Ombak laut yang tiba-tiba meninggi kemudian menerjang buritan kapal, mendorongnya untuk bergerak keluar menuju lautan lepas.
Semua air laut di sekitar tepian kapal seolah berkumpul dan menggerakkan kapal layar raksasa ini.
Tidak ada teknologi apapun yang mereka pakai untuk bisa mengendalikan semua air ini. Mereka murni memakai kemampuan alami dari energi dan sihir.
Ada beberapa penyihir kelas 'Elementals', berdiri di sekitar sisi kapal. Mereka memasang kuda-kudanya, dan suatu lingkaran sihir mereka ukirkan menggunakan energi [Shi]. Kau bisa melihat adanya wujud lingkaran sihir yang mengambang di antara telapak tangannya. Dengan mengontrol aliran energi sihir di tangan mereka, mereka mengendalikan semua air di tepian kapal itu sesuai gestur pola pada tangannya.
Begitulah cara mereka menggerakkan kapal besar ini.
Sebagian dari mereka berdiri di dalam kamar menara pada puncak tiang kapal. Mereka mulai mendedahkan setiap kain layar dari atas pilar-pilar kapal, dan menurunkan keempat kain layar sekaligus. Bersama berkibarnya layar kapal, tiupan angin kencang mendorong kapal itu meninggalkan daratan.
Mereka juga merupakan penyihir kelas 'Elementals'. Dengan memanfaatkan energi sihir, mereka juga memanipulasi angin untuk membantu pergerakan kapal.
Seorang pria berambut hitam tengah berdiri di belakang tepian pembatas kapal. Iris matanya yang legam, terlihat kosong seperti bangkai ikan. Mulutnya sesekali mendengus dengan suara napasnya yang tajam.
Dia telah berdiri di sana sejak naik ke kapal ini, dan masih memandangi bayangan daratan yang setiap detiknya kian memudar karena terbatasnya jarak pandang, serta terhalang oleh embun kabut. Cartez berpikir harus melihatnya, karena dirinya sendiri tidak tahu kapan harus kembali, dan mendapati pemandangan akan daratan seperti ini ke depannya.
'Apakah ... ini keputusan yang benar?'
Cartez terus mempertanyai dirinya sendiri akan keputusan yang telah diambilnya. Meski di luarnya dia terlihat meyakinkan, namun hatinya masih terus dihantui rasa bersalah.
Noir tiba-tiba sudah muncul ke sebelah Cartez. Dia berdiri bersamanya, dan ikut memandang ke arah yang sama. Noir lalu berkata,
"... Bukankah cuacanya terlihat indah?"
"Benar."
"... Apakah kau masih merasa ragu ... tuan?"
"Tidak ...."
"Kalau begitu ... apakah kau menyesalinya?"
"Apa maksudmu?" Cartez sedikit melirik ke arah kanannya.
"Pilihanmu. Kau terlihat bersedih ... jika kau merasa ini hal yang salah, katakan sesuatu kepadaku. Jika aku bisa ... maka aku akan membantumu sebisa mungkin."
"Maaf kalau aku membuatmu khawatir, Noir. Tetapi ... aku baik-baik saja."
Cartez memejamkan matanya, dan menikmati sejuknya udara segar yang berhembus dengan embun pagi.
Cartez lalu menatap ke arah Noir, mata mereka saling bertemu. Cartez lebih dulu mengalihkan pandangannya karena merasa malu.
"Maaf ... Noir, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Noir mengangguk memberi jawaban iya. Dia masih menatap Cartez dengan paras lembutnya yang datar.
"Kau ... tidak, maksudku ... kalian semua, apakah benar-benar manusia?" Suara Cartez terdengar ragu dalam mengatakannya.
"Kami manusia ...."
"Lalu, sihir yang kalian pakai ... kekuatan seperti itu tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa! Sebenarnya, apa kalian ini?" Cartez menekan suaranya sedingin mungkin. Ekspresinya jelas sekali sedang penasaran.
"... Aku tidak bisa menjawabnya. Tetapi, kami juga pada awalnya terlahir sebagai manusia. Dan sekarang pun, aku masih menganggap diri kami sebagai manusia."
