Chereads / UnHuman / Chapter 4 - Chapter 3 - Pertemuan

Chapter 4 - Chapter 3 - Pertemuan

Aku bermimpi.

Mungkin aneh jika ini disebut mimpi.

Entahlah.

Pokoknya ini adalah situasi yang aneh.

Saat ini, entah mengapa aku tidak bisa merasakan apapun.

Tubuhku terasa begitu ringan sekali, seolah seluruh beban yang selama ini kupikul baru saja terlepas bersama sebuah helaan napas.

Aku merasa mengambang bebas, mengikuti alur ketenangan yang mendorongku turun menuju jurang kehampaan.

Sensasi seperti sedang tenggelam dalam dinginnya lautan yang menekan tubuhku, menarikku menuju suatu dasar tak berujung.

Sekalipun kesadaranku sedang kabur, kenapa aku mendapat perasaan kalau aku merasa seperti itu?

Mungkin, bisa dibilang ini hanyalah sebuah pengandaian dariku.

Sebenarnya, aku tidak bisa melihat atau merasakan sentuhan dari indra perabaku.

Saat ini, aku hanya bisa menerima keadaan ini sebagai sebuah mimpi buruk.

Aku tak bisa berbuat apapun. Selain, hanya bisa pasrah dalam lelapnya kesendirian. Perlahan dan terus melamban oleh kosongnya waktu. Membuat situasi ini menjadi semakin runyam.

Aku tidak mengerti kenapa aku bisa berada di dalam situasi seperti ini. Entah sudah berapa lama ini berlangsung. Atau, mengapa aku bisa berakhir ke tempat seperti ini?

Benar juga.

Sedikit ingatanku mulai kembali.

Kalau tidak salah, sebelumnya aku merasakan sensasi sama seperti ini. Tepat ketika aku akan terbangun di tepian pantai itu.

Ketika aku berjalan mengikuti arah pesisir pantai menuju sebuah kota aneh, aku sempat bertemu dengan seseorang. Setelahnya, diriku ditangkap oleh pasukan kerajaan dan kemudian menerima darah terkutuk ke dalam tubuhku. Setelah itu, aku kembali bangkit sebagai ... Unhuman.

Itulah ringkasan kejadian sebelumnya.

Sekarang, semuanya menjadi semakin jelas bagiku.

Tidak aneh kalau aku tidak bisa merasakan apapun sekarang ini. Karena mungkin saja saat ini aku sudah— mati.

Denyutan yang selalu mengetuk dada kiriku tak lagi kurasakan. Bahkan aku kehilangan fungsi napasku. Artinya, tidak perlu lagi menghirup pahitnya udara kehidupan.

Ah, ini buruk!

Buruk sekali. Tentunya aku tidak ingin mati. Setidaknya aku ingin bertahan sampai aku bisa menepati janjiku.

Tunggu, apa yang baru saja kumaksudkan? Janji apa?

Aneh. Tetapi, kalau diingat lagi, mungkin memang ada yang salah dari diriku sebelumnya.

Saat aku terbangun sebagai Unhuman, entah mengapa aku bisa memakai kekuatan Iblis itu.

Aneh ... bukan? Tentunya aku juga bingung.

Saat itu semua terjadi, tubuhku tidak sepenuhnya berada dalam kendaliku. Aku seakan-akan bergerak dengan naluri liar. Seperti diriku adalah hewan buas yang sedang kelaparan dan disuguhkan dengan sebuah mangsa, dan secara naluri insting pemangsaku timbul untuk mengejar dan memangsa target.

Dalam kasusku, seperti itulah analogi yang bisa kupakai.

Aku menyadari semuanya. Hanya, aku tidak bisa menahan kehendakku.

Itu seperti ada orang lain dalam diriku yang mendadak terpanggil dan mengambil alih untuk sementara. Seolah-olah dirinya juga ingin menikmati keseruan itu. Itu seperti amarah yang hidup.

Itu bukanlah bagian dari diriku yang kukenal. Lantas, siapa aku sebenarnya? Siapa diriku sebelum aku kehilangan kepribadianku?

Aku tidak mengerti.

Sekalipun pertanyaan itu akan terus berulang kali muncul, aku ... tidak bisa menjawabnya.

Ngiiiinggg ...!

Terdengar dengungan kuat yang memekakkan telingaku. Meskipun aku tak mengetahui dari mana asal dan kenapa aku bisa mendengarnya.

Suara itu muncul begitu saja dalam pikiranku, memaksaku merasakannya.

"Suatu saat ... kita akan bertemu lagi, wahai harapanku." Suaranya berbisik sangat lembut, dengan nada rendah yang terdengar seperti seorang wanita.

Si-siapa—

Perlahan kesadaranku tenggelam ketika aku terus mendengar gema suara itu.

... ... ...

[Suara detak jantung]

Tubuhku merasakan kembali sensasi hangat yang merayap ke sekujur tubuhku, begitu juga debaran kencang yang berdegup di dalam dada kiriku. Aku mengambil napas sekuat tenaga seraya membuka kedua kelopak mata.

Ketika mataku terbuka, kumelihat langit berwarna biru dan abu-abu. Agak sedikit gelap. Walau terlihat sedikit bintang, dan siluet bulan di angkasa, cahaya mereka tidak lagi bersinar. Mereka perlahan-lahan memudar dan sirna seiring cahaya lain menyusup lembut dari ufuk.

Sepertinya aku terbangun di waktu fajar.

Setelah menarik napas dalam-dalam, aku sedikit merasakan sensasi aneh.

Apakah aku telah kembali?

Mengingat aku terbangun dari semua kejadian tadi, apakah semuanya hanyalah mimpi?

Aku tidak cukup yakin untuk memastikannya namun, akan kuanggap saja itu sebagai mimpi.

Selain itu, sebenarnya ... di mana aku sekarang berada?

Kepalaku masih merasa sedikit pusing. Tubuhku terasa sangat lemah, sulit rasanya untuk bisa bangkit dari tidurku.

