Chereads / SC45 - When the Terra Falling Down / Chapter 2 - Awal Bencana

Chapter 2 - Awal Bencana

Dan aku…

"Yang benar saja?"

Seseorang memasuki ruangan tersebut, Ryan. Dan lantas menertawai apa yang diperbuat seorang lainnya sejak tadi di hadapan layar besar di atas mejanya itu. Ryan geleng-geleng kepala, lalu memerhatikan layar tujuh inci di tangan kirinya. Dan tangan kanan menenteng gelas bening berisi cairan hijau kental.

"Lu ngerekam lagi?" sebelah alis di balik kacamata naik lebih tinggi dari yang satunya.

"Pause!" Aldi menyengir kuda.

Ryan mendengus, dan berkata, "Gak bosan?"

Aldi menggeleng. "Dari pada gue mati karena suntuk di dalam kapal kargo raksasa ini," kekehnya. "Lebih baik melakukan sesuatu—yaa, berharap saja akan berguna nanti."

"Siapa yang elu harapkan bakal menemukan tuh rekaman?" gelengan kepala Ryan semakin kencang. "Melihat dan menerima pesan lu itu?"

Ryan bertolak pinggang dengan tangan kiri yang masih memegang Controlling Pad–selanjutnya disebut; C-Pad–sorot mata mempertanyakan hobi aneh rekannya tersebut. Bukannya ia tidak tahu, hanya sedikit keisengan sebagaimana dengan Aldi sendiri dengan rekamannya.

Sudah berapa lama, setahun? Tidak-tidak-tidak, tiga tahun.

"Gak ada lagi yang tersisa di Bumi—" lanjut pria berkacamata itu.

Ryan lalu mereguk cairan dalam gelas. Sesaat keningnya mengernyit. Setelah cairan itu masuk ke lambungnya, barulah kerutan di kening menghilang. Kembali memandang Aldi, meneruskan ucapannya.

"—Gak orang, gak yang lainnya. Gak ada. Kenapa lu berpikir bakal ada yang menemukan rekaman yang lu bikin? Boro-boro mau menonton."

Aldi terkekeh. Ya, ia tahu itu. Bahkan, semua manusia yang selamat dari bencana itu pasti mengetahuinya. Asumsi terbesarnya, semua kehidupan di muka Bumi punah. Tidak-tidak-tidak, lebih tepatnya; semua bentuk kehidupan itu sendiri yang selama ini menopang planet biru bernama Bumi itu.

Ya, mungkin juga para hewan dan tumbuh-tubuhan. Andai saja mereka bisa bicara, kau akan tahu. Tapi tidak sepasang Uncia uncia itu, gumam Aldi di dalam hati.

"Yaa, gue… masih berharap." Meski Aldi tidak menoleh ke belakang, namun hampir pasti ia bisa melihat Ryan menyindirnya, lagi. "Kita kan gak tahu—apa yang bisa ditemui di angkasa yang tak berbatas ini."

"Maksud lu?" lagi, sebalah alis pria tersebut naik tinggi.

Aldi menoleh, setengah tidak yakin, ia menjawab, "Wormhole."

"Wormhole?" Sepasang mata Ryan di balik kacamata bertipe Numont Mounting, membesar. Ryan menggeleng-gelengkan kepala, menunduk. Dengan jari telunjuk tangan kanan–yang masih memegang gelas–ia menggeser posisi frame kacamatanya yang berbahan beryllium.

Aldi terkekeh pelan. Sangat mengerti mimik tubuh rekannya tersebut. Bukan sindiran, lebih seperti; sesuatu yang sangat sulit, nyaris tidak mungkin untuk sekadar berharap. Yaa, sejauh ini tidak ada satu orang pun yang pernah terdengar melihat—apalagi melalui lorong waktu tersebut. Tidak juga, dari para pengelola SARO, gumam Aldi di hati.

Saat Aldi kembali menatap wajah Ryan, ia bisa merasakan jika rekannya tersebut akan menceramahinya lagi. Sebelum itu terjadi, Aldi berkata, "Intuisi men," jari telunjuk tangan kanannya menunjuk pelipisnya sendiri. "Intuisi," dan tangan itu beralih ke dadanya.

Ryan ingin melabrak Aldi dengan segudang argumen yang lebih masuk akal dalam benaknya, namun sebelum itu terjadi, C-Pad di tangan kirinya berbunyi pelan.

Bip!

"Mister Ryan."

Ryan kembali memandangi C-Pad. Pada layar kristal tipis dan bening itu, muncul avatar wajah seorang gadis muda.

"Captain Dharma membutuhkan Anda di ruang kokpit."