"Aku tidak mengerti sama sekali. Kenapa kalian mau membantuku sampai sejauh ini? Dengan kekuatan sebesar itu, tentunya kalian bisa dengan mudah menjaga batu ini, dan merebutnya dariku bukan?"
"Lantas, mengapa? Mengapa harus orang sepertiku? Bukan Tenwuu, atau orang seperti Ichariuz? Atau mungkin, kau ... Noir?" sambung Cartez.
"Karena aku telah memilihmu ...."
Cartez sejenak menundukkan wajahnya. Dia merasa cukup terkejut.
Meski dia menanyakan semua rasa penasarannya, Cartez sama sekali tidak mendapatkan penjelasan apapun. Sedari awal semuanya memang terasa aneh dan janggal, bahkan Cartez sudah menyadarinya. Ada sesuatu yang besar di balik semua ini.
Cartez menghela napas, dan suara dengusan dari mulutnya begitu tajam. Cartez kemudian berkata dengan suara yang layu,
"Ini di luar rencanaku. Baik kedatangan kalian, maupun semua yang terjadi sebelumnya. Aku tak pernah mengira akan ada seseorang yang datang membantuku ...."
"Kebetulan ... mungkin." Noir berkata selembut mungkin, dan suaranya terdengar begitu halus.
"Mana mungkin begitu, bukan? Kebetulan? Itu terlalu aneh untuk bisa dijadikan alasan."
Cartez masih bersikap dingin. Cara bicaranya juga masih terkesan kaku. Noir hanya memandangi Cartez dengan begitu lembut.
Cartez mencoba menoleh dan menghadap Noir. Melihat tatapan mereka yang akan bertemu, Noir segera memutar matanya ke arah kanan, seolah buang perhatian. Noir lalu berkata,
"Itu ... kebetulan ...."
Merasa tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Cartez hanya mendengus tidak puas. Kepulan uap berhembus keluar dari mulutnya. Helaan napasnya bahkan terdengar berat.
"... Tidak masalah jika kau tidak ingin memberitahukannya. Meski begitu, aku merasa sangat terbantu berkat adanya kalian ... Noir. Warryson Held tak mungkin bisa kuatasi sendirian, aku tak menyangka jika kalian bisa memojokkannya seperti tadi."
"Sama-sama ...."
"Noir ... menurutku, kau adalah orang yang hebat." Cartez sedikit mengangkat sudut mulutnya, mencoba tersenyum, meski itu gagal dan tidak terjadi.
Noir merasa cukup kaget saat mendengar pengakuan Cartez barusan. Wajahnya hampir saja memerah, namun dia masih tidak bisa menunjukkan ekspresi apapun.
Noir tiba-tiba menyentuh sisi bahu Cartez, dan mengetuk-ngetuk kulitnya Cartez dengan lembut. Noir menunjuk dengan salah satu jarinya ke arah kiri Cartez.
Cartez lantas menoleh, dan mengikuti apa yang ditunjuk oleh Noir. Cartez menyadari kedatangan beberapa orang yang mengenakan jubah serbah hitam. Salah satu dari mereka masih menutup kepalanya dengan suatu tudung kepala, dan seorang pria bersama wanita membiarkan penutup kepala mereka terbuka.
Mereka bertiga lantas membungkukkan punggung, dan menundukkan diri. Salah satu dari lutut mereka bertiga menyentuh lantai, dan tangan kanan mereka menyentuh sisi dadanya.
"Tuan ... perkenalkan, nama saya adalah Lanns," kata seorang pria berambut hitam. Dia memiliki paras yang cantik, dan gestur wajahnya begitu menawan.
"Yinz," kata si wanita bersurai hitam yang di kiri.
"Nesary." Wanita di sebelah kanan masih menyembunyikan wajahnya di balik suatu tudung hitam.
Cartez masih memandangi mereka. Ia lalu sekali melangkah, dan menghadap ke arah mereka bertiga. Sorot wajah Cartez tampak dingin di mata Lanns, dan dia cukup gugup dipandangi seperti itu.
Cartez menekuk sudut matanya, seraya berkata,
"Berdirilah."
Mereka bertiga lantas berdiri tegap— hingga Lanns merasa gugup mendengar suara setegas itu. Mereka bertiga masih menundukka wajahnnya, dan Lanns meneguhkan hatinya untuk tidak mengangkat kepalanya sebelum mendengar perintah.