Aku merasa tidak memiliki tenaga banyak untuk mampu berdiri.

Perlahan-lahan, kuangkat rendah tangan kiriku agar bisa menyentuh bagian dahiku. Kepalaku terasa hangat, tidak ada tanda-tanda jika aku akan terkena sakit.

'Fhuuh ....'

Aku menghela napas dengan pelan, dan kepulan uap menyebar keluar dari mulutku.

Terdengar suara merdu dari kicauan burung-burung yang singgah dan bertengger di atas ranting-ranting pohon, seolah mereka ingin menyambutku yang baru terbangun di bawah mereka.

Melihat keadaan di sekitarku, sepertinya aku tengah terbaring di antara akar kayu yang menjalar dan merambat di atas tanah. Akar-akar ini mengarah ke sebuah pohon di belakangku— berwarna pucat dan cukup tinggi. Dahan dan rantingnya begitu banyak, menyebar dengan pola abstrak. Namun, tak terlihat sedikit pun dedaunan di sana, sudah lebih dulu jatuh ke atas tanah dengan warna coklat tua yang layu.

Ini menjadi pertanda jikalau musim ini sudah hampir mendekati akhir.

Walau tampak sederhana, sepertinya seseorang sudah mempersiapkan tempatku tidur selama diriku tak sadarkan diri. Terasa sesuatu yang empuk di bawah kepalaku, menyangga kepalaku dari rasa tidak nyaman akan permukaan yang keras. Serta, ada sebuah kain panjang yang menyelimuti sekujur tubuhku, menjagaku dari udara dingin.

Setelah memastikan keadaan ini, aku jadi merasa sangat yakin kalau ada seseorang yang merawatku selama kesadaranku menghilang. Walau masih belum kuingat kenapa diriku bisa berada dalam kondisi tak sadarkan diri.

Mana mungkin diriku— ah, apa yang baru saja ingin kukatakan? Kepalaku terasa berdenyut kembali, dan aku hampir kehilangan pikiranku walau hanya sedetik.

Sebaiknya aku segera bangun dari sini.

Perlahan-lahan, aku mencoba beranjak bangun dengan mengandalkan kedua tanganku bertumpu di atas tanah guna menyangga keseimbangan.

Aku lantas terduduk dan menatap ke arah tumpukan ranting kayu yang terbakar di depanku— mengeluarkan bunyi berderak. Susunan batu kerkil menghiasi pinggiran api unggun itu. Bayangan yang terbuat dari api menari dari sisi ke sisi.

Tiba-tiba saja angin berhembus, memercikkan bara api yang segera tersebar ke udara. Pendar cahaya bara api menerangi sekitarku, berkilau dengan indah walau hanya sedetik.

Tunggu— siapa dia?

Apa yang menarik perhatianku adalah figur seseorang yang duduk di atas sebuah batang kayu— di sisi lain api unggun yang memisahkan jarak kami.

Tidak cukup yakin untuk menyebutnya sebagai seorang pria atau wanita, karena seluruhnya dia mengenakan pakaian tertutup dari segala sisi. Mungkin, aku bisa menyebutnya sebagai si sosok berjubah hitam.

Namun, apa-apaan suara yang terdengar merdu ini? Dia bersiul? Dia memainkan tangga nada dengan melodi yang harmoni, terdengar sangat menenangkan.

Selagi dia bersiul, dia membuka kedua telapak tangannya dan membentangkannya ke arah perapian. Sepertinya dia juga sedang mencoba menghangatkan dirinya di sana.

Saat aku tengah memandanginya, dia seolah sadar dan menoleh ke arahku. Dari balik kerudung jubah hitam di kepalanya, kumelihat sorot tatapan matanya yang bertemu denganku.

Wajahnya masih tidak terlihat seluruhnya, karena sebuah syal hitam dengan bulu lembut menutupi setengah bagian bawah wajahnya.

Semakin kulihat matanya, iris hitam matanya semakin tajam dan dingin.

Segera, dia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menghampiriku.

Bersamaan itu, aku juga ikut waspada dan mencoba menggerakkan kakiku berusaha berdiri.

Hal sama kurasakan kembali, kedua kakiku terasa lemah, baru setengah bergerak aku sempoyongan dan hampir jatuh. Untungnya aku dapat menyeimbangkan diri dengan bertumpu di atas kedua lututku.

"Apakah kau baik-baik saja?" Suara yang sangat lembut datang dari arah depanku. Membuatku ingin menoleh.

Segera, kuangkat wajahku dan melihat sosoknya yang kini berdiri di hadapanku.

Menebak dari suaranya barusan, aku mungkin merasa jika dia adalah seorang gadis remaja. Nada bicaranya terdengar halus, namun saat sama juga terasa tegas.

Jika melihatnya sekali lagi, tinggi badan kami mungkin hampir sama. Selain itu, aroma harum yang menyebar di udara ini datang darinya. Aku tidak sengaja menciumnya karena jarak antara kami berdiri hanyalah berjarak dua kali langkah kakiku.

Aku merasa sedikit terkejut, dia tidak terlihat seperti seorang gadis biasa.

Siapa dia sebenarnya?

"A-aku ... baik-baik saja. Maaf. Kau ... siapa? Ke-kenapa aku bisa berada di tempat seperti ini?"

Ah, gawat. Cara bicaraku masih tergagap, sudah seperti orang yang ketakutan. Kuharap nada bicaraku tidak terdengar aneh baginya. Apakah aksenku bahasaku juga sudah sesuai?

Aku tidak tahu sedang menunjukkan ekspresi seperti apa sekarang, tetapi aku merasa mewaspadainya.

Dia sejenak melihatku dengan tatapan curiga. Kemudian berkata, "Ah, maaf. Sepertinya aku sudah tidak sopan karena menunjukkan diri tanpa perkenalan. Namaku adalah Viona Sweeshilion. Kau boleh memanggilku dengan nama Viona."

Jadi, itukah namanya? Dia memiliki nama yang cantik.

