Pagi itu, aku memulai pagi mingguku dengan pikiran yang masih tertuju pada ucapan Kano saat berada di ruang olahraga.
Mungkin semalaman penuh belum cukup untuk mencerna perkataan lelaki itu. Aku menggerutu karena otakku tak kunjung menyudahi pikiran sial itu.
Sungguh Aletta, kau hanya perlu fokus pada hari liburmu dan lupakan segalanya tentang hitler itu. Mungkin itulah kalimat yang sedari tadi batinku lontarkan, memaksaku agar membuang jauh-jauh segalanya dan menikmati hari ini dengan keren.
Sejak setengah jam yang lalu, aku membiarkan tubuhku larut didalam bathtub dengan kapasitas air dingin yang cukup membuat seluruh tubuhku terendam. Mencoba tenang lalu mengguyur kepalaku dengan air.
Aku kedinginan, mungkin. Namun tak dapat dipungkiri lambat laut pikiranku menjadi lebih tenang. Memejamkan mata, ketika sebuah dering ponsel melantun nyaring tepat di telingaku.
Aku sempat mendesis sebal sebelum akhirnya menekan tombol merah sebagai tanda penolakan. Lalu, belum sempat tanganku terangkat, benda persegi itu mengeluarkan suaranya lagi.
Meski malas, aku mencoba mengangkatnya lalu mendekatkannya di telinga kanan. Suara familiar langsung menyambutku begitu saja, sedikit marah tatkala diriku sempat mengabaikan panggilannya.
"Kirby, ada apa?" akhirnya aku berbicara, mencoba mengabaikan ocehan gadis itu di telepon begitu saja.
"Aku berada di depan pintu rumahmu sekarang, turun dan bukakan pintunya. Kakiku pegal."
Panggilan itu mendadak dimatikan secara sepihak oleh lawan bicaraku dan diriku seketika menggerutu kesal setengah mati. Lantas buru-buru meletakkan ponselku lalu bangkit dari acara mandi. Mengambil bathrobe di ranjang lalu mengenakannya buru-buru.
Aku melirik ke arah jam dinding dan bergegas turun menemui Kirby.
Sekarang masih jam setengah tujuh pagi. Mungkin bagi orang normal macam aku bertamu sepagi ini adalah hal yang mustahil. Namun tidak bagi Kirby, gadis itu sudah berdiri rapi didepan pintu dengan setelan jaket abu-abu, celana legging hitam dan rambut terikat rapi dengan sedikit riasan wajah. Tersenyum kecut saat menatap kedatanganku "Apa ini? sudah mandi?"
Aku mengangguk, lantas memutar arah berlalu kedalam rumah kembali tanpa menjawab perkataan Kirby. Diriku masih terlalu malas untuk berbicara. Sedangkan wanita yang diabaikan sempat berteriak kesal dan langsung menyusul masuk mengikutiku di belakang.
"Aku tidak berminat. Lagi pula aku sudah mandi, By." Aku membuka lemari, mencari pakaian yang akan ku kenakan, hari ini tidak ada janji ataupun acara yang mengharuskanku keluar rumah sebelum sahabatku itu datang dan berkata akan mengajak berolahraga pagi.
Mungkin kata 'olahraga pagi' kurang cocok jika tujuan awal Kirby mengajakku adalah untuk melihat kekasihnya, ralat, lelaki yang ia sukai berolahraga pagi disekitar taman dekat rumahku.
"Ayolah. Berolahraga setelah mandi juga tidak ada undang-undang yang melarangnya, kan? Sebentar saja." bujuk Kirby, melangkah mendekatiku lalu menarik-narik tanganku bak seorang anak kecil merengek ke ibunya.
"Sebentar setelah kau puas memandang Hershel, begitu? Ck"
"Ayolah, Al. Sekali saja tolong aku."
Aku terdiam sejenak, sempat mempertimbangkan sebelum akhirnya menyetujui. Disambut teriakan antusias Kirby disampingnya.
"Ingat, hanya sebentar lalu pulang." Ucapku memberi peringatan.
"Janji." Kirby mengacungkan jempol menyetujui.
#
Selesai diriku mengikat tali sepatu yang sempat terlepas, aku kembali berlari menyusul Kirby yang sepuluh meter berada di hadapanku.
Jalanan pagi ini masih sepi, belum banyak kendaraan melintas seperti biasanya. Mungkin orang-orang menghabiskan hari ini hanya berdiam dirumah menikmati tontonan televisi atau semacamnya.
Embun pagi pun masih setia melingkupi kawasan perumahanku mengingat awan yang meredup di atas sana. Hawanya cukup dingin, namun tak menyurutkan semangat Kirby untuk menengok 'gebetannya'.
Lain pula dengan diriku yang hanya menampilkan wajah datar.
