Kelas kedua sudah berakhir, kali ini aku tengah berdiri di depan pintu rumahku sendiri. Menatap ragu untuk memasukinya atau tidak.
Terdengar aneh, ini rumahku, aku berhak memasukinya sesuka hati. Namun, lain pula hari ini. Aku ragu memasukinya, lebih tepatnya takut untuk melihat isi rumahnya. Tak kubayangkan bagaimana kacaunya barang-barang di rumahku sekarang.
Kusentuh handlenya pelan-pelan, memutarnya hingga terdengar suara 'clek' tanda sudah terbuka. Tadi pagi aku memang sengaja tidak menguncinya karena si monster itu berserikeras tidak mau keluar. Aku mendorongnya sedikit, lalu mengintip melalui celah pintunya.
Tidak ada siapapun di dalam, itu yang kulihat. Jadi, aku mulai melangkah masuk, melepas alas kakiku dan menaruhnya di rak samping.
"Dia sudah pergi, syukurlah," gumamku lantas menghela napas.
Barang-barang di ruang tamu masih pada tempatnya, begitupun di ruang tv. Jadi aku berniat memasuki dapur yang tertetak di samping tangga.
Dan, betapa aku ingin teriak kala itu juga saat melihat isinya sudah hancur berserakan. Barang-barangnya sudah jatuh kelantai, tepung serta bubuk-bubuk rempah sudah tercecer di sana-sini. Kompor menyala, bahkan hampir membakar seluruh dapur.
Dengan panik aku berlari, mematikan kompor yang menyala itu dengan tergesa. Astaga ini keterlaluan. Dia bahkan hampir membakar seluruh isi rumah. Napasku tersengal, mengumpat dalam hati, merutuki diri sendiri kenapa membiarkan lelaki itu tetap tinggal.
Bagaimanapun ini sungguh berantakan, namanya bukan lagi dapur melainkan gudang berangkas. Mengepalkan tangan, aku berlari menaiki tangga, buru-buru membuka pintu kamarku dengan harap-harap cemas.
Kosong. Tidak ada siapapun. Aku menghela napas untuk kesekian kali. Namun, seperti yang sudah diduga, kasurku berantakan lagi, beruntung yang lain tidak. Merenggangkan otot leher, lantas segera ku sampirkan tas ranselku pada tiang kayu di belakang pintu dan mulai merapikannya.
Aku ingin marah, namun tidak tahu harus bagaimana. Bisa saja monster itu akan menerkamku kapan saja seperti yang sudah-sudah. Diriku tak perdaya, lemah. Aku akui itu. Tak bisa menceritakan pada siapapun walaupun itu Daniel apalagi pada paman Leo dan bibi Meghan.
Usai merapikan seluruh isi kamar, aku menuju ke dapur lagi. Merapikan segala kekacauan yang dibuat lelaki itu. Mulai dari merapikan barang-barang yang berjatuhan hingga membersihkan sisa tepung yang berserakan di mana-mana.
Setengah jam berlalu, semuanya hampir selesai. Aku mengecek jam, tersisa sepuluh menit dari waktu janjiku pada Daniel. Tanpa memperdulikan apapun lagi, aku berlari ke kamar dan menyambar bathrobe begitu saja.
Rekor mandi tercepat olehku didapatkan pada hari ini. Hanya lima belas menit dan itu belum merias wajahku. Aku berdecak, meraih ponsel dan mengirimkan pesan pada Daniel bahwa aku akan terlambat sedikit.
Begitu semuanya selesai, buru-buru kugunakan both coklat milikku dan pergi mengunci pintunya.
Sore itu udaranya nyaman. Langitnya cukup bersahabat, tidak panas dan tidak hujan. Aku berdiri menunggu bus di halte tak jauh dari rumah, melipat tanganku dengan tidak sabar.
Akhirnya sekitar tiga menit menunggu, busnya datang.
#
"Maaf."
Kata itu lolos dari pita suaraku begitu aku menyentuh jemari Daniel, memandangnya penuh rasa bersalah.
Lelaki itu membalikkan badan, rautnya tidak menunjukkan bahwa dia marah. Malah, saat ini dia tersenyum, mengusap rambutku lalu berkata, "jangan begitu, tidak apa-apa."
Aku belum tersenyum, masih merasa tidak enak. Jadi, aku menunduk, masih memegang jemarinya, "Niel, aku membuatku menunggu selama dua puluh menit. Itu keterlaluan."