Dia kemudian menambahkan, "Jangan khawatir, aku sama sekali tidak memiliki maksud dan tujuan jahat."

Aku menghembuskan napasku dari mulut, dan sedikit mengeluarkan suara aneh seperti, 'haah ...?'

"... Kau tidak mempercayaiku?"

Bagaimana mungkin aku langsung percaya kepada seseorang yang penampilannya tidak terlihat jelas. Bukankah itu aneh?

Aku mengerutkan sudut mataku setajam mungkin. Dan dia seperti mengerti maksudku bahwa aku masih waspada terhadapnya.

"Fhuuh ... sepertinya aku tidak punya pilihan. Kalau begitu—"

Kalimatnya berhenti saat dia mengangkat kedua tangannya secara bersamaan, sembari menarik tudung serta sebuah syal dari atas kepalanya. Ketika itu terangkat, sekarang aku bisa melihat jelas parasnya.

Kulitnya yang lembut begitu putih bagaikan kapas. Tidak ada satupun noda, membuat wajahnya berkilauan saat tertimpa cahaya api yang menyala. Begitu cantik dan anggun sekali.

Rambutnya yang berkilau berwarna pirang dikepang dalam pegangan pita biru muda. Sementara tubuhnya yang indah terbungkus dalam sebuah jubah sederhana berwarna coklat gelap.

Lekuk tubuhnya menonjol di tempat yang tepat, dan lekuk tubuhnya langsing di tempat yang tepat.

Dia— cantik seperti tuan putri, hanya dengan tipe karakter seperti seorang ksatria. Gagah dengan aura penuh wibawa dan kehormatan tinggi.

Saat dia menekuk sudut mulutnya dengan lembut, lesung pipi terbentuk di kedua sisi wajahnya. Senyuman selembut itu seketika membuat jantungku berdebar kencang, kupikir ada yang salah dengan organ dalamku.

Setelah merapikan sebagian rambutnya yang terurai di pelipisnya ke atas daun telinga, dia berkata,

"— Apakah begini terlihat bagus?"

Dia sedikit memiringkan kepalanya ke satu sisi, menunjukkan pose feminim dengan ekspresi yang lembut.

Aku meneguk liurku yang pahit dan menunduk dengan rasa gugup.

Gawat! Dia— sangat cantik sekali.

"... Maaf. Sebelumnya aku tidak bermaksud— maksudku, aku tidak benar-benar mengira kau orang yang jahat." Suaraku jadi semakin terdengar kaku.

"Ah, jangan khawatir. Apa kau sungguh baik-baik saja? Apa kau tidak merasakan sakit di bagian tertentu?"

Apa maksudmu?

Apakah dia sedang mencemaskan keadaanku?

Aku memang masih sedikit bingung dengan situasi yang kualami sekarang. Aku sendiri tidak ingat mengapa aku bisa berada di sini. Atau apa yang telah terjadi kepadaku sebelumnya.

Ingatan terakhir yang kumiliki ... ah!

Sedikit ingatanku mulai kembali.

Apa yang terjadi kepadaku sebelumnya adalah duel pertarungan sengit melawan seorang pria dengan mengenakan jubah hitam. Membawa sebilah pedang panjang, namun tidak digunakan sama sekali.

Aku tidak ingat pasti seperti apa wajahnya— selain, mata berwarna biru yang bersinar dengan tajam.

Pada saat terakhir, sepertinya aku telah kalah dan berakhir ke dalam mimpi buruk itu.

Aku mengerti situasinya sekarang.

Setelah menyadarinya, aku merasa sangat kesal, hingga aku menunjukkan tatapan yang buruk di hadapannya.

"Apakah kau yakin tidak apa-apa? Kalau benar kau masih merasa—"

"Maaf. Aku ingin bertanya? Kenapa aku bisa berada di sini?"

Setelah aku menyelanya, aku melihat dia dengan tatapan yang dingin.

Menanggapi pertanyaanku, Viona menunjukkan ekspresi yang lembut. Dia tidak terlihat merasa marah karena responku barusan.

"Dmitry lah yang telah membawamu kemari. Sebelumnya kau datang dengan keadaan terluka parah. Apa ada sesuatu yang terjadi di antara kalian?"

Dmitry? Aku memiringkan kepalaku merasa bingung.

Aku belum pernah mendengar namanya— tunggu. Apakah Dmitry adalah orang yang sebelumnya bertarung denganku? Itukah namanya?

"... Dia yang bernama Dmitry itu, di mana dia sekarang?"

Kuperhatikan sekelilingku, namun tidak ada orang lain selain kami di tengah-tengah daratan yang hijau.

Apa yang ada di sebelah kananku adalah bongkahan batu— menjulang tinggi membentuk tebing curam. Dinding batu mengitari sisi dan belakang kami, sehingga area ini terlihat seperti berada di tepian lembah.

Berada di seberangku adalah padang rumput. Rerumputan di sana tumbuh rendah di atas tanah— dengan tanaman liar dan bunga tanpa nama yang hidup berdampingan. Pohon-pohon tak berdaun masih berdiri tegak dalam kesepian, dan siluet gugusan bukit yang terselimuti embun kabut masih berbekas di cakrawala.

Jika melihat ke arah ufuk di Timur, sedikit sinar mentari mulai muncul dan menerangi langit yang semakin biru.

Melihat ke belakangnya Viona, tempat dari dia duduk sebelumnya, ada sebuah batang pohon yang patah— menjadi tempat menambatkan dua ekor kuda. Mereka terlihat gagah dan dilengkapi perlengkapan untuk bepergian. Salah satu kuda yang berwarna coklat memakan rerumputan liar di bawahnya, sementara kuda berwarna putih tengah beristirahat.

"Dia sedang tidak di sini." Viona berkata dengan nada lembut, dan dia menatapku dengan serius untuk meyakinkanku.

"Ah ... begitu."

"Apakah ada sesuatu yang Dmitry perbuat kepadamu?"

