Koridor kampus seakan memanjang beberapa meter dari biasanya siang ini. Aku mendengus lelah ketika kedua tanganku menopang tumpukan buku-buku dengan ketebalannya mengalahkan kamus bahasa inggris lima ratus miliyar.
Keringat mulai meluncur dikedua pelipisku, turun ke pangkal hidung hingga akhirnya melewati bibirku.
Sepanjang dua lantai aku mengangkut buku-buku dari gudang ke perpustakaan yang sialnya berada di lantai paling bawah.
Pagi ini aku terlambat masuk kelas karena... ya, kalian sudah tahu penyebabnya. Dan karena itu dosen kelas pertama, pak Aksan marah besar dan akhirnya memberiku hukuman untuk mengangkut buku pelajaran yang baru didatangkan kemarin dari gudang lantai atas ke perpustakaan lantai bawah.
Tidakkah itu cukup? Oh tentu tidak. Pak Aksan bukan tipikal orang yang puas dengan satu hukuman untuk para murid terlambat sepertiku. Dirinya tak segan-segan memberikanku satu hukuman lagi, yaitu membersihkan gudangnya sekalian.
Barangkali aku ingin murka terhadapnya, namun, aku ingat ada seseorang yang lebih berhak mendapatkan ini ketimbang diriku.
Lalu, ketika aku mencoba untuk melangkah lagi, tiba-tiba seseorang yang kutebak seorang gadis muncul di hadapanku. Aku tak dapat melihat seluruh wajah atau tubuhnya, hanya kedua kaki telanjang dengan kaos kaki berwarna putih serta sepatu convers yang dapat ditangkap oleh indera penglihatanku.
Ingin mengabaikan, aku memutar sedikit tubuhku untuk melewatinya yang menghalangi jalanku, awalnya aku tak merasa ada yang aneh dengan sikapnya, hanya seorang murid perempuan yang tak sengaja berpapasan denganku, pikirku awalnya.
Presepsi itu berubah drastis tatkala sebuah tas berwarna hitam dengan bobot tak kalah berat dengan buku-buku yang sedang kubawa terlempar tepat di atas permukaan paling atas dari buku itu. Sontak saja pertahanan tanganku runtuh, membuat buku-buku itu terbanting serta terjatuh kelantai, berserakan.
Mataku sontak melotot tajam melihat keberadaan sahabatku, siapa lagi jika bukan Kirby.
"Ya! Teganya kamu."
Tawa Kirby meledak dipenjuru koridor. Terpingkal-pingkal ketika melihat ekspresi kekesalan yang tergambar di wajahku sekarang. Aku bahkan tak habis pikir dengan gadis itu, mengapa ia begitu senang dengan kekesalanku sekarang.
"Hentikan tawamu, Atau kulempar wajahmu dengan tumpukan buku," kataku sarkas.
Akhirnya Kibry mulai menghentikan tawanya, mengatur napasnya sebentar lalu mengangkat satu tangannya padaku seperti seseorang yang minta untuk ditunggu, "wait, wait. Jangan galak-galak, masih pagi."
"Siapa suruh ngaco!"
"Habisnya kamu pagi-pagi udah olahraga tangan."
"SALAHIN MONSTER GILA ITU KENAPA HARUS BUAT AKU KELIMPUNGAN PAGI-PAGI CUMA KARENA MASALAH SARAPAN!" ucapku teriak, hampir lepas kendali mengatakan nama lelaki itu.
"Hah? Gimana-gimana? Monster? Hulk, gitu?"
Memutar bola mataku kesal, akhirnya aku memilih kembali memungut tumpukan buku-buku itu untuk segera dibawa ke perpustakaan. Sedikit lagi, maka pekerjaanku akan selesai satu.
Kirby yang memang masih menampilkan wajah tidak mengerti sengaja mengikutiku, meminta penjelasan lebih detail, "monster apaan sih, Al. Kamu ngelantur, ya?"
Mendengus, aku mempercepat langkah kakiku, berbelok diujung koridor, "bukan omonganku yang ngelantur. Tapi, otak kamu yang lambat merespon."