Memasang earphone di telinga lalu mengaktifkan ponsel, Aku mencari lagu energetic untuk pagi hari ini guna membangkitkan kembali semangatku.
Memasukkan tanganku disaku hoodie tosca milikku lantas berlari kecil sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. aku perlu berterima kasih pada Kirby dan menyesali penolakan sebelumnya, sebab berkat gadis itu diriku sedikit melupakan perkataan Kano.
Jika aku hanya berdiam diri dirumah, memakan cemilan, memainkan ponsel, menonton siaran tv, atau malah hanya tidur-tiduran di kasur malah akan membuat tubuhku lemas, pikiran semakin tidak karuan.
Seseorang tiba-tiba menepuk bahuku, yang refleks membuat diriku melepaskan earphone yang menyumbat telinga. Memutar kepalaku lantas menemukan Kirby yang tengah meng-kode padaku, menyuruhku melihat ke arah sisi sebelah kanan. Menemukan presensi dua orang pasangan seumuran orang tuaku yang kukenali tengah tersenyum ramah ke arahku.
"Paman Leo, bibi Meghan." Ucapku nyaris berteriak, tersenyum lalu memeluk keduanya erat sekali.
Kedua pasangan itu mengangguk, menerima pelukanku dengan senang hati lalu melepaskan sesudahnya diikuti olehku, Mencium pucuk kepalaku dengan sayang.
Kirby berhenti sejenak, lalu meminta izin padaku untuk berjalan duluan dan akan menunggu di taman saja.
Aku segera mengangguk, dan berkata tidak akan lama dan segera menyusulnya. Kirby membentuk tanda 'Ok' ditangannya lantas berlari kecil meninggalkanku sebelum berucap pamit pada paman dan bibi, "Kirby duluan, paman, bibi. Selamat tinggal."
Sepeninggalan Kirby, aku menggiring keduanya untuk duduk disalah satu kursi kayu kecil yang berada tak jauh dari mereka. Mempersilahkan duduk lalu mengeluarkan botol airku dan menyerahkan pada paman Leo dan bibi Meghan, "Terima kasih, Al." Ucap Paman Leo menerima.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?" Sahut bibi Meghan mengelus rambutku.
"Baik, bi. Kalian berdua terlihat sangat sehat." Ucapku, lalu menambahkan, "Kapan kalian kembali? Kenapa tidak kerumah?"
"Tadi malam, sekitar jam sebelas. Jadi belum sempat mengunjungimu, Al," Jelas bibi Meghan.
Aku mengangguk-anggukan kepala. Jujur, aku sangat merindukan pasangan ini. Mereka sudah seperti orang tuaku, bahkan lebih. Mungkin, jika dipikir-pikir kembali aku bahkan lebih manja dan banyak berbicara pada keduanya dulu ketimbang orang tua kandungku. Sedikit cerita tentang paman dan bibi, mereka berdua adalah tetanggaku dulu. ketika kedua orang tuaku pergi ke luar negeri untuk berbisnis, mereka menitipkan diriku pada keduanya. Aku dibesarkan tidak dengan kedua orang tuaku, melainkan dengan paman Leo dan bibi Meghan.
Menceritakan hari-hariku, menangis saat dijahili kak Mark, anak tertua dari pasangan itu, bahkan saat pengambilan hasil ujianku keduanya yang mengurus. Hingga pada hari itu, tujuh tahun yang lalu keduanya harus pergi ke Jepang karena pekerjaan paman Leo sebagai dokter dan harus melanjutkan studi dokternya disana.
Saat itu, diriku sangat terpukul. Bahkan saat keduanya ingin pamit pergi, aku habis-habisan menolak dan tetap mengurung diri dikamarku. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan. Alhasil esoknya diriku menyesal dan berlari manuju rumah yang selama itu mereka tinggali, berteriak memanggil walau sia-sia. Menerima kenyataan bahwa keduanya telah meninggalkan diriku seorang diri.
"Aletta, anakku. Kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik sekarang." Bibi Meghan mengusap pipiku dengan penuh kasih sayang, menuntunku kedalam dekapan hangatnya.
Aku tak menolak, bahkan diriku dengan senang hati melingkarkan kedua tanganku di tubuh wanita itu yang kuanggap sebagai seorang ibu keduaku. Paman Leo ikut mengusap rambutku dari belakang, sangat merasakan rindu yang dalam pada anak gadisnya ini.
"Ayahmu, dan ibumu. Apa mereka ada dirumah sekarang?"
Diriku perlahan merenggangkan pelukan, menggeleng cepat dengan wajahku yang sudah berubah murung, tidak suka. "Kupikir uang dan bisnis adalah anak mereka."