"Ah, tidak. Mungkin sebenarnya—"

Aku berhenti berkata saat mendengar suara derap langkah kaki yang semakin mendekat kemari. Saat melihat ke depan, ada dua figur yang tengah berjalan— mengenakan setelan tertutup seperti jubah berwarna hitam kelam. Keduanya menyembunyikan kepala mereka dengan tudung kain dan sebuah syal.

Salah satunya menggiring seekor kuda berwarna hitam. Sementara figur satunya memegang beberapa tangkai buah-buahan.

Mengikuti garis pandanganku, Viona turut berpaling dan melihat ke arah mereka. Seolah tahu siapa yang di sana, Viona melambaikan satu tangannya tinggi di udara.

"Hooiiii! Dmitry! Ilya! Cepatlah kemari."

Dia meneriaki mereka dengan suara yang sangat lembut, aku ragu apakah suaranya akan sampai dan terdengar oleh mereka.

Tetapi, anehnya itu berhasil.

Pria di sebelah kiri sana tampak melangkah lebih cepat, seperti sedang terburu-buru.

Naluri bertahan dalam diriku kembali muncul— kedua tanganku tiba-tiba menggenggam keras dengan sendirinya. Kedua rahangku tertutup sangat rapat— bergetar, seakan-akan ingin mengoyak sesuatu.

Setibanya kemari, dia langsung menghampiriku dan berdiri di hadapanku. Dia sedikit lebih tinggi dariku, hingga aku harus mendongakkan kepala agar bisa melihat wajahnya. Dari balik tudung jubahnya— terpancar cahaya biru dari iris biru matanya. Dan dia menatapku dengan dingin. Aura penuh tekanan menyelimuti sorot tatapannya.

Viona melangkah mundur, memberi jarak di antara kami. Namun, Viona terlihat begitu waspada melihat keadaan ini.

Dia— entah kenapa terasa tidak asing bagiku. Apakah sebelumnya kami pernah bertemu?

Aroma yang tidak asing ini, dan mata berwarna biru yang terlihat dingin dan mencekam.

Tidak salah lagi, dia adalah orang yang sama—

"Apakah kau baik-baik saja?"

Heh? Aku sedikit terkejut mendengarnya menanyakan itu.

Dia kembali melanjutkan, "Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah kau masih merasa tidak nyaman akan sesuatu?"

Setelah mendengar suaranya, perasaan dalam benakku seketika kembali menjadi tenang. Aku melemaskan kedua tanganku, dan ketegangan di wajahku sudah mulai luntur.

"A-aku ... baik-baik saja. Kau--orang yang sama saat membantuku di dekat kota itu, bukan?" Suaraku terdengar kaku, mungkin ini karena perasaan canggung.

"Ah, benar." Dia menjawab dengan nada rendah.

Jadi begitu. Sekarang aku mulai mengerti.

Tiba-tiba, dia mengangkat kedua tangannya— meraih tudung jubahnya dan melepaskannya. Kemudian, menarik syal yang menutupi bagian bawah wajahnya dengan lembut. Dan menaruh syal tadi mengitari lehernya.

Wajahnya terlihat lebih jelas sekarang.

Berkulit putih dengan usia seperti masih dua puluh tujuh tahun. Dia terlihat cukup muda, dan juga memiliki paras elegan dan menawan, dia pasti sangat populer dengan wajah setampan itu. Sudut matanya sangat tajam dan bersinar seperti batu obsidian yang cemerlang— seolah lirikannya bisa menyayat pandangan orang lain.

Rambutnya yang hitam dan lembut dibentuk dengan model terurai bebas, bagian tengahnya mengalir ke samping, dan yang terjuntai bebas di pelipisnya menyembunyikan suatu bekas luka.

Dia memiliki tatapan tajam yang alami, ekspresi dingin dan aura misterius. Anehnya, itu semua perpaduan yang cocok dengan dirinya. Dia sudah terlihat seperti sosok seorang ksatria, dengan wibawa dan martabatnya yang tinggi.

Dia mengenakan pakaian tertutup, jubah berwarna hitam yang tampak elegan. Menutupi seluruh bagian tubuh hingga kakinya, dan sedikit noda debu menutupi permukaan pakaian. Tidak ada aksesoris apapun, dia terlihat sangat natural dengan tampilan sederhana.

"Tentang apa yang terjadi sebelumnya, aku ingin meminta maaf atas kejadian buruk yang telah terjadi. Itu adalah kesalahanku. Sebagai gantinya, terima hadiah dariku ini ... sebaiknya kau memakan sesuatu setelah tertidur selama seharian." Dia menekuk sudut mulutnya, seraya tangannya yang terjulur menyerahkan setangkai buah-buahan.

Awalnya aku sedikit ragu, namun perutku lebih berkata jujur sekarang ini. Dengan rasa canggung, aku mengambilnya tanpa bertatap mata dengannya. Memalukan sekali.

Buahnya terlihat berwarna ungu gelap. Berbentuk bulat dalam satu urutan tangkai. Bisa kutebak jika ini adalah anggur.

"Terima ... kasih."

"Sama-sama." Dia menyunggingkan senyuman ringan.

Dia mungkin sepertinya adalah orang yang baik. Tunggu— tidak! Tidak! Jangan terayu semudah itu diriku! Ingatlah ketika kau ditendangnya sampai hampir mati!

Meski sulit kuakui, tapi dia benar-benar kuat.

"... Aku tidak terlalu ingat, tetapi sepertinya saat itu aku sedang di luar kendali. Ah, aku juga minta maaf atas apa yang kulakukan. Aku tidak mencoba mendengarkanmu lebih dulu dan malah langsung menyerangmu."

Aku menundukkan kepalaku dan menatap tanah di bawah kakiku.

Kalau dipikir-pikir kembali, semuanya berawal dari kesalahpahaman. Diriku yang hilang kendali menyerangnya tanpa mencoba membicarakan tujuannya.

