Chereads / UnHuman / Chapter 9 - Chapter 8 - Pergerakan musuh

Chapter 9 - Chapter 8 - Pergerakan musuh

Beberapa saat sebelum ledakan terjadi.

Seekor kuda putih membawa tuannya berlari di atas jalanan tanah yang menjadi jalur perlaluan antar wilayah dari ibukota di kerajaan. Jalan raya itu tampak berbatu-batu, sementara kedua sisi jalan ditumbuhi rerumputan hijau yang tidak terlalu tinggi.

Area sekeliling mendadak terang ketika langit di atasnya hampa, disinari oleh mentari yang besar dan bersinar yang menggantung di langit. Angin berhembus dengan kencang dan mendorong awan-awan menjauh ke tempat lain, sementara desiran angin yang segar ini bagai bersiul, dan udara yang datang dari arah berlawanan tiba-tiba mengangkat tudung sang gadis; membuat sosoknya terekspos ke mata dunia.

Figur yang menunggangi kuda itu adalah seorang gadis dengan usia delapan belas hingga dua puluh tahun. Sudut matanya sangat tajam dan bersinar seperti batu obsidian. Dan rambut hitamnya yang lembut berkilau, diikat dengan bentuk seperti kuncir kuda. Berkulit putih bersih seperti salju, membuat wajah cantiknya berkilauan saat disentuh cahaya mentari.

Setelan seragam dan jubah hitam yang dia kenakan adalah pakaian formal militer kerajaan. Walau terlihat sederhana, tapi ketika dia pakai terlihat sangat cocok dan begitu menawan.

Melihat dari arah pergerakannya, gadis cantik ini sedang menuju ke ibukota kerajaan. Dan dari jarak pandangnya sekarang, kini dia sudah bisa melihat sebuah benteng dengan tembok batu yang kokoh dengan tinggi mencapai sepuluh meter mengitari pinggiran area sisi kota.

Setelah dia melewati gerbang tembok yang tidak ada penjaganya, dia sempat berhenti karena merasa aneh, tidak biasanya prajurit yang menjaga gerbang masuk ibukota kerajaan pergi meninggalkan pos penjagaannya.

Apakah sedang pergi berkumpul di suatu tempat?

Walau terasa janggal, dia kembali menarik tali kekakngnya dan berjalan sedikit lebih pelan saat menyusuri area di jalanan yang menghubungkan area luar dan tengah perkotaan.

Ibukota kerajaan terbagi menjadi dua area meski dalam satu tempat. Area setelah memasuki gerbang adalah kawasan bagi militer kerajaan; lini pertahanan luar ibukota kerajaan. Area di sini tidaklah terlalu luas dibandingkan area jantung kota.

Namun, anehnya keadaan di area ini sangat sepi dan tidak seramai biasanya, karena setidaknya ada sejumlah prajurit berjaga demi keamanan kota saat di gerbang masuk tadi, tapi kini tidak.

Semakin jauh kudanya berjalan, masih tidak ada tanda-tanda kehidupan sekalipun di sekitarnya, bahkan setelah dia memasuki area jantung kota di ibukota kerajaan.

Ibukota kerajaan ini mungkin tidak memiliki penduduk sebanyak di wilayah Kastilia of Crown. Namun, puluhan ribu manusia yang pernah tinggal di tempat ini semuanya tidak terlihat sama sekali, seolah-olah tempat ini telah menjadi kota hantu hanya dalam waktu semalam sejak dia meninggalkan ibukota kerajaan.

Dia bisa melihat makhluk hidup yang terbang di atas langit, atau beberapa hewan liar yang berlari di sisi jalan raya. Karena sanitasi kota ini kurang terjaga dengan baik, binatang pengerat seperti tikus kadang berkeluyuran di sekitar kota. Lolongan anjing pun ikut terdengar dalam sepinya suasana kota, dan bayangan gelap di antara celah bangunan rumah yang bertingkat memberi pemandangan suram ketika melihatnya.

"Di mana sebenarnya semua orang?"

Dia masih berpikiran positif dengan mengira para warga sedang melakukan aktivitas pribadi di dalam rumahnya, walau sedikit aneh jika tidak ada satupun yang keluar rumah di hari secerah ini.