Setelah mengatakan itu, mataku menangkap ruangan bertuliskan perpustakaan yang dapat kulihat dari celah-celah buku, lantas segera kuseret alas sepatuku memasukinya. Mendorong pintunya menggunakan satu kaki dan berjalan masuk.
Tepat di atas meja kuletakkan buku-buku itu, menghela napas kemudian menyeka keringatku. Kurenggangkan sedikit otot-otot lenganku yang kaku.
Rupanya Kirby tak sampai situ untuk menunggu penjelasanku, buktinya sekarang dia mengikutiku hingga perpustakaan dengan menimbulkan kepalanya dicelah pintu, lalu memandangku dan berjalan mendekat.
Aku buru-buru menyuruhnya untuk menunggu saja di pintu, ia mengangguk dan berbalik lagi.
Kemudian, aku melangkah menuju ke arah penjaga perpustakaan kala itu yang kebetulan dijaga oleh kak Lee selaku ketua pengurus perpustakaan. Saat aku mendekat, mungkin karena merasa, ia mendongak, melipat buku yang sedang dibacanya.
Kak Lee adalah kakak tingkatku. laki-laki keren dengan kacamata yang selalu tersangga dipangkal hidungnya.
Rambutnya berwarna coklat alami dengan kulit sedikit sawo matang. Aku tak cukup mengenalnya, karena yang kudengar laki-laki itu jarang berbicara dan hanya menghabiskan separuh waktunya di perpustakaan.
Namun menariknya, kau tahu? kak Lee satu jurusan dengan si monster gila itu.
Kebetulan yang gila, namun aku tak akan mempermasalahkannya. Toh, ia bahkan tidak mengenalku.
"Kak, saya sudah taruh buku-buku baru di atas meja di ujung sana. Perintah dari pak Aksan tadi."
Kak Lee memandangku. Cara ia merotasikan kedua bola matanya padaku sangat membuatku tidak nyaman. Lalu, laki-laki itu berdehem, menunduk lagi dan membuka bukunya lagi, "Ya, kamu bisa pergi sekarang."
Melotot tidak percaya, aku nyaris tersedak, rupanya berita-berita yang kudengar tentang lelaki ini benar adanya. Suaranya terkesan sangat dingin. Kalimatnya pun sangat singkat dan padat. Astaga, waktu bayi jarang di ajak ngomong kali.
Tidak mengatakan apapun lagi, akhirnya aku melenggang pergi dari sana. Perpustakaan membuatku pusing seketika. Aku menghampiri Kirby yang masih setia menunggu di balik pintu, rupanya gadis itu mempunyai tingkat kekepoan lumayan tinggi juga.
Setibanya di sana, aku langsung menyeretnya menuju kafetaria. Menempati meja kursi paling minim keramaian. Kemudian, aku berkata, "By, pesen gih. Baru nanti aku jelasin."
Kirby pasrah, dia bangkit setelah sebelumnya bertanya, "mau apa? Aku baiknya cuma hari ini, demi pengen tau monster doang padahal."
Aku terkekeh, "Es jeruk aja satu."
"Gak makan?"
"Nanti aja, gampang."
Gadis itu mengangguk dan pergi. Sambil menunggu, aku mengeluarkan ponselku dari saku. Mengirim pesan pada Daniel yang belum menghubungiku hari ini.
Aku memang seperti ini, tidak ada gengsi untuk menghubungi kekasihku terlebih dahulu. Tidak seperti wanita-wanita diluaran sana.
Apa salahnya? Barangkali kekasih kita sibuk dan tak sempat menghubungi. Dengan kita yang mengirimkan pesan padanya terlebih dahulu, mungkin akan menjadikan semangatnya untuk melakukan apapun yang sedang dikerjakannya hari itu. Sesederhana itu namun tampak istimewa.
Hal-hal sekecil apapun bahkan akan terlihat besar di mata orang yang kita cintai.