Tujuan? Dia sebelumnya berniat membawaku. Apa tujuannya membawaku kemari?—

"Tidak masalah, aku yakin kau tidak mengenaliku karena pakaianku yang tertutup ini, bukan? Sudah sewajarnya kau menyerang orang asing seperti itu," jawabnya dengan pelan.

Hehhh ... aku hanya bisa menertawakannya dari dalam hati. Dia mengakuinya dengan wajah tanpa rasa bersalah.

"Y-yah ... mungkin."

Aku sudah ingin tertawa. Kurasa mereka bisa membaca gerakan bibirku yang berdecak ini.

Siapapun juga tidak bakal kenal, sialan nih orang! Aku ingin mengatakan itu, tetapi mending jangan deh.

Selagi kami berbicara, figur yang berjalan lebih santai sudah datang kemari. Selesai menambatkan kuda hitam yang bersamanya, dia berjalan menghampiriku— berdiri di hadapanku dan melihatku seolah ingin memastikan sesuatu.

Dia hanya sedikit lebih tinggi dariku. Dengan mengenakan pakaian yang sama seperti Dmitry.

Dia tiba-tiba menyibakkan tudung di kepalanya yang tersambung ke jubah— memperlihatkan rambut hitam terurai bebas, dengan model ditarik ke belakang. Dia kemudian menurunkan syal dari wajahnya, dan menggantungnya— mengitari lehernya.

Wajahnya masih terlihat muda, mungkin usia kami tidak berbanding jauh. Namun, dia terlihat lebih dewasa dariku dari segi ekspresi. Iris hitam matanya berkilau dalam gelap, menunjukkan kehampaan dan ketenangan.

"Yhoo, sepertinya kau sudah bangun. Namaku adalah, Ilya Movarch. Kau boleh memanggilku dengan nama, Ilya. Jangan sungkan padaku."

Dia terlihat ramah dan mudah berinteraksi. Dia pasti karakter yang mudah bergaul.

"A-ah ... baik." Suaraku masih saja terdengar kaku, sepertinya sulit membiasakan diri dengan situasiku sekarang.

"Izinkan aku memperkenalkan diri sekali lagi. Perkenankan, pasukan pemanah wanita kerajaan Britania, Viona Sweeshilion. Siap bertugas."

Viona menyilangkan kedua kakinya, dan menekuknya sedikit rendah. Dia terlihat seperti tuan putri yang memberi hormat saat perkenalan. Dia menawan sekali dengan pose seperti itu.

Saat dia melakukannya, sinar mentari yang mulai menyingsing daratan turut menyertai keindahannya. Rambut emasnya pun tampak berkilau seperti emas saat disentuh cahaya mentari.

Aku pun terdiam tanpa kata, bergeming melihat kecantikannya. Sulit rasanya percaya jika gadis seimut dirinya adalah seorang prajurit.

Aku ingin saja menutup erat mulutku, tetapi aku tidak bisa terus begitu. Aku harus mengatakan sesuatu.

"A-aku ... aku ... aku—"

"Tenanglah. Jangan terlalu gugup begitu. Santai dan keluarkan perlahan-lahan saja."

Mendengar Ilya mengatakannya, aku jadi merasa sedikit tenang.

Aku melanjutkan,

"Sebenarnya, aku sendiri tidak mengingat namaku."

Viona seketika ingin tertawa. Namun, dia berhasil menahan diri dengan menutup mulutnya dengan satu telapak tangan. Walau begitu suara 'pfft!' yang kudengar tadi sudah terlanjur keluar.

"Maafkan aku. Nah, Dmitry. Sepertinya dia mengalami hilang ingatan karena perbuatanmu. Apa yang sudah kau lakukan kepadanya?" tanya Viona dengan nada sindiran.

Ilya menoleh dengan tatapan tajam ke arah Dmitry. Mereka berdua terlihat mencurigainya.

Dmitry justru terlihat lebih terkejut, dari wajahnya saja dia sudah sangat tertekan. Matanya yang tajam jadi semakin mengerikan, melihatku dengan sangat dingin.

"Kau bercanda ... bukan?"

Eh? Aku tidak bercanda, lho!

Tapi, wajahmu menyeramkan, tahu!

Aku harus menjelaskannya!

"... Sebenarnya, aku sendiri tidak dapat mengingat identitas maupun alasanku datang ke negeri ini jauh sebelum diriku bertemu Dmitry."

Dmitry menghela napas lega setelah mendengar itu dariku. "Yah, syukurlah."

"Dmitry ... seharusnya ada hal yang ingin kau katakan kepada kami, bukan?" kata Viona.

"Hmm. Benar. Ini kesempatan yang bagus untuk menjelaskannya." Dmitry menekuk sudut mulutnya, dan raut wajahnya jadi terlihat arogan. Dia melanjutkan, "Dengarkan aku, tujuanku membawa orang ini— adalah untuk membawanya bersama kita. Menggantikan posisi kosong sebelumnya, dia akan bergabung ke dalam kelompok khusus kita."

Dia terlihat serius saat mengatakannya.

Apa maksudnya dengan

kelompok khusus? Apa artinya itu? Dari perkataan Viona, dia merupakan pasukan khusus kerajaan. Apa mungkin mereka ini adalah prajurit kerajaan?

Whoaa ... rasanya terdengar menarik.

"Jadi begitu. Keputusannya ada padanya, bukan? Bagaimana denganmu, apa kau berniat menerima ajakannya dan ikut bergabung bersama kami?" kata Ilya. Dia melihatku dengan tatapan lembut, dan senyuman ringan.

Aku sejenak terdiam dan memikirkannya lebih dulu.

Untuk sekarang ini aku memang tidak memiliki tujuan, bahkan kenangan ataupun kenalan untuk menjadi tempatku menyinggahkan diri. Diriku benar-benar kosong seperti cangkang yang telah pecah, kehilangan isi dan arti dari kehidupan serta kepribadiannya.

Aku tidak memikirkan lebih dalam tentang ke mana tujuanku selanjutnya, karena aku memang tidak tahu apapun dengan tempatku berpijak sekarang.