Memang aneh, namun dia mencoba menyingkirkan pikiran negatif itu agar tidak memengaruhi pikirannya.

Dia lantas menarik tali kekangnya dan memacu sang kuda berlari lebih cepat. Tujuannya kemari sekarang adalah untuk bertemu seseorang di istana kerajaan.

Istana kerajaan seperti menjadi inti jantung kota karena berdiri tepat di tengah-tengahnya, seluruh jalan di kota mengarah ke istana sehingga tidak sulit mencarinya. Yang mengelilingi istana adalah sejumlah menara dan tembok batu yang cukup tinggi untuk manusia bisa memanjatnya. Istana berada di tempat aman dengan penjaga yang selalu berpatroli di sekitar taman istana dan gerbang masuknya.

Walau seharusnya istana kerajaan ini sangat aman, dia berpikiran sebaliknya saat melihat keadaan istana sudah berubah, tidak sama seperti sebelumnya.

Logam padat yang menjadi pagar gerbang masuk istana terlihat jebol seolah sesuatu mendobraknya dengan paksa. Dan cairan merah yang sudah mulai mengering di sekitar lantai gerbang, serta bau amis yang menyengat di udara, mengisyaratkan sesuatu telah terjadi di sana.

Segera, dia berhenti dengan menarik tali kekang kudanya, membuat sang kuda putih meringkik sambil mengangkat kaki depannya ke udara.

Sebelum beranjak turun, dia membawa dua bilah katana yang masih tersimpan di tas pelana kudanya. Kemudian, dia melompat turun dan berlari masuk menuju istana. Dia dengan gaya seorang swordsman; menggenggam katana yang masih terbungkus rapi dengan sangat elegan. Dia sudah mempelajari dan menguasai sebuah teknik aliran berpedang [Napas Utara] dari seorang ksatria Kastilia of Crown. Walau tingkat keahliannya masih belum sampai ke ranah seorang sword master, setidaknya dia sudah mampu dalam menggunakan teknik-teknik berpedang dengan cukup baik.

Begitu berjalan memasuki area dalam istana, dia merasakan atmosfir di sana berubah menakutkan; menyengat hidungnya dengan bau amis yang membaur di udara. Ini adalah pemandangan mengerikan. Membuatnya diam tak bergerak setelah melihatnya.

Keadaan istana kerajaan di ingatan Mutsuri berkebalikan dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Sebuah taman yang diisi oleh berbagai jenis bunga berwarna putih, biru, dan kuning dulunya selalu disiram dengan teratur oleh para pelayan agar bisa tumbuh dengan indah; agar setiap mata pengunjung yang berjalan di sekitarnya akan terpesona dengan kecantikannya. Namun, semua tidak lagi sama dengan sebelumnya. Berubah kelam karena cipratan darah menodai pelupuk bunga dan dedaunannya.

Kolam air mancur kecil di tengah taman tidak lagi mengeluarkan air yang jernih, tercampur dengan cairan berwarna merah gelap yang menjijikan, sehingga air yang tertampung di bawahnya sekarang adalah kolam darah.

Wajah gadis itu justru semakin memucat saat dia melihat apa yang terpancang di atas stan kolam— figur seorang pria paruh baya dalam keadaan telanjang dengan keadaan terkulai tak berdaya.

"Ke-kenapa ... kenapa raja A-Aragon ada di sini!?"

Gadis itu mengenal sosoknya sebagai seorang raja dari wilayah Aragon, King Aragon III.

Dia tidak mengerti kenapa dia bisa muncul di hadapannya dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan seperti itu. Tidak mungkin jika dia masih hidup, bukan? Begitulah pikirnya saat melihat keadaannya.

Akan tetapi, pemandangan ini sungguh kejam sekali.

Seharusnya yang ada di atas kolam air mancur itu adalah sebuah patung sang raja dari generasi sebelumnya— tetapi sekarang seseorang telah menggantinya menjadi figur seorang pria tanpa busana. Kedua kaki dan tangannya tertancap bilah-bilah paku tajam berbahan perak, di atas salib padat berbahan perak pula. Sekujur tubuhnya penuh luka goresan benda tajam atau juga tusukan, dan sebagian kulitnya melepuh. Darah yang merembes keluar dari luka di seluruh tubuhnya sepertinya masih basah, mengalir dengan hangat ke kolam air di bawahnya.