"Angkatlah wajah kalian, dan lihatlah mataku."
"Baik ...!"
Setelah meneguk liurnya yang pahit, Lanns mengangkat kepalanya, dan melihat ke arah Cartez. Lanns merasa kaget, dia melihat sorot suram yang penuh kekhawatiran. Namun, saat sama dia merasakan aura penuh tekanan dari sorot tatapan matanya.
"Aku ingin berterima kasih kepada kalian ... karena telah mau membantuku sampai kemari. Mungkin tak cukup kata-kata saja untuk menyampaikan terima kasihku ini, karena itu ... izinkan aku melakukan ini."
Selesai mengatakan semua itu, Cartez secara tidak diduga malah membungkukkan punggungnya ke hadapan mereka bertiga.
Mereka lantas terkejut atas tindakan seorang Cartez. Noir hanya terdiam dan memandangnya dengan lembut.
Selesai membungkuk, Cartez kembali menatap mereka bertiga. Dia melihat ekspresi kedua orang di sana begitu kaget. Tentunya itu karena tindakannya barusan.
Setelah kembali tenang, Lanns berkata selembut mungkin,
"Selanjutnya ... apa perintah anda, tuan?"
"Perintah?"
Cartez merasa bingung. Lantas, dia menoleh ke arah Noir yang masih berdiri di sampingnya. Noir kemudian menjelaskan,
"Mulai sekarang, aku bukan lagi yang memberi perintah kepada mereka. Kami semua akan mengikutimu ... mulai detik ini, sampai seterusnya. Jadi, berikan kami perintah ... tuan."
Noir tiba-tiba menundukkan wajahnya, dan tangan kanannya menyentuh sisi dadanya, Cartez merasa kalau ucapan Noir barusan sangat serius. Dia bahkan merasa terkejut melihat tindakannya barusan.
Cartez dibuat tidak bisa berkata-kata lagi. Dia masih kebingungan, dan tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa.
"Ahh ... a—"
Tiba-tiba terdengar suara hentakan langkah kaki seseorang yang mendekati mereka. Seorang pria mengenakan jubah tertutup berwarna abu-abu, tengah berjalan menghampiri Cartez. Dia mengenakan topi bundar berwarna putih, dengan bentuk piringan lebar di atas kepalanya.
"Tuan Cartez, maaf karena telah membuatmu menunggu terlalu lama. Mari ikut denganku berkeliling ... aku ingin menunjukkan beberapa bagian kapal ini kepada kalian semua." Suaranya terdengar bugar, meski tampangnya terlihat lumayan tua.
Dia adalah Linn Lue, orang yang dipercayakan Wenwu memimpin kapal ini. Dia sekilas terlihat berada pada usia kepala empat. Kerutan pada wajahnya sudah keriput, namun urat pembuluh darahnya berkumpul memenuhi sisi wajahnya. Dia juga orang yang cukup kuat, dan punya pengalaman dalam hal pelayaran.
"Ah, tentu ... tuan Linn Lue." Cartez tersenyum kecut saat menanggapinya.
Selagi berjalan, Noir menjinjit lengan mantelnya milik Cartez dengan ujung jemarinya. Cartez melirik ke wajah datar Noir yang tak berekspresi sambil memejamkan matanya. Mungkin karena ia ingin mengistirahatkan matanya, maka Noir memegang Cartez begitu.
Cartez tidak merasa keberatan, dan tetap membiarkan posisi Noir seperti itu.
Sesaat kemudian, Cartez baru menyadari kalau ada sesuatu yang kurang darinya. Dia melihat sekelilingnya, dan tidak menemukan si wanita berambut pirang sebelumnya.
"Tunggu ... di mana Fyierra?" kata Cartez seraya menoleh ke arah Noir.
"Dia tengah tertidur dalam dimensi bayangannya ...," jawab Noir dengan pelan.
"Ah, begitu."
"Dia terlalu banyak membuang-buang energi sihirnya ...."
Mengingat cara bertarung Fyierra sebelumnya, Cartez jadi memahami alasan Fyierra sedang tidak ada di sini bersama mereka.