Kurasa akan lebih baik jika aku ikut bersama mereka dibandingkan menjelajahi wilayah asing ini seorang diri.

Sampai nantinya aku menemukan tujuanku, atau kembalinya ingatanku ... mungkin tidak buruk jika aku bergabung bersama mereka.

Kuharap saja begitu. Karena pada dasarnya, mereka juga orang asing bagiku. Aku tidak mengerti alasan kenapa Dmitry merekrutku untuk bergabung bersamanya. Tetapi, akan kucari tahu alasan itu nantinya setelah bergabung bersama mereka.

"Kurasa aku ... akan ikut."

Itulah jawabanku kepada mereka.

"Pilihan bagus. Karena matahari telah terbit, sudah saatnya kita kembali ke kapal dan pergi meninggalkan tempat ini," seru dmitry seraya berpaling dan melihat ke arah cakrawala yang bersinar terang.

"Tunggu sebentar! Apa kalian tidak melupakan sesuatu?" kata Viona. Dia terlihat tidak senang akan sesuatu.

Dmitry dengan polos memiringkan sedikit wajahnya ke satu sisi. Dia menyentuh rahang bawahnya, dan bergumam, "Hmm, apa itu?"

Sementara Ilya, dia hanya ikut menoleh tanpa berekspresi. Dia juga terlihat sedikit bingung.

Melihat tingkah laku mereka, Viona mengurut jidatnya dan wajahnya sedikit mengerut. Dia terlihat seperti ingin marah, dan tingkahnya lucu sekali.

"Bukankah kita punya sedikit waktu untuk sesuatu, seperti— tentang bagaimana cara kita memanggilnya? Bukankah sebelumnya dia bilang masih belum mengingat identitasnya? Kalau begitu, bukankah akan lebih bagus jika sekarang dia punya nama untuk dipanggil?" Viona membentangkan kedua tangannya, menunjuk ke arahku.

Nama, kah? Aku belum memikirkan akan menggunakan nama seperti apa ke depannya.

Kalau dipikir-pikir, manusia membutuhkan nama agar mereka bisa dengan mudah berkomunikasi dan saling membedai panggilan satu sama lain.

"Ooh, begitu ... itu boleh!" Dmitry kembali menoleh ke arahku, dan menambahkan, "Ehemm— Nak, apa kau ingin menentukan namamu sekarang?"

Heh? Sekarang? Di sini?

"Itu ... boleh saja. Tetapi, aku tidak bisa menentukannya sendiri."

"Aku punya sebuah saran." Ilya berjalan maju dan berdiri di tengah kami. Dia melanjutkan, "Pertama, yang memutuskan namanya adalah dia sendiri. Kedua, mungkin kita bisa memberi nama rekomendasi kepadanya— terutama nama pendek dan tidak berlebihan. Ketiga, semuanya tergantung kepadanya. Jika dia tidak ingin memilih nama dari kita, sebaiknya jangan memaksakan diri."

Selesai menjelaskan, Ilya menoleh dengan tajam ke arah Dmitry. Dan Dmitry hanya tersenyum pahit melihatnya.

"Baiklah! Itu tadi adalah saran yang bagus!" sahut Dmitry.

"Ilya ada benarnya." Viona sekali mengangguk sebagai tanda setuju.

Ilya kemudian berkata, "Kalau begitu, akan kumulai dari diriku dulu. Nama rekomendasi pertamaku adalah, Vincenz."

"Ooh, nama yang terdengar keren! Kalau begitu, selanjutnya adalah aku! Namanya adalah ... Elliyot!"

Nama yang disebutkan oleh Dmitry ternyata membuat mereka memasang ekspresi jijik.

"Mm, menurutku ... Gillbert? Atau Willbert. Atau mungkin Liebert? Bagaimana? Apa yang kau suka?" ucap Viona seraya menyentuh sudut mulutnya.

"Terdengar agak tidak biasa."

Menanggapi respon Ilya, Viona membalas, "Benar juga. Ternyata memikirkan nama itu cukup sulit."

Ilya sekali mengangguk dengan ekspresi serius.

"Tunggu!" teriak Dmitry, dari raut wajahnya ia seperti sehabis mendapatkan sebuah ilham atau inspirasi menakjubkan.

Kami semua pun terdiam dan menoleh ke arahnya, Dmitry kembali melanjutkan,

"Baru saja terlintas sebuah nama dari seorang sahabat masa kecilku di kampung halamanku. Dia terlihat mirip denganmu, terutama bagian warna rambut kalian yang hitam dengan sedikit warna putih. Ini mengingatkanku kembali akan sosoknya. Namanya adalah ... Hanz."

Dmitry menceritakan itu dengan nada lirih, dan ekspresinya berubah sedikit suram. Dmitry kemudian menambahkan, "Bagaimana dengan nama itu menurutmu?"

Dmitry menatapku dengan sorot mata yang dingin dan ekspresinya berubah kaku.

"Hanz ... kah? Kurasa itu bukanlah nama yang buruk. Aku menyukainya." Aku mengatakan itu dengan nada pelan.

"Benar, benar, nama itu terasa cocok denganmu, Hanz!" Viona menekuk sudut mulutnya, dan ekspresinya terlihat anggun saat gembira.

Tiba-tiba Ilya menjulurkan tangan kanannya yang terbuka ke arahku, seraya berkata,

"Baguslah, kalau kau sudah memutuskannya. Selamat bergabung ke dalam kelompok kami, Hanz."

Aku pun langsung meraih tangan Ilya dan memulai persalaman ringan dengan saling mengayunkan tangan.

"Senang bisa berkenalan dengan kalian semua."

Sepertinya kesepakatan mengenai namaku telah ditentukan. Mereka mulai memanggilku dengan namaku, dan ini kedengaran lebih nyaman ketimbang sebelumnya.

Mulai sekarang namaku adalah, Hanz, kah?

Tidak buruk juga.