Pria malang itu seperti sehabis menerima siksaan yang tidak bisa dibayangkan betapa mengerikannya rasa sakitnya; seolah dia sehabis melakukan penebusan dosa. Yang membuatnya terlihat seperti itu adalah karena tubuh pria dengan usia enam puluh tahun itu terpancang di atas salib. Walau heran saja, kenapa salib itu bentuknya sedikit aneh.

Salib berwarna perak itu tidaklah seseorang persiapkan, melainkan peraknya terbentuk dari darah seseorang yang menggunakan teknik Iblis. Bukti ini gadis itu ketahui saat melihat sejumlah akar logam berwarna perak yang menyebar dan melingkar di sekitar salib; tampak seperti pohon yang baru tumbuh. Artinya, ada dalang di balik ini semua.

Setelah menyimpulkan hal ini— gadis itu kembali dibuat terkejut saat menyadari ada tiga orang yang sedang melihatnya sedari tadi; duduk di atas anak tangga yang lantainya berbalut marmer, di jalan masuk istana.

Wajahnya sudah semakin pucat, dan keringat dingin mulai menetes di wajahnya. Dia merasakan suatu tekanan mengerikan mengalir dalam dirinya saat melihat mereka. Tidak salah lagi— mereka adalah penyebab dari ini semua!

Atmosfir mencekam yang sedari tadi mencemari udara muncul dari mereka, dan suasana mengerikan ini juga karena keberadaan mereka.

— Siapa mereka ... sebenarnya!?

Gadis itu sadar untuk tidak terus terpaku begini. Segera, dia menenangkan dirinya dan mencoba menunduk sejenak— namun tidak bisa, lehernya terlalu tegang untuk bisa menolehkan kepalanya. Saat melihat mereka sekali lagi, dia merasakan nafsu membunuh mengerikan yang muncul dari mereka.

Terlebih, dia merasa bergidik merinding saat matanya tertuju ke orang yang di tengah;

sosok berambut hitam dengan aura menakutkan yang memancarkan tekanan luar biasa. Sudah pasti sosok di tengah itu adalah orang berbahaya, dan jelas lebih kuat dari kedua orang yang ada di sisi kiri dan kanannya.

Dia tidak bisa memastikan gender sosok berambut hitam itu karena seluruh wajahnya tersembunyi dalam sebuah topeng kulit dengan bentuk paruh burung; paruh itu memiliki corak unik karena bentuk jahitannya sangat elegan. Melihat dari postur tubuhnya yang tinggi walau agak sedikit ramping, kemungkinan dia adalah seorang pria. Asumsi ini muncul karena gaya rambutnya yang dipotong pendek dan disisir rapi ke belakang.

Pria berambut hitam itu mengenakan setelan militer asing dengan model kekaisaran Timur; memakai seragam hitam seperti kemeja, dengan jubah gelap melengkapi gaya lapisan luarnya. Dia masih duduk saja di atas anak tangga dengan pose menyangga sisi wajahnya yang sikunya bertumpu di lutut, seolah-olah dia sedang menunjukkan suasana hatinya yang merasa bosan.

Kedua sosok misterius yang bersamanya juga mengenakan topeng berbentuk sama; hanya milik mereka berdua hanya menutupi mulut saja dan tidak dengan bagian dari atas hidungnya, sehingga mudah memastikan jika mereka berdua adalah seorang pria. Mereka bertiga mengenakan pakaian yang identik sama, seolah mereka datang dari perkumpulan/sekte yang sama. Namun, mereka semua lebih mirip seperti seorang mantan prajurit daripada pemuja kitab suci dari teokrasi gereja Selatan.

Setelah gadis itu mengamati mereka bertiga— sosok pria yang di tengah tiba-tiba menegakkan kepalanya, menatap lurus ke arah gadis itu sambil menunjuknya dengan satu jari tangan kanannya.