"Kau benar ... jadi, dia hanya perlu tidur untuk memulihkan dirinya?" kata Cartez seraya menoleh Noir kembali.
Noir mengangguk atas pertanyaaan itu.
Selagi mereka berdua berbicara, kini langkah mereka sudah memasuki kawasan tengah dek kapal. Berada di pertengahan dek, mereka bisa melihat adanya penampakan mengagumkan dari struktur bangunan kota yang berdiri kokoh. Terbuat dari material khusus, membuat berat bangunan di atas kapal dapat seimbang dengan tekanan massa di sekitar kapal.
Semua bangunan berjejer rapat satu sama lainnya, dan memiliki tingkatan lantai berbeda-beda. Setiap ketinggian bangunan itu menciptakan keragaman dan keindahan tersendiri.
Untuk seukuran kapal layar, kapal ini bisa terbilang tidak biasa. Saking luasnya kapal ini, perlu beberapa menit untuk berjalan dari sisi ke sisinya.
Jalanan yang mereka lewati sekarang merupakan perlintasan untuk pejalan kaki.
Untuk turun ke lantai bawah, kau bisa memasuki tangga dalam tiang pilar kapal. Ada empat pilar raksasa di sepanjang kapal, dan menjadi rute untuk turun ke geladak dek bawah, maupun berjalan naik ke puncak menaranya.
Selagi berjalan, Linn Lue telah menjelaskan secara detail mengenai struktur, dan bagian fungsi dalam kapal tanpa nama ini.
Pertama-tama, kapal layar ini memang sengaja di desain untuk menampung banyak kehidupan makhluk hidup di dalamnya layaknya sebuah bahtera.
Berada di bagian tengah dek, adalah lokasi untuk pemukiman utama, dan menjadikannya sebagai kota hunian.
Jika turun satu lantai ke bawah, adalah sambungan bangunan dari lantai atas. Dalam lantai ini, tampilannya seperti kota bawah tanah yang dipenuhi lampu dari binatang sihir dalam wujud roh. Ini merupakan kota kedua, dan menjadi tempat tinggal bagi mereka yang tidak ingin berada di atas.
Ada banyak fasilitas, dan ruang pertokoan di lantai kedua ini. Bahkan, ada juga ruangan khusus untuk dijadikan lokasi berwisata.
Turun satu lantai lagi, memasuki lantai ketiga. Ini adalah tempat serbaguna dengan berbagai tujuan. Ruangan dalam dek ini masihlah kosong. Sesuai tujuannya, dek ini bisa dipakai sesuai kebutuhan. Karena itu, lantai ini sengaja diberi ruang kosong untuk memberi penduduknya area terbuka.
Lantai terakhir, merupakan dasar dari geladak dek kapal. Ini merupakan ruangan penting, dan penentu dalam keberlangsungan bergeraknya kapal ini. Karena di sini, adalah ruangan para penyihir berbakat bekerja. Ada banyak sekali kristal sihir yang tertanam dalam dinding kapal, dan memancarkan pendar cahaya merah muda. Semua kristal sihir, saling terikat melalui garis retakan energi pada dindingnya.
Berada di lantai ini juga, mereka memakai sebagian ruang dalam dek untuk membuat pedang sihir. Ini merupakan dek terbesar dari lantai-lantai dek sebelumnya. Kau bisa melihat adanya penyimpanan kotak-kotak kayu berisikan pedang sihir yang siap dipakai.
"Sebelumnya, kapal ini adalah alat transportasi utama ras kami untuk membagikan pedang sihir melalui jalur laut dan pelabuhan. Seharusnya juga, kapal ini akan berangkat ke wilayah Erteral guna mengirimkan pesanan pedang sihir. Tetapi, karena insiden tidak terduga ini terjadi, kapal ini tidak pernah jadi berangkat pergi. Dan kini, tuan Wenwuu mengubah kapal layar biasa ini, menjadi kapal layar raksasa bak bahtera. Kapal ini ... hebat sekali, bukan?" ungkap Linn Lue dengan wajah bangganya.
Cartez seolah mendengarkan saja, dan sesekali mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata. Raut wajahnya masih terlihat suram. Meski dia bersikap tenang, sorot matanya menunjukkan suatu pikiran yang membuatnya selalu khawatir.