Tidak sampai lima menit Daniel membalasnya, berkata bahwa ia baru bangun setelah semalam mengerjakan tugas menumpuk. Aku tersenyum gemas tatkala ia mengirimkan satu selca padaku. Muka bangun tidur, kaos biru yang kusut, ditambah rambut tak berbentuk terpampang dilayar ponselku.
Dia terlalu gemas untuk diabaikan. Jadi, saat itu juga aku menekan tombol penggilan yang artinya aku sedang menelponnya. Bunyi panggilan tersambung menggema di telingaku. Detik selanjutnya suara teriakan terdengar memekakkan seluruh pendengaranku. Astaga anak ini. Daniel berteriak begitu ia menerima panggilannya, membantaiku dengan ucapan 'aku meridukanmu' berulang kali.
Aku berbohong jika berkata aku tidak senang, bahkan saat ini hatiku akan meledak saking bahagianya. Dengan suara khas bangun tidur seorang lelaki, Daniel berkata antusias, "Al, ada waktu luang hari ini?"
"Ya. Setelah kelas kedua. Kenapa?"
"Mau tidak, berkencan hari ini?"
"Eh? Kamu tidak sibuk?"
Ada suara tawa diseberang sana, "sebenarnya ada, tapi itu malam. Jadi siangnya waktu kita berdua."
"Tidak apa-apa? Kamu tidak keberatan?" tanyaku ragu.
"Tenang, Al. Aku bisa mengatur waktu untuk pendidikan dan kamu."
"yasudah," Ucapku mantap, lalu melanjutkan, "kita kemana?"
Kudengar sesuatu berisik ditelepon, kukira Daniel sedang berjalan. Tak lama, suara mikrowave yang berdenting melantun nyaring kemudian disusul suara lelaki itu lagi, "nanti saja kuberitahu. Pulangnya mau kujemput atau saat dirumah saja?"
"Bo-"
Aku melotot, menutup mulutku rapat-rapat. Aku ingat, ada monster itu di rumah. Aku yakin, laki-laki itu masih ada di sana. Menghancurkan seluruh isi rumah.
Tergesa aku berkata nyaring, "Tidak, tidak. Tidak perlu, Niel. Nanti kirimkan saja alamatnya, aku akan kesana sendiri. Tidak perlu dijemput."
"Al, suaramu kenapa meninggi? Apa terjadi sesuatu?"
"Ah, tidak. Tadi hanya tidak sengaja tertumpah air panas jadi refleks menjerit. Maafkan aku," saat menyadarinya, cepat-cepat kuturunkan nada ucapanku. Berusaha normal lagi.
Menghela napas, aku memijit pelipisku. Sekarang, aku tampak seperti gadis selingkuh yang hampir ketahuan oleh kekasihnya. Menyembunyikan seorang laki-laki di rumah yang tidak diketahui oleh sang pria. Walau kenyataannya tidak seperti itu, sangat bertolak belakang.
Bahkan aku menganggap Kano sebagai tamu yang tak pernah diundang.
Astaga, aku menyebut namanya!
"Jangan ceroboh Al. Itu bisa menyakitimu." Terdengar suara decakan di sana, lalu Daniel melanjutkan, "kumatikan, ya? Sup ku sudah mulai dingin. Harus segera dimakan."
Aku tertawa, Daniel memang begitu. Laki-laki itu paling tidak mau saat melakukan suatu pekerjaan dibarengi dengan memegang ponsel.
Contohnya makan. Dulu sekali, saat kutanya mengapa, ia hanya menjawab begini, nanti aku tidak fokus, kan dilayar ponselku ada wajahmu. Nanti, kalau aku pegang ponsel waktu nugas atau apapun, adanya malah melihat ke ponsel terus bukannya kerja. Aku tahu ia hanya bercanda, mengada-ada. Namun, aku hanya mengiyakan dan tidak bertanya lagi.
"Iya, makan dulu. Nanti kirim alamatnya padaku."
"Iya," katanya, "ngucap apa?"
"I love you."
"Bukan."
Aku mengeryit, "Terus?"
"Aku sayang kamu."
"Gak cinta?"
"Enggak ah."
