Chereads / SC45 - When the Terra Falling Down / Chapter 4 - Neraka yang Nyata

Chapter 4 - Neraka yang Nyata

Sepuluh langkah kemudian, kedua pria itu sama dikejutkan oleh suara berdesis yang disertai embusan uap panas dari bawah tanah, tiga langkah di hadapan keduanya. Dua pria sama berhenti, saling pandang dalam kebingungan. Embusan uap kian kencang dan terlihat nyata. Panas, sangat panas dengan suara menggidikkan. Permukaan tanah di hadapan keduanya amblas. Retakan bergerak cepat ke arah keduanya, semakin lebar.

Tidak berpikir panjang, keduanya segera membalikkan tubuh, berlari menjauh.

Namun retakan tanah jauh lebih cepat. Keduanya terperosok ke dalam celah retakan dibarengi jerit ketakutan dari mulut kedua pria tersebut.

Detik berikutnya, embusan uap panas yang lebih ganas melemparkan tubuh kedua pria ke udara berputar-putar, disusul munculnya semburan api di sepanjang retakan.

Dua pria sama menjerit histeris, jatuh terhempas di hadapan gadis kecil yang masih terbaring di atas tanah. Menggeliat sesaat, lalu diam. Dan mati.

Gadis kecil terbelalak, bergidik ngeri. Kedua pria itu tewas dengan nyaris sekujur tubuh hangus. Bahkan bagian wajah seolah terkelupas, meleleh terkena semburan uap panas. Gadis kecil berpaling, ia melihat jilatan api semakin membesar, dan retakan seolah mengejar dirinya.

Dengan sisa energi yang ada, gadis kecil bangkit. Berlari secepat yang ia mampu. Rekah tanah kian melebar dan semakin panjang, pijar api berkobar seolah tersulut genangan bensin dibarengi desisan uap yang muncrat. Tinggi, hingga belasan meter.

*

Berselang lima menit kemudian di kawasan berbeda, wilayah yang berada di koordinat 3.58 derajat lintang utara, 98.67 derajat bujur timur, mengalami hal serupa dengan gugusan Bukit Barisan.

Kawasan yang dulu sangat indah, bernama Danau Toba, telah berubah menjadi kubangan superbesar yang nyaris mengering, layu. Jutaan kubik air yang tersisa tak lebih dari genangan polutan. Racun-racun yang terhimpun dari tumpukan sampah, nyaris menutupi seluruh permukaan. Lumpur hitam kebiru-biruan.

Ratusan orang–yang masih mengais kehidupan di antara timbunan racun itu–sama terperangah. Kubangan lumpur menggelegak di banyak titik. Gelembung-gelembung panas. Uap-uap yang memutih, menyembur dahsyat, sebagian dengan air panas hingga puluhan meter. Orang-orang yang menyadari keanehan itu–meskipun tidak ada lagi yang lebih aneh dari keseharian hidup mereka itu sendiri–sama menjauh. Berlari ke arah yang dulunya adalah tepian danau.

Satu, dua… belasan orang terlempar. Tumpukan sampah yang mereka injak melesak, detik berikutnya uap superpanas menyembur dahsyat. Melelehkan tubuh mereka. Jeritan dari satu mulut saling bersahutan dengan jeritan dari mulut-mulut lainnya. Sambung menyambung seakan sebuah orkestra simfoni dengan penyanyi operanya yang sedang mempertontonkan kelihaian gelegar suara.

Sang raksasa tua, Supervolcano Toba, terbangun dari tidur panjangnya selama puluhan ribu tahun. Panasnya uap yang menyembur, ditambah gunungan sampah, menghadirkan neraka yang nyata di hadapan semua orang. Mereka menjauhi tepian danau yang sekarang menjelma menjadi lautan api. Beberapa yang terlambat, terpanggang hidup-hidup.

Mereka yang menyaksikan pemandangan mengerikan itu, sama mendengar suara bergemuruh kencang disertai getaran-getaran yang sanggup membuat tubuh terhuyung. Di depan sana–tepatnya pulau di tengah danau yang dulu dikenal dengan nama Samosir–daratan yang telah tandus seakan bongkahan kaca vulkanik raksasa yang sedang retak, menghadirkan suara-suara menggidikkan tak berkeputusan dalam desibel yang amat tinggi.