Bahkan bagi Noir sendiri, terlalu sulit menebak isi pikiran seorang Cartez.
"Selain itu, kapal ini memiliki daya tahan tinggi akan serangan. Kalian tidak akan bisa meragukannya! Tepian lambung kapal sudah dilengkapi jeruji perak, serta pagar pelapis, tidak memungkinkan adanya peluru meriam atau tubrukan yang bisa menembus sisi kapal dari luar."
Cartez tiba-tiba berhenti melangkah. Noir yang merasa Cartez tidak lagi bergerak, kemudian ikut berhenti dan membuka matanya. Mereka semua juga ikut berhenti setelah menyadari Cartez masih tertinggal di belakang.
"Tuan ...?" panggil Noir dengan suara lembutnya.
"Ada apa, tuan Cartez?" tanya Linn Lue.
Cartez sejenak mendongakkan dagunya, dan melihat birunya langit di atas sana. Dia menghela napas seraya kembali menurunkan wajahnya, lalu menoleh ke arah Noir. Cartez berkata,
"Kurasa ... aku memang tidak bisa mengabaikan semuanya begitu saja. Tentang apa yang dikatakan Held tadi, itu sedikit menggangguku."
"Apa kau ingin kembali ... tuan?" kata Noir.
"Jika aku bisa ... mungkin saja. Tetapi ... aku juga tidak bisa kembali begitu saja setelah apa yang terjadi."
"Apa yang kau inginkan ... tuan?" Suara Noir bertambah serius, dan dia masih menatap Cartez.
"Aku merasakan sesuatu yang buruk sedang terjadi di wilayah kekaisaran ... aku ingin mengetahuinya ...," sahut Cartez.
"Kalau begitu, aku bisa tunjukkan padamu, apa yang sedang terjadi sekarang di sana ...." Noir kemudian mengulurkan tangan kanannya ke arah Cartez.
"Apa ... bagaimana?" kata Cartez dengan pelan.
"Dengan sihir ... sentuh tanganku ...."
Cartez kembali menatap ke arah Noir. Dia merasa cukup yakin dengan perkataannya, dan tanpa ragu menggenggam tangan Noir.
Detik itu, Pemandangan di hadapannya Cartez berubah dengan kecepatan yang tak dapat diikuti oleh matanya, nyaris seperti melihat pergerakan di sisi jalan dengan kecepatan cahaya.
Sesaat kemudian, kesadaran Cartez kembali, dan kini dia melihat suatu pemandangan yang tidak diduga-duga. Ini adalah situasi tidak biasa dan mengerikan.
Saat ini, kesadaran Cartez sedang berada dalam wujud seekor burung gagak berwarna hitam. Dan gagak itu kini sedang terbang bebas mengelilingi kawasan suatu tempat yang sebelumnya pernah berdiri sebuah kota besar dengan puluhan ribu penduduk di dalamnya.
Cartez di sini menyaksikan suatu lubang kawah terbuka, dan meninggalkan bekas percikan bara api yang masih menyala. Sebagian tanah masih terbakar, dan mengepulkan kepulan asap hitam ke udara. Ini adalah pemandangan mengerikan bagi Cartez, karena dia tahu bahwa tempat itu sebelumnya adalah tempat berdirinya ibu kota kekaisaran Athilla.
Kini, tempat itu berubah menjadi lahan tandus dengan lubang kawah yang menyisir tepian wilayahnya.
Cartez kembali ke kesadarannya dan menatap mereka semua dengan rasa bingung, ekspresi yang terukir di wajahnya tak bisa berbohong, ia berkeringat dingin dan merasa terkejut akan pemandangan tadi yang masih membekas di pikirannya.
"Jadi begitu, pantas saja ...!" gerutu Cartez.
Cartez merasa lemas, jemari tangan kirinya yang gemetaran bergerak naik, menutup setengah wajahnya yang mengukir ekspresi kemurkaannya.
"Tuan ... kau tidak apa?" tanya Noir.
"Aku baik-baik saja ... aku ... sungguh baik-baik ... saja."
Cartez tak bisa membendung emosinya lagi, air yang bercucuran dari kedua matanya berkata demikian, bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
"Tuan Cartez ... sebagai permintaan terakhir tuan Wenwuu. Dia mengatakan, apapun pilihanmu yang ingin membawamu kembali, sebaiknya tahan saja ... ini demi kebaikan semua orang."