"Kau—" Suara yang terdengar berat dan tertahan, melanjutkan, "Dapat merasakannya, bukan!? Dari ekspresimu barusan, aku jadi bisa mengetahuinya. Kau memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran Iblis di sekitarmu? Ini sangat jarang sekali terjadi, sepertinya kau adalah tipe yang langka. Artinya ... kau bukanlah keberadaan biasa."

Suara pria berambut hitam itu terdengar aneh karena efek penutup wajahnya, sehingga jadi terdengar seperti menggunakan suara samaran. Tidak ada nada ancaman dari kalimatnya tadi. Namun, gadis itu merasa terintimidasi lewat kata-kata barusan. Dia merasa seolah-olah sedang diancam secara tidak langsung.

"Siapa ... kalian!?" ucap si gadis dengan nada gemetar. Wajahnya mungkin terlihat tenang karena tidak menunjukkan ekspresi, namun itu hanyalah topengnya untuk tidak terlihat tertekan di hadapan mereka.

"Hmm, apakah aku harus menjawabnya?" jawab si pria di tengah.

Pria berambut hitam itu tidak terlalu tertarik untuk berbicara dengannya, namun dia merasa harus bertanggung jawab karena mengingat jika dialah yang sudah memulai obrolan tidak berarti ini.

"Jika kau tertarik untuk tahu, baiklah, ini mungkin kesempatan yang bagus untuk memperkenalkan siapa kami sebenarnya. Namaku adalah— Commander, perwakilan dalam memimpin mereka yang terhinakan dan terasingkan oleh mata manusia. Kami adalah kelompok yang hanya kebetulan memiliki tujuan yang sama, tujuan untuk mencapai kejahatan absolut di mata dunia, The Black Death."

Apa— apaan itu!? Gadis itu hanya sanggup berteriak dalam benaknya. Tanpa dia pungkiri lagi jika mereka adalah makhluk yang jahat dan berbahaya setelah mengetahuinya.

Tiba-tiba saja seorang pria berambut suram di sebelah kiri beranjak bangun— melangkah dengan gaya arogan menuju gadis itu.

Melihat dia datang, gadis itu menyeret kakinya mundur. Dia segera menghunuskan katana-nya yang tajam ke depan, bersiap dengan kuda-kuda bentuk pertama dari aliran teknik berpedang [Napas Utara]. Dia sudah sangat siap jika terjadi sesuatu. Jika ada salah langkah, hal itu pasti akan memicu pertarungan dirinya melawan mereka.

Dia sangat berhati-hati.

"Nemerald! Jangan mencoba menyentuhnya." Suara penuh tekanan datang dari Commander, dia lalu melanjutkan, "Aku tau apa yang kau coba pikirkan sekarang. Sekali lagi, jangan mencoba menyentuhnya!"

Commander yang sudah berubah serius sampai harus menurunkan tangan kirinya yang menyangga sisi wajahnya.

"Memangnya kenapa, Commander!? Bukankah dia—"

"Jangan membuatku mengulanginya untuk ketiga kali ...!" Suara Commander terdengar lebih menekan dari sebelumnya. Cahaya merah sampai terpendar menyala dari lubang kosong yang gelap di penutup wajahnya.

Nemerald berubah ketakutan ketika merasakan tatapan mengintimidasi dari sang pemimpin. Lantas, dia segera berpaling kembali ke sisi kiri tuannya.

"Perjanjian yang dikatakan orang itu harus kita tepati. Itulah kesepakatannya." Commander mengatakannya secara pelan, namun masih dapat terdengar oleh mereka semua, karena suasana mendadak berubah hening.

Gadis itu juga merasakan hal sama seperti Nemerald; aura mencekam akan sorot mata yang baru saja ditunjukkan Commander.

Wajahnya sudah berubah sepucat tembok, kedua tangannya seakan-akan menggigil karena gemetaran, dan karena ini ia tidak bisa memegang dengan sempurna katana-nya.

O—orang-orang ini ... mereka jelas berbahaya! Tetapi tunggu! Kesepakatan apa yang baru saja dia maksudkan? Apa ada orang lain lagi di balik ini semua? Apakah mungkin dia adalah orang dari pihak kami? Tetapi, mengapa perjanjian yang dia buat adalah untuk dilarang menyentuhku?