Suasana hangat ini dipenuhi dengan senyuman. Cahaya mentari sudah mulai bersinar terang, dan hembusan angin bertiup— memadamkan api unggun yang sudah kehabisan bahan bakarnya.

"Sudah diputuskan, bukan?" Mendengarnya dari Dmitry, kami sontak menoleh ke arahnya.

Dmitry tiba-tiba menunjukkan ekspresi serius dan dingin, kemudian menambahkan, "Saatnya bagi kita untuk berkemas. Kita harus segera pergi meninggalkan kerajaan Leon sebelum mereka menyadarinya."

Mereka? Siapa maksudnya?

Tanpa memedulikan maksudnya, aku ikut menjawab bersama mereka, "Baik!"

Kami semua pun mulai berkemas dengan membersihkan area ini, sekaligus mempersiapkan diri dengan menaruh barang ke atas kuda dan mengenakan pelindung tubuh.

Saat kuda kendaraan mereka sudah siap, sekarang tersisa diriku lah yang terdiam menatap ke arah mereka.

Tunggu sebentar— hoi, bagaimana aku pergi dari sini tanpa kuda? Inginnya sih bilang begitu.

"Kau ikut denganku, Hanz." Dmitry memanggilku dari atas kuda hitamnya.

"Ah, baik."

Sepertinya Dmitry memiliki kuda yang gagah dan tidak memiliki barang bawaan. Aku pun segera menghampirinya dan naik ke atas kuda.

Syukurlah, kukira tadi aku akan disuruh berjalan kaki. Kalau memang begitu, bercandanya sudah kelewatan.

Kami pun segera pergi meninggalkan tempat ini tanpa meninggalkan jejak maupun bukti. Semua bekas aktivitas mereka yang tertinggal telah dibersihkan.

Kami bergerak pergi dari sini seolah ingin menghindari sesuatu.

Aku tidak mengerti kenapa, tetapi firasatku merasakan hal yang buruk.

... ... ...

[POV : III]

Kerajaan León, adalah sebuah negeri yang terletak di sebelah Utara dari wilayah Crown of Castile. Sebagian daratan kerajaan didominasi oleh bukit dan pegunungan, dan memiliki lautan untuk menaruh armada laut. Secara iklim, wilayah kerajaan sangat subur. Negeri ini tidak memiliki banyak aspek untuk menarik perhatian, bahkan setidaknya ada satu hal pasti mengapa kerajaan yang memiliki tanah subur ini tidak begitu dilirik, adalah karena kemunculan tirani sang raja baru dengan pemerintahan mengerikan.

Sudah dua abad berlalu sejak kerajaan Leon tergabung ke dalam perserikatan antar bangsa dengan Crown of Castile. Dan sejak saat itu, kerajaan Leon semakin mengalami krisis kemanusiaan. Hal buruk yang disembunyikan kerajaan tidak pernah terekspos, namun penduduk kerajaan bisa mencium aroma kebusukan dari negerinya sendiri.

Selama beberapa tahun terakhir, banyak kota di kerajaan mulai diisolasi oleh pemerintah kerajaan, dan entah hal buruk apa yang kerajaan lakukan kepada mereka yang terisolasi dalam kota tersebut. Namun, satu hal pasti adalah, semua kota yang pernah terisolasi, penduduknya menghilang dan tidak pernah kembali.

Berada di wilayah Timur kerajaan, adalah daratan yang hijau dengan pemandangan gugusan bukit. Tempat di mana bukit dengan pohon-pohon tinggi mengelilinginya, sebuah perkemahan berdiri dengan tembok setinggi delapan meter mengitari sisi-sisinya. Lokasinya sangat jauh dari pemukiman penduduk kerajaan, sehingga tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitarnya.

Tempat ini adalah markas penelitian dan pembuatan monster hidup, East Headquarters. Setidaknya, itulah fungsinya sebelum kedatangan seorang pemuda bernama Hanz, yang setelah menjadi Unhuman, dia memorak-porandakan seluruh tempat di sana.

Berdiri di bawah lembutnya sentuhan cahaya mentari yang baru saja terbit, dua orang berjalan memasuki tempat yang sekarang adalah bekas arena pembantaian.

Sosok yang berjalan di depan adalah seorang pria berambut hitam dengan usia empat puluh tahun. Mengenakan pakaian militer untuk musim dingin; sebuah mantel berwarna putih bercorak abu-abu. Kerah lipat berwarna hitam tampak di antara celah kancingnya yang tidak ditutup rapat, menunjukkan dia mengenakan pakaian lain di dalam mantelnya.

Sedari kedatangannya kemari, dia masih menutup hidungnya dengan sebelah tangannya karena tidak ingin mencium bau amis darah yang menyebar di udara— menyengat dengan tidak sedap.

Dia perlu memerhatikan setiap langkahnya karena ada banyak sekali organ dan anggota tubuh manusia yang tercerai-berai— bergelimpangan di atas tanah dengan sisa darahnya yang sudah mulai mengering dan dikerumuni lalat.

Dia terus berjalan dengan memeriksa sekeliling tempat itu. Dia menemukan jejak-jejak sisa pertarungan seseorang yang kemungkinan terjadi semalam. Tidak menemukan mayat lain, dia merasa yakin kalau musuh yang melakukan semua ini masih hidup di luar sana.

"Dasar tidak berguna," gerutunya dengan nada yang kental akan emosi.

Sorot mata setajam pedang terpancar dari sebelah matanya, menunjukkan kemarahan yang disembunyikan dari ekspresinya. Sementara mata sebelah kirinya, itu tertutupi sebuah penutup mata khusus yang menyembunyikan bekas luka dari kisah kelam masa lalunya.

Sementara si pria tengah berjalan melakukan tugasnya, rekan satunya tadi tiba-tiba berhenti di tengah jalan.

Figur yang berdiri di belakangnya adalah seorang gadis dengan usia delapan belas hingga dua puluh tahun. Mengenakan setelan yang tampak elegan; seragam berwarna hitam seperti kemeja. Di luarnya, jubah berwarna hitam menutupi seluruh tubuhnya hingga area sepatu.