"Thanks Aios, aku akan segera ke sana." Ryan menoleh pada Aldi, dan berkata, "Di, gue cabut dulu. Terusin aja tuh—rekam-rekaman lu." Ryan kembali mereguk cairan hijau kental dalam gelas, dan memutar tubuh.

Aldi tertawa, ia tidak tahu pasti arah ucapan Ryan tersebut. Mendoakan, atau justru menertawainya.

"Jangan kebanyakan minum tuh cairan. Kalau sel-sel dalam kepala lu rusak, kita-kita juga yang susah."

Ryan tertawa lepas. "Gue butuh nih cairan justru biar kita-kita gak mati konyol. Menstimulasi tubuh gue, biar fit," sahutnya tanpa menoleh. "Sudahlah," kekehnya pula. "Salam—buat siapa pun yang menemukan rekaman elu itu nanti." Dan meneruskan langkahnya menuju pintu otomatis di ujung lorong.

Aldi masih tertawa, nyaris tanpa suara. Ya, pria dengan postur atletis dan tinggi 172 sentimeter tadi itu adalah orang penting dalam pesawat antariksa yang mereka tumpangi saat ini. Ryan adalah Computer Programmer utama, dan satu-satunya yang mereka miliki. Dia juga yang meningkatkan kemampuan warp pesawat yang semula berada di level-1, menjadi level-3. Meski tidak secepat pesawat-pesawat milik Federasi, nyatanya pesawat mereka berjenis kargo, tapi itu sudah jauh lebih baik.

Aldi sangat paham, saking pentingnya pria dengan gaya rambut pendek klimis itu, hingga ia terpaksa sering mengonsumsi cairan hijau kental yang mengandung alkaloid agar tidak tertidur, alih-alih membuat kerusakan pada sistem pesawat antariksa itu sendiri.

Ya, tiga puluh empat orang yang ada dalam pesawat antariksa besar ini, sama kekurangan waktu untuk tidur, gumam Aldi dalam hati. Bukan soal mabok perjalanan, bukan pula hal lainnya. Hanya satu yang mereka takuti, kejaran anggota Federasi dan ancaman kekerasan di balik itu semua. Kalau hanya pada kematian, toh semua makhluk yang hidup pasti menemui kematian.

Aldi terkekeh, setidaknya pemikiran itu datang demi menghibur dirinya sendiri.

"Aios?" Aldi menengadah, dua tangan merentang dan bertekuk menjadi bantalan kepalanya. Duduk berselonjor di atas kursi dengan empat roda kecil penopangnya.

"Sir?"

Suara Aios kembali terdengar, menyahuti panggilan Aldi. Bukan di layar di hadapan pria itu, sebagaimana saat Aios muncul di layar C-Pad di tangan Ryan tadi. Hanya berupa suara seorang gadis manja saja, lewat interkom yang ditanam di dinding atas ruangan.

"Kau mau bercinta denganku?"

"Permintaan Anda sangat irasional, Mister Aldi."

Aldi terkekeh, bukannya ia tidak tahu, ia hanya ingin mengerjai si Kecerdasan Buatan itu, itu saja.

"Kenapa? Kau tidak suka padaku, Aios?"

"Sangat manusiawi."

Aldi menggeleng-gelengkan kepala. Aios memiliki banyak program kepintaran mendekati manusia, termasuk sindiran. Aldi menggeser kursinya, dan kembali menghadap layar tiga puluh dua inci di atas meja.

"Tapi sayang, saya hanya Artificial Intelligence yang tidak memiliki bentuk fisik."

Hening sejenak.

"Ada lagi yang Anda butuhkan, Sir?"

"Tidak. Terima kasih sudah mau bercanda denganku," kata Aldi, plus seulas senyum tipis. Kembali menghadap layar, "Play!"

"You're very welcome, Sir."

Beberapa detik berlalu, suara manja Aios tak lagi terdengar. Aldi kembali memandangi layar yang menampilkan sejumlah keterangan di sisi kanan layar.

"Recording!" perintah Aldi di hadapan layar.

Bip!

"Hmm..., sampai di mana gue tadi?" Aldi menggaruk-garuk kepala.

Gara-gara Ryan yang menginterupsi keasyikannya, ia jadi lupa, sampai di mana tadi ia merekam. Aldi menyentuh layar tersebut, tepat di sudut kanan atas layar, bar yang menampilkan rekaman terakhir.

"…Kau mungkin berharap dunia ini kiamat saja. Sama, mereka-mereka yang terbuang juga berharap yang sama. Sepertiku…"

"Dan aku," sambung Aldi.