriku memang menyukainya. Daniel masih memelukku hingga aku mencoba menggeser wajahnya, mencari pundak lelaki itu untuk dijadikan sandaran sebelum irisku menangkap sesuatu di ujung jalan.
Kano berdiri di samping mobil berwarna merah dengan sorot mata yang dipenuhi kebencian mengarah ke kami berdua, mengepal tangannya kuat-kuat dengan dada yang naik turun menahan amarah.
Sial!
#
Datang ke ruang olahraga. Sekarang.
Aku bergerak tidak nyaman. Sudah sepuluh menit berlalu sejak kelasku berakhir hari ini, selama itu pula ponselku terus bergetar menerima sebuah pesan yang sama dari orang yang sama pula. Bahkan, jumlah yang dikirimkan barangkali mencapai angka dua puluh pesan. Namun yang perlu ku lakukan hanya mengabaikan Kano.
Ya, benar. Hanya perlu mengabaikan.
Menggelengkan kepala, merasa atmosfir ruang kelas telah berubah secara drastis sejak dikirimnya pesan itu. Menutup wajahku lalu menempelkan di atas meja.
Baru beberapa detik, ponselku kembali bergetar. Kali ini aku mencoba membacanya, walau wajahku sudah ditekuk malas-malasan saat sang pengirim mengancam akan membuatku bersenang-senang di ruang kemahasiswaan semalam penuh jika tidak datang menemui.
Alhasil, diriku beranjak dari kursi, menghela napas gusar saat mendapati diriku sendiri sangat payah untuk mengabaikan.
Tentu. Aku tidak mau pergi. Lebih-lebih berpikir akan menjadi bulan-bulanan Hilter. Ditambah bayangan ekspresi tidak suka Kano ketika aku bersama Daniel tadi pagi, di parkiran saat pemuda itu memelukku erat.
Disisi lain, Kano barangkali sudah membuka-tutup layar ponselnya dua detik sekali. Menggertak jengkel saat benda itu tidak kunjung mendapat balasan pesan. Dirinya bahkan berniat melakukan perbuatan konyol dengan menyeret gadis itu langsung dari kelasnya jika saja otaknya masih berfungsi baik dengan memikirkan kedudukan dirinya di kampus ini.
Bagus Al, sepertinya ini akan menjadi lebih menyenangkan saat di kantor kemahasiswaan. Tercetus dalam pikiran liarnya.
Mengacak-acak rambutnya frustasi, Kano barangkali ingin mengantam tembok di sampingnya jika saja irisnya tidak segera menemukan sang gadis berdiri diam di depan pintu, menampilkan tampang kecut dengan bola mata yang berputar malas.
Kano yang melihatnya terkekeh prihatin, lantas berbicara cepat, "Tutup pintunya dan duduk disampingku."
Diriku masih diam ditempat, tidak melakukan pergerakan barang sekecil satu milimeter dari tempatku berdiri. Masih memasang wajah kusut saat berbicara agak keras, "Aku harus pulang, Presiden mahasiswa."
Pemuda itu lantas mengangguk, menepuk tangan sekali lalu tersenyum manis saat berujar, "Kemari, Atau__" Kano bangkit berdiri, senyum manisnya telah berubah menjadi seringaian tajam hanya dengan waktu sesingkat itu saat berkata menambahkan, "Bermalam disini. Bersamaku. Hanya berdua."
"Kau itu brengsek! Keji! Aku membencimu, Kano!" ucapku kalap. Hampir melempar ponsel di tangan ke arah lelaki itu kalau tidak memiliki kesabaran walau tersisa lima persen pertahanan diri.
Kano sedikit terkejut. Mungkin. saat menatap kedua manik mataku yang barangkali sudah menyiratkan api kebencian kepada dirinya. Kemudian, lelaki itu terpaksa berjalan menghampiri tubuhku yang masih bergeming di tempatnya, tidak sedikitpun melepaskan pijakannya dari lantai ambang pintu. Bergerak ke arah pintu lalu menutupnya dengan cepat. Setelah itu, ia membalik badan dan mendorong tubuhku hingga terhantup dinding ruangan.
"Itu sakit, Kano!" Aku meringis, rasa perih itu langsung memenuhi sekitar punggungku. Bergerak memberontak saat kedua lengan Kano mengunci rapat tubuh kurusku.
"Oho, sudah berapa kali kau berteriak padaku dalam waktu kurang dari lima menit? Satu? Dua? Atau barangkali tiga? Kuperingatkan sekali lagi, jangan kurang ajar, Aletta."