Dari semua kemungkinan yang dia kenal untuk dicurigai, terlintas satu sosok yang selama ini dia ketahui sebagai seorang seniornya; orang yang menjadi alasan kedatangannya kemari.

Tidak mungkin! Dia ... tidak mungkin melakukan ini! Bagaimana mungkin dia bisa bersekutu dengan mereka!? Akan tetapi, bagaimana jika benar begitu? Apa yang terjadi jika selama ini aku salah menilainya? Berbagai pertanyaan memenuhi isi kepalanya, dan tidak ada jawaban pasti untuk menghilangkan keraguannya.

Lagi pula, bukankah aku tidak pernah tahu siapa dia di belakangku selama ini? Gadis itu kembali memikirkannya, dan tetap saja dia merasa janggal dengannya.

Tidak mungkin jika Mitidral mengkhianati kami.

Rasanya tetap tidak mungkin!

Tidak mungkin dia—

Tiba-tiba sepasang pintunya yang berat dan besar di depan istana terbuka, memperlihatkan seorang pria berambut hitam di belakangnya. Dari koridor masuk istana yang gelap, pria itu berjalan keluar ke dunia luar— menghadap ke arah mereka yang tengah berkumpul di halaman istana.

Apa yang menjadi kekhawatirannya sekarang terwujud di depan mata si gadis itu, membuatnya diam tak bergerak dengan wajah pucat pasi.

Tidak salah lagi, itu adalah dia.

Pria berambut hitam itu mengenakan setelan seragam mewah yang luarnya memakai mantel hitam panjang. Dia berjalan dengan raut wajah yang terlihat hampa, seolah tidak ada ekspresi di sana. Sementara salah satu tangannya seperti sehabis menyentuh cairan merah; sedikit kental dan masih menetes dengan segar, sehingga itu tampak menjijikan.

"Semuanya sudah hampir selesai. Sekarang sisanya tinggal—"

Perkataan pria itu tiba-tiba terhenti saat melihat sosok gadis yang berdiri di tengah-tengah halaman istana. Dia sejenak terdiam dan terus memandangi gadis itu. Wajahnya sedikit berubah.

"Mutsuri ... kau sudah datang, kah? Kemarilah," sambung Mitidral, kemudian mengulurkan tangan kanannya seolah dia ingin memintanya menggenggamnya.

Mutsuri diam tak bergerak, membisu dengan rasa tidak percaya yang terukir di wajahnya. Dia terlihat begitu tertekan, hingga matanya tak lagi berkedip sampai memerah. Pembuluh darah di matanya mulai memerah— menyebar dari pupilnya yang hitam, berubah sepenuhnya merah seperti darah.

Wajah anggun tanpa emosi itu berubah suram, dia menatap penuh kebencian kepada orang di depannya, Mitidral.

"Ini semua ... ulahmu, bukan!? Apa kau sendiri yang merencanakannya?" tanya Mutsuri dengan nada sedingin mungkin.

"Aku—"

— Tidak. Sudah cukup untuk membohonginya lebih dari ini, tidak akan ada lagi kebohongan. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Sudah saatnya untuk mengatakan yang sebenarnya. Setidaknya, dia harus tahu apa yang akan terjadi mulai sekarang.

"Ya, seperti yang kau sudah lihat. Keterlibatanku di sini bukanlah kebetulan, semuanya akulah yang merencanakannya." Mitidral dengan wajah datar, masih bersikap dingin. Dia kemudian berjalan mendekati Mutsuri dengan langkah yang hati-hati.

Mutsuri di sini menelan pahitnya kenyataan saat mengetahui jika salah satu orang terdekatnya yang selama ini berjuang bersamanya, justru mengkhianatinya. Hatinya terasa seperti remuk, seolah sesuatu meremasnya hingga hancur tak bersisa.

Degup irama jantungnya semakin cepat, jauh dari biasanya. Tanpa dia menyadarinya, air menetes jatuh dari satu matanya, membasahi sisi wajahnya.

Ini pertama kalinya bagi Mitidral melihat Mutsuri menunjukkan emosi seperti ini.