"Aku tahu itu. Sedari awal, aku sudah bersiap akan kemungkinan terburuk seperti ini. Aku ... tidak menyesalinya," kata Cartez yang kembali bangkit dengan tatapan tajamnya.
Selepas Cartez menyeka air matanya, dia beranjak bangun, dan berjalan melewati mereka semua. Dia menaiki suatu anak tangga yang mengarahkannya ke atas dek kemudi. Saat di tengah-tengah tangga, Cartez berbalik dan menghadap ke arah mereka yang masih bergeming menatapnya.
Cartez berdiri di sana, dan tangga tersebut seolah menjadi panggung baginya. Cartez memperlihatkan ekspresi aslinya yang dingin dan hampa. Cartez lalu berkata,
"Sekarang aku tahu ... perintah apa yang akan kuberikan."
Cartez mengambil sesuatu dari balik kantong mantelnya, dan memperlihatkan batu materi sihir di atas telapak tangannya. Cartez menjulurkan tangan kanannya yang memegang batu sihir, dan tatapan mereka semua tertuju ke batu tersebut. Batu itu bersinar dan melayang, serta memancarkan pendar cahaya berwarna ungu kehitaman.
"Tentunya kalian semua sudah tahu alasan kalian ada di sini bersamaku, bukan? Tujuan awalku adalah membawa batu ini pergi, dan menjauhkannya dari tangan siapapun. Kalian semua ... mulai detik ini, akan meneruskan tujuanku untuk menjaga dan melindungi batu ini dari tangan siapapun. Apapun yang terjadi, semengerikan apapun rintangan yang akan menanti ... kita semua yang ada di sini, akan melindungi batu sihir ini dari tangan orang-orang yang ada di luar sana!"
"Baik ...!" jawab mereka bertiga serentak.
"Baik ...." Suara Noir begitu pelan.
Cartez kemudian mengangkat satu jarinya, dan menunjuk ke arah lautan yang ada di seberang pandangannya sana.
Rambut hitamnya yang terurai, berkibar bersama terpaan angin. Sorot matanya yang kosong tampak mati. Paras dingin Cartez berubah suram, namun saat sama dia terlihat sangat serius.
"Semua yang ada di seberang lautan sana ... adalah musuh. Jangan pernah memercayai siapapun. Mulai saat ini, sampai seterusnya."
"Kalian ... masih belum memiliki nama, bukan? Pasukan berjubah hitam? Itu adalah ciri khas kalian yang paling mencolok. Sudah kuputuskan. Mulai saat ini, kalian adalah rekan utamaku dalam menyelesaikan tujuanku. Kalian ... lindungilah segenap nyawa semua orang yang berada di kapal ini."
"Apapun itu, berusahalah untuk melindungi semuanya, meski nyawa kitalah taruhannya. Kalian semua akan menjadi sosok pahlawan bagi duniaku yang sekarang. Jagalah kedamaian baru ini dari segala ancaman di masa mendatang, mulai sekarang ... kalian adalah, The Black Domed."
Selepas Cartez menjelaskan semua itu, Lanns dan kedua wanita di belakangnya, serta Noir ikut menunduk menghadap Cartez. Mereka semua lantas menjawab,
"Baik!"
"Dimengerti."
"Baik ...."
"The Black Domed!" ucap Cartez meninggikan suaranya.
"Kau tak perlu mengulanginya dua kali juga, tuan!" bentak Fyierra.
Fyierra tiba-tiba melompat keluar dari balik bayangan Cartez. Raut wajahnya masih setengah ngantuk, dan ia mengusap kelopak matanya sembari menguap.
"Tapi ... kurasa itu nama yang bagus, tuan!" sambung Fyierra. Dia menyunggingkan seringainya yang imut.
"Benar, kan?" Cartez tersenyum kecut setelah mengatakan itu, dan wajahnya sedikit miring ke salah satu sisinya.
"Tuan Cartez ... apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?" kata Linn Lue menunjukkan sorot matanya yang miring.
Cartez mengangkat sudut mulutnya, dan berkata,
"Benar, tujuan terakhir kita adalah ...."