"Kenapa kau melakukannya?" deru nafasku tersengal, air mata barangkali akan lolos jika saja diriku mengedipkan matanya sekali, "Kenapa kau melakukan ini padaku?"
"Kano, kumohon lepas-AKH!"
Tiba-tiba Kano menghantamkan tubuhku kebelakang hingga punggungku kembali membentur dinding dengan keras. Air mataku sudah mengalir semakin deras, kepalaku terserang pening seketika.
"Masih bertanya kenapa aku melakukan ini padamu?" kata lelaki itu, sukses mengeluarkan tawa miris saat matanya melotot tajam, berbicara dengan bibir membentuk segaris keras, "Masih ingat saat pergantian presiden mahasiswa tahun lalu? yang membuatku harus mati-matian menahan malu di depan semua orang!" Kano semakin diluar kendali, "Karena kau dan kucing sialanmu itu!"
"Kau bahkan tidak mati hanya karena itu, lalu kenapa kau harus memperlakukanku seperti ini? Kenapa!?"
Aku masih memberontak, bahkan walau diriku sudah mengeluarkan seluruh tenaga, tubuh besar Kano sama sekali tidak bergerak dari tubuhku. Lalu, aku merasakan jemari lelaki itu mulai merambat ke arah lengan atasku, meremasnya dengan kuat hingga membuatku memekik keras. Air mataku keluar lagi, bahkan lebih banyak. Beberapa kali mulutku mengeluarkan desisan kecil menahan sakit.
"Kau tahu? ketika seseorang melakukan kesalahan." Kano berhenti sejenak, mendekatkan bibirnya ke arah telingaku lantas kembali berucap, "Maka orang itu harus menderita."
"Aku membencimu, sangat!" kataku, berteriak tepat di depan wajahnya.
Lelaki itu perlahan melangkah mundur. Mulut terkunci rapat dengan tangan yang masih terkepal kuat. Membiarkan tubuhku merosot ke lantai, menekuk lutut dengan wajah yang ditenggelamkan dengan isakan kecil keluar dari mulutku, Tubuhku bergetar hebat. Pertahananku runtuh, aku menangis, sejadi-jadinya.
Entah apa yang ada dipikiranku, Kano sedikit merasa sakit, bukan tubuhnya. Melainkan hatinya. Jadi, untuk beberapa saat ia mencoba mengendalikan situasi, melangkah maju lalu membungkukkan tubuh tepat di hadapanku, melipat tangannya dan meletakkan di atas lutut.
Kano tidak berniat berbicara, suara isakan tangisku menjadi satu-satunya suara yang dihasilkan di dalam ruangan itu. Satu kata yang bisa mendeskripsikan keadaanya adalah Pengap. Ruang olahraga yang tidak difasilitasi pendingin ruangan itu memang sedikit panas, kotor, debu dimana-mana.
Namun, Kano mencoba mengesampingkannya, mengangkat tangannya lalu menyentuh bahuku yang langsung ditepis kasar olehku, mengangkat wajah lalu berujar marah, "Kau brengsek!"
"Aku tahu," kata kano, datar. "Jangan seperti itu, aku tidak suka." Lanjutnya, menepuk pundakku.
Dari balik rambutku, aku mencoba menatap Kano yang duduk berjongkok di depan tubuhku. Kali ini ekspresi wajahnya tidak terbaca, sangat berbeda dari Kano yang ku lihat beberapa menit yang lalu dengan wajah yang sangat marah, kecewa, tidak suka menyatu dalam satu waktu. Mulutnya beberapa kali terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu namun detik selanjutnya mengurungkan niat.
Emosi bergejolak di dadaku. barangkali merasa sangat marah pada diri sendiri, merasa begitu kesal ketika tubuhku tidak bisa melakukan apapun, setidaknya aku bisa saja mendorong langsung tubuh Kano saat itu dan melangkah keluar membebaskan diri. Namun, entah mengapa saat diriku sudah berhadapan langsung dengan pemuda itu, terlebih saat amarah sudah menguasai pikiran Kano, Tubuhku mendadak lemah, tidak berdaya dan hanya bisa pasrah oleh keadaan.
"Aletta."
Hening.
Kano bergerak lebih dekat, kakinya bahkan sudah menyentuh kakiku. Menarik napas panjang ketika berujar samar.
"Jangan membuat ikatan pada orang lain, cukup denganku saja."