Kedua pasangan tersebut sama sekali tidak terkejut dengan apa yang baru saja aku lontarkan. Keduanya bahkan sudah tahu jawabannya sebelum aku berbicara. Bibi Meghan menggiring tubuhku untuk bangkit, menangkupkan kedua tangannya pada pipiku lalu berujar samar, "Tak apa. Mereka mencarinya untuk masa depanmu, sayang. Mereka menyayangimu melebihi apapun, percayalah, Al."
Kata yang sama, persis seperti tujuh tahun yang lalu ketika diriku mengadu kepada keduanya tentang orang tuaku. Jadi, aku hanya menghembuskan napas kasar lalu kembali hanyut dalam dekapan bibi Meghan. Melepas rindu yang telah mengakar dalam jiwaku.
#
Malam harinya, aku memutuskan untuk menginap di rumah Paman Leo. Pagi tadi pun aku memutuskan kembali kerumah ketimbang menyusul Kirby, untungnya gadis itu tidak mengomel panjang saat aku berkata tak bisa datang menyusul dengan alasan akan menghabiskan waktu dengan paman dan bibi.
Kirby mungkin sedikit kecewa, namun gadis itu tentu saja tak punya pilihan lain selain berkata 'Ya' di telepon tadi pagi ketika aku menghubunginya tiba-tiba.
Meluruskan kakiku, menggenggam secangkir kopi panas ditangan yang mampu menetralisir rasa dingin malam itu. Aku duduk memandang beribu-ribu kerlipan lampu kota ditemani bulan yang malam itu tampak penuh dengan biasan cahaya sangat terang.
Waktu telah menunjukan larut malam, setelah tadi diriku menghabiskan waktu bercerita panjang lebar menceritakan kejadian selama tujuh tahun terakhir dengan paman dan bibi, bercerita tentang kak Mark yang akan datang seminggu lagi.
Tentu, Aku merespon sangat antusias. Diriku sangat merindukan kak Mark yang dulunya selalu membuatku menangis karena memutuskan lengan boneka kesayanganku, selalu menarik hidungku hingga merah, aku tak sabar menunggu hari itu tiba. Sangat.
Baru saja diriku membayangkan hal yang menyenangkan, sebuah pesan masuk di ponselku dengan nama pengirimnya yang sama sekali tidak ingin kulihat malam ini. Sebuah pesan yang refleks membuat tubuhku merespon tidak karuan.
[Keluar]
[Aku didepan, cepat]
[Aku hanya memiliki waktu semenit, telat sama dengan ciuman]
Sial.sial.sial
#
"Aku mau pulang," cetusku sambil bangkit dari kursi.
Kano langsung menarik tanganku hingga membuatku kembali duduk,
"Diam, bagus kau tidak langsung kucium tadi. Ingat, kau telat. Hutang sama dengan hutang."
Aku meringis pelan, menyadari betapa menyeramkan wajah Kano sekarang yang tertimpa sedikit cahaya dari lampu taman. Dia tiba-tiba saja menyeretku pergi begitu aku dihadapanya dengan napas yang tersengal. Aku bahkan sudah memberontak tidak ingin ikut, namun dia bahkan tidak mendengarkanku dan terus menyeretku menaiki motornya dan membawaku ke taman kota. Lebih ngerinya, disini sepi. Hanya kami berdua.
Aku menatapnya bengis. Jantungku bahkan masih agak nyeri. Dia membawa motor seperti orang kesetanan, sudah tahu aku hanya berpegangan pada kedua lututku dan membuatku nyaris mati. Dia membahayakan nyawaku untuk kesekian kalinya.
"Presiden Mahasiswa, ini sudah larut."
"Oh ya? Siapa peduli."
Aku diam. Aku melirik matanya yang menyorot tajam ke arahku. Terdapat sesuatu disana yang tak dapat aku jelaskan, bibirnya pucat pasi. Mungkin hanya diakibatkan oleh hawa dingin malam ini, ya, mungkin.
"Orang tuaku mencariku. Aku tak bisa bersamamu." Ucapku pelan, yang tentunya itu adalah sebuah kebohongan semata. Bahkan, paman Leo dan bibi Meghan tidak mengetahui aku keluar.
"Sayangnya kau harus. Bersamaku."
Aku memalingkan pandanganku ke arah jalanan yang sudah sangat sepi, hanya beberapa toko yang masih buka. Lainnya kosong. Aku menghembuskan napas perlahan-lahan. Dia sangat menyiksa.
"Tapi ini sudah sangat larut, Presiden Mahasiswa." Ucapku lagi dengan nada yang lebih halus.
"Memangnya kenapa kalau sudah larut? Jika kubilang nanti, ya nanti, tuli, ya?" Jawab Kano yang kini semakin memandangku seakan ingin melahapku sekarang juga, wajahnya sungguh membuatku merinding bukan kepalang.