"Tsuu, kau—"

"Diam! Jangan bicara lagi! Sudah cukup ... tidak ada lagi yang perlu kau katakan. Mitidral! Kau tidak akan pernah kumaafkan! Tidak akan! Kau!" Mutsuri mengeratkan rahangnya, dan ekspresi dinginnya memancarkan nafsu membunuh yang mengerikan.

Mutsuri segera mengacungkan katana-nya dengan teknik kuda-kuda berpedang.

Menyadari aksi siap bertempur dari orang yang ingin dia lindungi membuat Mitidral berhenti mendekatinya.

"Tsuu, kau tidak berpikir aku akan melawanmu? Jika kau ingin membunuhku, maka silakan saja, namun aku tidak akan melawanmu. Sebelum itu—"

Perkataan Mitidral tiba-tiba berhenti, dan dia mengalihkan pandangannya ke atas; menatap langit biru yang di sana terlihat objek berwarna merah dan melayang layaknya bintang. Itu adalah flare yang memancarkan cahaya begitu terang— entah sihir apa yang mampu membuatnya memancarkan cahaya seterang itu.

Mutsuri kehilangan niat bertarungnya setelah menyaksikan hal sama. Bahkan, perhatian mereka sepenuhnya tertuju ke objek di sana.

"Sudah dimulai ... kah?" gumam Mitidral. Wajahnya masih saja tidak menunjukkan reaksi maupun ekspresi.

"Hmm, sepertinya inilah akhirnya." Commander kemudian beranjak bangun, dan berdiri sambil menoleh ke arah sisi kanannya. "Lyart, sekarang adalah saatnya untuk giliranmu."

"Dimengerti."

Lyart segera bangkit, kemudian berjalan maju melewati mereka. Dia melepaskan sabuk-sabuk pengikat yang mengekang jubahnya, dan membuang jubahnya ke tanah. Dengan telanjang dada, dia memperlihatkan tubuh tegapnya yang gagah dengan otot keras dan berbidang. Kulitnya putih dan sangat pucat; ada banyak sekali bekas luka goresan di sekujur tubuhnya, menunjukkan betapa brutal pertarungannya di masa lalu.

Wajahnya yang tenang tidak menunjukkan ekspresi maupun emosi, begitu juga sorot kosong matanya. Lyart berjalan maju seorang diri dan menjauh meninggalkan istana dan mereka, sampai sosoknya memudar dari pandangan karena jarak.

Commander tiba-tiba saja bersiul dengan suara yang terdengar melengking, menarik perhatian mereka menolehnya.

Seakan merespon suara siulan tadi, seketika muncul gerbang (portal) perpindahan; di depan Commander. Melihat bentuknya yang tidak natural, sulit mencerna fenomena ini sebagai sebuah anomali biasa. Ini pasti adalah sihir.

Gerbang tersebut berfungsi seperti pintu. Terlihat seperti terbentuk dari angin dan cahaya. Itu memiliki bentuk lingkaran dan bersinar, dan tidak ada apa-apa di belakangnya. Pendar cahaya biru yang mengitari sisi portal begitu indah; terdiri dari debu, gas, dan plasma. Mirip seperti melihat awan nebula. Sementara bagian tengah portal adalah kegelapan tanpa memperlihatkan apapun.

Dari tengah-tengah gerbang, seseorang berjalan keluar ke dunia luar, menunjukkan dirinya ke hadapan mereka berempat.

"Maaf atas keterlambatanku, Commander." Seraya berkata, dia menekuk satu kakinya dan tangan kanannya menyentuh sisi dadanya dengan menunduk rendah di hadapan Commander.

Dia adalah seorang pria berambut hitam dengan usia sekitar dua puluh tahun. Mengenakan outfit sama seperti Commander, hanya dia lebih terlihat elegan karena dasi berwarna hitam dan mantel hitamnya sangat bersih berkilau, lengkap sebuah aksesoris musim dingin; syal berbulu yang melingkar masuk ke dalam kerah lehernya.

"Baiklah, tidak masalah, Xinn. Urusan kita di sini sudah selesai." Selesai berkata, Commander menoleh Mitidral, dan menambahkan, "Mitidral, kau boleh membawanya juga."