"Ayo berteduh dulu, bicara disana." Katanya, sambil menyeret tanganku untuk berpindah tempat, menuju ke salah satu kursi kayu yang terletak tepat di bawah pohon besar yang rindang. Lelaki itu menyuruhku duduk, disusul olehnya.
Meski duduk, aku masih harus mendongak sangat melihat ke wajahnya. Daniel jauh tinggi menjulang dariku meski lebih muda. Hari ini dia tampak tampan dengan setelan kemeja maroon dipadu celana kain hitam. Aku tidak tahu, dia memang suka dengan gaya formalnya saat berkencan denganku.
"Tidak marah?" kataku memandangnya.
Dia tersenyum, lalu menggeleng, "Tidak."
"Kenapa? Kan aku telat, terus membuatmu menunggu lama."
"Hei, dengarkan. Lebih baik aku yang menunggumu dari pada harus kamu yang menungguku."
Aku diam, lalu berkata lagi, "tapi aku membuat waktunya jadi sedikit sekarang."
"Gampang, aku akan memperlambat jam nya. Lihat ini," Daniel menekan tombol di jam tangannya, membuat waktunya berkurang dari yang seharusnya. Aku tersenyum, tidak menyangka dengan apa yang dilakukannya sekarang.
"Sudah, kan? Waktunya jadi banyak sekarang. Jadi, mari habiskan waktu ini dengan senang-senang!"
Daniel bangkit, aku juga.
Menyematkan jari-jarinya disela-sela milikku. Menggiringku untuk memasuki kawasan pertokoan padat disepanjang jalan. Sesekali ia akan membawaku untuk melihat-lihat stan makanan yang terjejer rapi di pingir-pinggir jalan dan menawariku untuk lomba adu cepat menghabiskan makanan yang dibelinya dengan iming-iming hadiah jika siapa yang cepat habis akan mendapat satu ciuman di pipi, dan sebaliknya, yang kalah mendapat satu cubitan keras di hidung.
Walau pada akhirnya dirikulah yang menanggung cubitan itu lebih banyak ketimbang Daniel dengan hidung merah bak kepiting rebus.
Kencan hari itu menyenangkan, dengan diakhiri ciuman panjang di dahiku yang diberi secara gratis oleh Daniel, kekasihku.
#
Sudah seminggu lebih satu hari, aku sama sekali tidak bertemu dengan si monster. Entah untuk alasan apa ia menghilang begitu saja, seakan tuhan mengabulkan doaku untuk menelannya saja.
Kano sendiri tidak pernah terlihat di kampus. Biasanya, lelaki itu setiap hari akan bolak-balik masuk ruang kemahasiswaan atau paling tidaknya menggangguku dengan terus meneror agar mau menemuinya untuk sekedar disuruh-suruh.
Aku senang, tentu saja. Namun, ada alasan lain yang membuatku sempat bertanya, kemana? Apa yang terjadi? Benarkah sudah mati? Itu aneh, bahkan warga kampus sudah kelimpungan karena kehilangan presiden mahasiswa mereka.
"Al, pesawatnya sudah mendarat," suara bibi Meghan mengembalikan pikiran warasku.
Aku menoleh, menatap jendela kaca lebar yang memperlihatkan sesuatu yang bersayap baru saja mengeluarkan rodanya, bersiap untuk menapak pada lantai semen yang panjang. Bibirku tersenyum tidak sadar, refleks aku berdiri.
"Bi, benar itu pesawat kak Mark?" tanyaku, masih memandang benda itu yang kini sudah sepenuhnya mendarat, sedang berputar arah.
Bibi Meghan mengangguk, paman Leo juga. Aku tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Sungguh, aku merindukan kak Mark, merindukan ia mencubit hidungku, merindukan saat dia menjahiliku, dan sangat merindukan panggilan 'Ale' darinya.
Segera aku mengajak paman dan bibi untuk menuju ke tempat kedatangan agar kak Mark tak susah payah untuk mencari. Awalnya aku sengaja untuk menyuruh paman dan bibi agar tak memberitahu kak Mark bahwa aku ikut menjemputnya dan keduanya setuju.
Kulihat satu persatu penumpang mulai keluar dari ruang kedatangan, memeluk satu persatu keluarga mereka yang menunggu dengan bahagia. Aku menggigit bibir, tidak sabar. Lantas, saat irisku menangkap seorang lelaki tinggi dengan dua koper digeret sedang menunduk ke arah kertas di tangannya, segera aku berlari bersembunyi dibalik mesin kopi yang berada tak jauh dari sana.
Sengaja, ingin memberi kejutan memang harus seperti ini.