"Lho, kenapa?" aku bingung, sedikit kecewa.
"Nanti aja, waktu halal."
Sontak aku tertawa terbahak-bahak, hampir menangis karena sakit perut. Ini pertama kali aku mendengar laki-laki itu berkata demikian.
"Eh, diajarin siapa bicara gitu?"
"Papa yang ngajarin. Katanya ya, biar kamu muntah."
"Kok muntah?"
"Iya, kan basi."
Aku tertawa lagi. Kali ini hampir guling-guling jika saja aku tak segera menyadari sedang di kantin. Bahkan, sebagian warganya sudah menatapku tak nyaman.
"Sudah ya, nanti lagi, bertemu."
"iya, sayang."
Aku tersenyum lagi, lalu mengakhiri obrolan itu akhirnya.
Sadar atau tidak, Kirby tampaknya sudah berada tepat di hadapanku. Duduk di kursi yang tadi dia tempati, menyangga dagunya dengan kedua tangan sedang menatapku.
"Asik ya, yang kasmaran, pengen juga."
Menyengir, aku menyenggol bahunya. Berdecak, "itu, si Guan. Solo."
Guan yang aku maksud disini bukan Guanna, Guandi, apalagi Guanlin. Guan itu nama keren dari satpam sok ganteng kampus kami. Nama aslinya sih, maroto. Tapi, biar keren kasih aja nama Guan. Satpam yang kecentilan ganguin anak murid apalagi perempuan.
Kirby lantas saja menjitak dahiku, bergidik ngeri, "ikhlas aku kasih ke kamu."
Perbincangan terhenti ketika mbak Siti, pemilik kafetaria mengantarkan pesanan kita berdua. Kirby mengucapkan terima kasih sebelum mbak Siti pamit untuk melayani yang lain.
Menyeruput minumanku, segera kucek jam yang ada di poselku. Masih setengah jam lagi untuk memasuki kelas kedua. Jadi, setelah menggeser gelas, aku melipat tangan di meja, sedikit memajukan tubuhku mendekati Kirby.
"By, kamu percaya gak kalo aku bilang Presiden Mahasiswa ada di rumah aku?" ucapku dengan nada suara yang sekecil mungkin.
"Hah? Beneran? Kak Kano? Di rumah kamu?"
Kirby melotot, ekspresinya sungguh tidak percaya, bahkan dia lupa untuk memelankan suaranya. Segera saja ku bekap mulutnya lalu memukul kepalanya, "Bodoh! Pelankan suaramu."
Mengusap kepala, Kirby kembali serius, "iya, iya. Ayo lanjut."
Menghela napas sebentar, aku memandanginya, "yang aku maksud monster itu. ya itu, kak Kano."
Baru begitu, Kirby sudah melotot dengan mulut yang terbuka lebar sebanyak dua kali. Ia benar-benar menunjukkan ekspresi berlebihan.
"Al. Kamu tau kan? Astaga kak Kano, laki-laki berotak jenius sepanjang sejarah. Presiden mahasiswa yang disegani penjuru dunia. Kamu sebut monster?"
Aku semakin yakin, ini tidak semudah mengedipkan mata untuk menjelaskan semuanya pada Kirby. Lagi pula, aku takut gadis itu semakin tidak percaya ketika aku menceritakan kekejaman Kano padaku selama ini.
Kirby hanya tau bahwa Kano adalah presiden mahasiswa terkeren sepanjang almamater. Tercerdas sepanjang sungai, dan ter tampan sepanjang benua antartika.
Agak lebay, namun itu yang kudengar darinya saat kutanya untuk mendeskripsikan seorang Kano.
Menelan ludah susah payah, aku berkata, "By, aku bercanda. Mana mungkin laki-laki itu berada di rumahku."
Aku tertawa sedikit, mengurangi rasa kegugupanku.
Kulihat Kirby mengehela napasnya, kemudian menjawab, "Astaga, kirain iya. Bercandanya keterlaluan, kamu Al."
Menggaruk tengkuk yang tak gatal. Aku tertawa hambar.
"Iya, maaf. Jangan percaya."