Tanpa perlu menunggu balasannya, Commander segera melangkah masuk ke dalam gerbang portal.

Xinn kemudian kembali berdiri, lalu menoleh ke arah Mitidral. Iris matanya yang berwarna biru gelap menatap dengan dingin, seolah dia tidak menunjukkan perasaan apapun selain kepada tuannya.

"Masuklah. Waktu kita tidak banyak, Mitidral." Suara Xinn yang lirih terdengar cocok dengan ekspresi dinginnya yang tersembunyi di balik penutup mulutnya.

Mitidral berjalan maju, sembari mengulurkan kedua tangannya. Sorot mata Mitidral kini berubah, matanya sedikit menunjukkan emosi dari tatapannya yang sayu.

"Maaf. Maafkan aku. Walau kau mengatakan tidak akan memaafkanku, aku pun sadar jika aku memang tidak pantas mendapatkan maaf darimu setelah semua yang terjadi. Kau pasti sangat marah, kecewa, bahkan berkeinginan membunuhku. Akan tetapi, kumohon dengarkan sebentar saja—"

"Jangan mendekatiku, Mitidral!" Mutsuri menghunuskan katana-nya ke arah depan, tepat selangkah lagi dari arah Mitidral datang.

"Dengarkan aku sebentar saja, kita harus segera pergi dari tempat ini. Kumohon, Tsuu. Dengarkan aku sekali saja. Aku akan menjelaskan alasanku mengapa aku mau melakukan ini." Wajahnya Mitidral mungkin masih terlihat datar dan dingin. Tapi, emosinya ia tunjukkan melalui tatapannya.

"Tidak ada yang perlu kau jelaskan lagi, Mitidral! Semuanya sudah terlihat jelas!"

Mutsuri sendiri masih merasa ragu, dia tidak mampu menyerangnya dan hanya menghunuskan katana itu sebagai bentuk ancaman. Perasaan dalam benaknya bergejolak tidak karuan. Mutsuri masih merasakan rasa bimbang saat melihat sorot mata Mitidral yang begitu tenang, namun penuh rasa penyesalan. Mutsuri merasa ragu apakah dia benar-benar berkhianat atas keputusannya sendiri, karena setelah melihatnya begini, dia malah merasa jika Mitidral tidak sedikitpun berniat menyakitinya.

Pasti ada sesuatu, aku yakin itu. Mutsuri dengan naluri yang tajam memikirkan semuanya dengan teliti.

"Mitidral, waktu kita tidaklah banyak. Cepat atau lambat, aku akan pergi dengan atau tanpamu." Xinn mendesak dengan suara yang formal, dan nada yang terdengar darinya sangat datar.

"Kumohon ... Tsuu. Aku juga akan menyelamatkan mereka berdua. Aku berjanji."

Mitidral mencoba melangkah lebih maju, dan kali ini ia berhasil berdiri di hadapan Mutsuri dengan sangat dekat. Dia mencoba menyentuh bahu Mutsuri, namun sekejap itu ditepis olehnya.

"Mitidral ... apa aku bisa mempercayaimu sekali lagi?"

Mutsuri kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Mitidral. Karena perbedaan tinggi di antara mereka, Mutsuri sedikit kesulitan untuk melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Namun, Mutsuri berubah terkejut ketika melihat wajah Mitidral seperti ini untuk pertama kalinya.

Selama ini, dia sendiri tidak pernah menyadari emosi Mitidral jika bukan melalui tatapan matanya. Karena sejatinya, Mitidral memang dikenal sebagai pria tanpa wajah. Dia tidak pernah menunjukkan ekspresi dalam keadaan apapun, dan mungkin dia memang tidak bisa.

"Aku berharap demikian. Kau boleh menebas leherku jika menurutmu itu bisa mendapat kepercayaanmu lagi."

"Baiklah. Aku akan bersumpah membunuhmu jika kau membohongiku lagi!"

"Terima kasih." Mitidral seperti ingin tersenyum, walau itu hanyalah ilusi saja.

... ... ...