Si gadis kemudian melihat ke atasnya— memandangi langit biru yang mulai diterangi cahaya mentari. Dia bergeming dengan ekspresi yang begitu anggun, seolah kecantikan parasnya sangat cocok dengan raut wajah sedingin es.

"Mereka telah bergerak ... untuk menyucikan kembali umat Manusia dari darah Iblis." Gadis itu bergumam, namun suaranya masih bisa terdengar dalam keheningan. Dia kemudian melirik ke arah si pria.

Merasa terkejut, rekannya tadi berhenti dan menoleh ke arah si gadis. Wajahnya terlihat tidak senang, seolah merasa risih karena perkataannya tadi.

"Apa maksudmu ... Mutsuri?"

Mutsuri merespon dengan berpaling menghadapnya, menunjukkan wajah tanpa ekspresi, dan berkata,

"Maksudku adalah mereka ... The Executor."

"... Tidak ada bukti jika mereka kembali. Ini bisa saja perbuatan kekaisaran Franchise sialan itu!" Pria itu membantah dengan nada geram dan mengerutkan keningnya dengan tajam.

"Aku merasakan firasat buruk semenjak kemarin. Sesuatu yang besar mungkin telah menanti kita dalam waktu dekat ... Vyic."

Pria itu akrab dengan panggilan Vyic, namun nama aslinya adalah Vyrco.

Vyrco sedikit terpancing emosi, dan segera dia mengusap wajahnya. Dia berkata,

"Jangan melantur hal yang aneh, Tsuu. Mereka tidak mungkin—"

Seketika suara dentuman menghentikan perkataan Vyrco. Di belakangnya, kilatan petir kuning menyambar tanah, dan datangnya semburan petir itu bukanlah kebetulan.

Dia berbalik melihat ke belakang, dan melihat kumpulan debu yang terbentuk akibat benturan barusan. Arus petir masih menyambar-nyambar di sekitar kepulan debu, memberi efek garis listrik di udara.

Dari balik kepulan asap debu yang diselimuti arus listrik, muncul seorang pria berkulit putih dengan usia dua puluh satu tahun. Berambut hitam dengan model terurai bebas, berkibar ke samping karena hembusan angin. Dia terlihat elegan dengan mengenakan kemeja hitam dan jas hitam seperti mantel— lengkap dasi panjang yang rapi di kerah lehernya. Walau terlihat berlebihan, anehnya setelan itu sangat cocok dengannya. Terlebih karena ada efek penyatuan listrik yang menjalar di sekitar tubuhnya.

"Azuro ...?" Mutsuri berkata sangat pelan hingga tidak terdengar oleh siapapun.

"Aku kembali." Seraya mengatakan itu, Azuro berjalan menghampiri mereka berdua.

"... Itu tadi sedikit mengejutkanku. Jadi, bagaimana? Apa markas satunya masih bertahan?" Vyrco mengerutkan sudut matanya saat bertanya.

"Tidak. Mustahil tempat itu bertahan. Semuanya terbakar habis, hanya tersisa abu-abu dari tempat itu." Azuro menjawab dengan nada datar. Dia tidak menunjukkan ekspresi apapun, dan sorot matanya terlihat hampa.

Vyrco tiba-tiba mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya berubah, mengingat kelalaian dirinya meninggalkan kedua tempat yang menjadi tanggung jawabnya ini di luar pengawasannya.

"Apa yang sebenarnya telah terjadi!?" Vyrco yang terlihat kesal menunjukkan perubahan sorot matanya, berubah merah menyala.

"Apa ini harus kita laporkan kepadanya, Vyc?" tanya Mutsuri, dan suaranya terdengar halus.

Azuro memejamkan erat matanya. Ketika kembali terbuka, iris kuning matanya berubah tajam dan menyala. Dia berkata,

"Kalau begitu kalian pergi saja duluan, aku akan memeriksa kembali perbatasan terlebih dahulu."

Azuro segera berpaling, dan berjalan menjauh dari mereka.

Vyrco yang mendengarnya lantas mencegat dengan mengatakan, "Apa maksudmu? Akan berbahaya jika kau bergerak sendirian, Azuro. Tidakkah kau lihat apa yang terjadi kepada mereka yang di sini?"

"Kalian tidak perlu khawatir." Azuro berhenti melangkah saat menjawabnya. Dia menambahkan, "Selain itu, tujuanku hanya ingin memeriksa saja. Jadi jangan terlalu khawatir padaku, aku akan langsung kembali jika lawanku terlalu kuat."

Merasakan rasa tidak percaya di balik kata-kata barusan, Vyrco menyadari tujuan lain Azuro.

"Tunggu! Jangan bercanda—"

Azuro tidak berhenti. Sekujur tubuhnya yang terselimuti kilatan listrik berwarna kuning terus bertambah— seolah terbebas dari belenggu gravitasi, Azuro melepaskan pijakan dan melompat ke udara— terbang melesat menuju cakrawala dengan kecepatan yang mengerikan. Dengan kekuatan sebesar tadi, bekas Azuro melepaskan pijakan meninggalkan bekas retakan di atas tanah. Bahkan, menimbulkan efek gelombang kejut pendek, membuat angin di sekitarnya berhembus kencang.

"Bagaimana, Vyc? Kau ingin mengejarnya?" tanya Mutsuri masih dengan ekpresi sama.

"Tcih! Aku mungkin harus mengejarnya meski akan terlambat. Kau pergilah kembali ke kerajaan terlebih dahulu, Tsuu. Dan laporkan semua ini kepada, Mitidral!" Vyrco menunjukkan raut wajah kesal.

"Dimengerti," jawab Mutsuri dengan nada tegas.

"Berhati-hatilah, Tsuu," ucap Vyrco tanpa menoleh.

"Kau juga ...."

Setelah berpamitan, mereka berdua pergi menjauh dari markas Timur dan menuju suatu tempat di arah yang berlawanan.