Itu kak Mark, orang yang kami tunggu. Jika kalian lupa, akan kuingatkan lagi. Kak Mark itu adalah anak dari paman Leo dan bibi Meghan. Dia melanjutkan kuliahnya di Amerika, persis saat paman dan bibi ditugaskan ke Jepang. Dia laki-laki berperawakan tinggi dan kurus, rambut hitam legam yang sekarang kulihat dicat menjadi coklat madu. Berkulit pucat dan pastinya tampan.
"Hei, Mom, Dad," itu suara kak Mark. Tidak jauh berbeda seperti dulu, selalu sok asik.
Dia lantas memeluk keduanya, cukup lama.
Aku senyum dari balik mesin kopi. Sebenarnya, aku sudah sangat tidak sabar untuk bertemu dengannya. Namun, aku menahan diri, sebentar lagi.
Kuperhatikan mereka, tampaknya masih saling berbicara entah apa, aku tidak jelas mendengar. Dan saat kak Mark mulai mengangkat koper, paman Leo memberi isyarat padaku untuk mendekat.
Segera, aku berjalan ringan menuju ke sana, tersenyum-senyum jahil.
"Tuan, kopermu tertinggal satu."
Itu suaraku, mencolek bahu kak Mark dari belakang. Mengatur ekspresi wajahku menjadi datar dan tenang. Seperti petugas bandara tentunya.
"Eh?" kak Mark menoleh, memperhatikanku dengan alis bertaut.
Jelas aku tahu dia kebingungan, aku tidak memakai seragam bandara, tidak memakai nametag seperti petugas bandara pula. Lalu, dia berkata lagi, "Tidak, koper saya hanya dua. Sudah saya bawa semua."
Aku hampir meledakkan tawa melihat ekspresi wajahnya. Namun, tak sampai disitu aku berkata, "maksud saya, pelukannya tertinggal satu."
Kini dahinya berkerut dalam, bingung sekali. Kak Mark kembali menghadap ke arah paman dan bibi, ingin bertanya pada keduanya yang kini sudah tertawa-tawa, menambah kebingungan lelaki itu.
"Mark, itu adikmu," ucap bibi Meghan.
"Lho? Kapan mama hamil lagi? pun, kenapa sudah sebesar ini? anak adopsi?"
Bibi Meghan memukul lengannya keras, yang dipukul meringis sakit, "bodoh."
Aku tersenyum, menjulurkan tanganku ke arahnya, "kenalkan, aku Aletta. Adik yang kau tinggalkan dengan hidung memerah,"
mengerucutkan bibir, aku melanjutkan, "bukan adik adopsi."
Kak Mark langsung melebarkan matanya, menutup mulut tak percaya. Aku semakin ingin tertawa keras.
"Ale? Beneran kamu? Kok besar?"
"Kak Mark pikir sudah berapa lama hilang, hah? Sampai aku jadi besar."
Dia langsung memelukku, erat sekali. Kami sama-sama melepas rindu antara adik dan kakak yang telah berpisah lama. Aku hampir menangis, namun kutahan. Ini bukan waktunya bersedih ria.
Membenamkan wajahku di dadanya, aku harus berjinjit sedikit untuk meraih tubuhnya.
"Dasar jahat."
Dia menepuk kepalaku, mengusap rambutku lembut, "salah siapa jadi anak perempuan yang nakal."
"Kakak membiarkanku dijahili oleh Harry, waktu kau hilang dia selalu meminta uang padaku."
"Anak nakal itu masih nakal? Mau dipukul lagi rupanya."
Entah bagaimana kami berdua malah seperti anak kecil lagi, seperti dulu saat masih umur lima tahun. Paman dan bibi hanya menggelengkan kepala melihat adegan dramatis itu.
"Kalian akan tetap disini, atau pulang kerumah?" tanya paman Leo memutus pelukanku dan kak Mark.
Menghapus air mata yang singgah di pipi, barangkali aku baru sadar kalau menangis. Kak Mark tertawa, lalu menarik bahuku untuk dijadikan sandaran tangannya. Kemudian, dengan sengaja dan sekuat tenaga dia mencubit hidungku. Aku nyaris berteriak jika saja lelaki itu tidak langsung membekap mulutku.
"Dimana mobilnya, mom?"
"Kau menyebalkan, seperti dulu!"
"Ayo, pulang. Aku lelah."
"Kak Mark! Tunggu balasan dariku, ya!"
Tidak menggubris, kak Mark menggeretku menuju mobil. Dia bahkan hampir mencekikku dengan lengannya.
Dasar menyebalkan!