Sementara aku yang kini sudah kehilangan batas sabar berbicara tanpa sadar, "Karena kau, semenjak kau ada. Setelah hari itu kau memukulku, setelah kau datang di kehidupanku. Semenjak kau ada di depan mataku semuanya sudah salah, kacau. Kau. Penyebab. Segala kekacauanku."
Kano tertawa mendengarnya, tawa yang sangat membuatku lebih takut lagi, "jangan membuatku lebih marah, Al."
Meremas tanganku sekuat tenaga, dengan penuh keberanian aku bangkit lalu menatap penuh dalam ke arah matanya, "Kalau begitu, sudahi sekarang juga. Biarkan aku pergi. Aku akan sangat berterimakasih pada presiden mahasiswa jika melakukanya. Lagi pula aku tidak mau berurusan pada orang super sempurna seperti Presiden Mahasiswa. Jadi, malam ini juga, ayo akhiri semuanya."
Aku mengontrol detak jantungku. Mungkin malam ini puncaknya, puncak segala kesialanku. Semoga hitler ini mau melepaskanku.
"Kau adalah mainanku, benar?"
Tanyanya tiba-tiba sambil menekan pergelanganku lalu menghantamkan tubuhku ke kursi, bisa kutebak bahwa bahuku biru sekarang, aku meringis merasakan sakit, "Jadi tetap jadi mainan saja. sekarang, besok, tahun depan, bahkan selamanya. Bagaimana?"
Meski dirinya adalah otak kampus, tapi kalau sudah berbicara padaku dia sama sekali tidak menggunakan otaknya. Ngawur. Tajam.
Tiba-tiba ia membawa tubuhnya berbaring, menarik kakiku mendekat lalu merebahkan kepalanya tepat di pahaku. Kano memejamkan matanya dengan tangan yang terlipat didepan dada. Napasnya teratur. Hatiku mendadak panas, udara malam ini cukup dingin namun membuatku berkeringat. Piyama yang kupakai sudah mulai kusut kugenggam sangat erat. Diperparah kakiku yang kram karena menopang tubuhnya yang besar.
"Presiden Mahasiswa, K-kau mau apa?"
"Tidur."
Aku hendak langsung berdiri saja, mengabaikan jika nantinya kepalanya akan membentur kursi. Namun, seperti semuanya telah dirancang tubuhku bahkan tak dapat bergerak walau sesenti. Aku mati rasa.
"P-presiden Mahasiswa."
Aku menggigit bawah bibirku. Mataku bergerak kesana-kemari tidak karuan. Belum sempat aku berpikir untuk lari saja, tiba-tiba saja Kano bangkit lalu mendorong tubuhku ke pembatas kursi. Aku memekik saat kurasa punggungku membentur besinya dengan keras.
Kano menahan kedua bahuku, tubuhnya sangat dekat dengan tubuhku. Wajahnya bahkan hampir menyentuh wajahku hingga aku bisa melihat dengan jelas bagaimana matanya menatapku, melihat jelas bagaimana wajahnya yang menyeringai ngeri. Sangat berbeda saat dihadapan kepala sekolah dan guru kami.
Sisi iblisnya telah muncul.
Jiwa berwibawa seorang Presiden Mahasiswa dalam sekejap berubah menjadi jiwa penuh kengerian.
Keringatku meluncur deras di kedua pelipisku, kugigit kuat-kuat bibir bawahku yang bergetar,
"Lepaskan aku, Kano." Suaraku mencicit, hampir seperti bisikan.
Kano mendekatkan bibirnya kearah telingaku, hembusan napasnya terasa panas di sekitar leher, "Wow, coba ulangi kau memanggilku apa?"
"Tidak! Presiden Mahasiswa, a-aku mau pulang!" aku memberontak, menggerakan bahuku berharap bisa dilepaskan. Namun, ia malah semakin menghimpitku. Kedua kakinya bahkan digunakan untuk mengunci kakiku.
"Aletta, aku menginginkanmu."
Tidak! Ini sudah sangat salah. Dapat kurasakan air mata lolos dari pelupuk mataku. Aku menggeleng-geleng dengan keras, "kumohon."
Aku membuang wajahku kesamping. Kano sangat mengerikan, ia mencoba menyentuh daguku dan memaksaku menghadap kearahnya. Aku menegang. Tangannya semakin lama semakin mencengkram kuat di bahuku, menghantarkan rasa perih disana.
Aku memukul dadanya berulang kali. Sungguh, aku harus lepas dari iblis ini. aku harus menyelamatkan diriku.
Kemudian kurasakan cengkraman itu mengendur secara perlahan, kulihat mata itu yang perlahan menutup dengan lambat. Lalu kudengar Kano berbicara dengan suara yang bahkan tidak dapat kudengar dengan jelas.
"Al, aku a-ak__"
Setelah itu, secara tiba-tiba tubuh Kano ambruk diatasku.
Semuanya berlangsung sangat cepat.