Lyart berjalan di tengah jalanan kota yang hanya ada dirinya dan suara langkah kakinya, mengiringinya dalam kesunyian.

Kedua sisinya berdiri bangunan rumah yang saling berdempetan dan berjejer rapat dengan lainnya, membentuk barisan atap yang sejajar. Ada banyak sekali bangunan bertingkat, dan tempat dagang seseorang, namun tidak ada siapa-siapa di baliknya.

Lyart kemudian berhenti ketika sampai di sebuah perempatan jalan yang terletak di jantung kota. Dia berdiri sejenak dan menatap langit, melihat sekelompok burung yang beterbangan menjauh meninggalkan kota. Wajahnya begitu tenang, dan tatapan matanya yang kosong tidak menunjukkan emosi.

Tiba-tiba pembuluh darah Lyart membengkak, membuat garis menonjol di permukaan kulitnya. Garis berwarna merah uratnya kemudian berubah warna menjadi kekuningan-hitaman, begitu juga matanya yang berubah memerah. Matanya terbuka dan tampak fokus sekali. Ekspresinya mendadak berubah drastis, seakan-akan tadi itu bukanlah dirinya. Wajahnya menjadi semakin serius, seakan-akan dirinya sudah sangat siap melakukan sesuatu.

Lyart lantas mengangkat kedua tangannya naik hingga setinggi bahu. Jari-jemarinya saling menyatu dengan erat, namun ia sedikit memberi jarak terbuka di tengah-tengah telapak tangannya.

Lyart perlahan memisahkan kembali kedua telapak tangannya, detik itu tercipta sebuah bola hitam padat dengan paduan warna kuning dan merah di antara tangannya. Itu adalah sebuah bola super kecil dengan triliyunan energi sihir dalam kombinasi warna-warni yang bercampur.

"Teknik Darah Iblis, Evidona."

Bola merah seukuran kelereng di tangan Lyart mendadak memunculkan kilatan merah dan hitam secara bersamaan, detik itu bola hitam itu meretak dan muncul sinar cahaya merah menyilaukan.

Ledakan super dahsyat tercipta saat itu. Kurang dari sedetik, gelombang kejut terhempas dari wujud bola energi tadi. Dalam sepersekian detik, setengah daratan benua Eropa merasakan dampak dari terpaan angin panas tersebut, wilayah yang terjauh sekalipun kaca-kaca dari bangunan dan istananya terpecah. Disusul sebuah kepulan awan panas yang melambung ke angkasa dan membentuk kepala jamur.

Dalam prosesnya terjadi, bola yang meretak tadi melepaskan bermacam materi energi. Energi itu saling menciptakan rangkaian yang bertolak-belakang dan menghancurkan inti materinya. Sehingga, bola energi itu melepaskan benturan energi dan meluapkan energi daya nuklir berskala tinggi.

Gelombang tak kasat mata yang membawa udara panas menghempas kuat. Dalam hitungan detik, kepulan asap hitam yang membawa bara api di dalamnya menyebar dan melahap segala bentuk kehidupan dalam jangkauannya. Tidak ada satupun makhluk hidup dapat bertahan dalam panasnya ledakan tadi.

Orang-orang dari negeri tetangga pun saat itu berkumpul menyaksikan fenomena langit yang mendadak berubah merah menyala. Dari pupil mata mereka, terlukis bentuk gumpalan awan merah yang meluap ke angkasa, tatapan mata mereka semua menunjukkan hal yang sama, yaitu rasa takut akan makhluk yang mampu memiliki kekuatan seperti itu.

Seluruh wilayah kerajaan Leon kini terlelap dalam lautan api yang terbakar. Mengubahnya menjadi tanah kering kerontang dan tandus. Bahkan, ini memakan waktu lebih dari setengah jam sampai lautan api itu sirna. Kepulan asap hitam masih membekas di sekitar jalur yang terbakar dan menyisakan bara api yang tertinggal.

... ...

[Note : Diperkirakan jika kekuatan daya ledaknya setara 100 megaton. Besarnya ledakan setara dengan 6000 kali lipat dari ledakan bom Hiroshima]

[Note 2 : Sword master merupakan gelar tertinggi dari kelima jenis aliran penguasaan pedang.]