Sejumlah orang yang tinggal di tanah kering itu menjerit-jerit, mengharapkan pertolongan. Tidak ada yang sanggup menolong mereka. Tidak juga diri mereka sendiri. Daratan tempat berpijak merekah, retak di banyak tempat, bersamaan semburan uap dan air panas mengandung belerang. Ditambah, pulau tempat mereka berpijak dikepung lautan api.

Satu per satu mereka mati. Terlempar oleh uap dan air panas. Terperosok dan terpanggang hidup-hidup dalam celah retakan yang disambut tungku magma di bawahnya. Lainnya jatuh bergelimpangan, terpapar materi-materi beracun yang dibawa embusan uap. Ada yang nekat melintasi lumpur menggelegak, namun tak mampu bergerak lebih jauh, sebab perahu-perahu dan rakit yang digunakan dalam sekejap saja terbakar habis, berikut dengan diri mereka sendiri.

Kobaran api semakin menggila di atas permukaan danau. Sapuan hawa panas dari angin yang berembus, menambah parah keadaan. Sesekali pusaran angin terbentuk di tengah-tengah danau. Tonggak angin berselimut lidah api laksana jari-jemari Malaikat Pencabut Nyawa yang menari-nari menebar kematian.

Mereka yang selamat, berlari kencang dalam kecemasan. Menjauh, dan semakin menjauhi kawasan Danau Toba yang dahulu kala punya kenangan teramat manis di dalam tempurung kepala.

*

Kembali ke kawasan Bukit Barisan, di bagian barat kaki Gunung Kerinci.

Aldi menyusuri dataran gersang seorang diri, dengan menunggang chameleon–sebuah motor besar yang diluncurkan pertama kali awal abad 23, mampu membawa beban hingga 500 kilogram, kendaraan unik yang dilengkapi teknologi GEU–Geomagnetic Energy Utilization–hingga mampu mengambang satu meter di atas permukaan tanah, bahkan perairan. Dan bermesin PV–Photovoltaic, yang mengonsumsi energi matahari. Chameleon mampu melesat dengan kecepatan maksimal 300 kilometer per jam.

Ketenangan Aldi di sore yang terik itu terganggu dengan kemunculan mendadak seorang gadis kecil dari sisi kanan. Si gadis kecil berlari seolah tengah dikejar-kejar sesuatu yang mengerikan, hingga tak lagi memerhatikan kondisi sekitarnya.

"Heiii…!"

Aldi melakukan pengereman mendadak hingga chameleon nyaris terbalik. Kuatnya tekanan medan magnet dari chameleon menerbangkan pasir dan debu-debu di sekitar. Dan terhenti menyamping selangkah saja di hadapan si gadis kecil.

Gadis kecil terperangah, dua tangan sama terangkat, melindungi matanya dari debu dan pasir yang beterbangan. Nyaris saja ia tertabrak oleh Aldi. Debu-debu dan pasir menutupi nyaris sekujur badan gadis cilik itu sendiri. Begitu kumal dan kasihan.

Aldi menghela napas, ibu jari tangan kiri menekan tombol kecil di setang kiri, menurunkan standar di sisi bawah chameleon. Dua standar menopang beban dari chameleon, satu di bagian depan, satu lagi bercagak di bagian belakang. Aldi melepas auerbrille di wajah hingga sepasang matanya lebih bebas memandang pada gadis kecil yang berdiri mematung, dan menempatkan Kacamata Penahan Debu tersebut di keningnya.

Pria tiga puluh tahun menelisik setiap jengkal tubuh gadis kecil yang kumal, seolah sang pemilik tubuh sendiri tiada peduli dengan yang namanya kebersihan. Kembali ia menghela napas, berat terlihat sangat berat. Aldi tahu, tanpa noda darah mengering dari kemaluan dan memanjang hingga ke pahanya itu, dengan kondisinya yang telanjang dan menyedihkan seperti itu saja, Aldi sangat tahu. Seseorang pasti telah melecehkan dan berkasar tangan pada tubuh gadis kecil tersebut.

Aldi menggeleng-gelengkan kepala, sepasang mata meredup seakan mengutuk kehidupan yang tak lagi bisa dibilang hidup. Hanya menghadirkan penderitaan yang tiada berkeputusan sebagai tontonan atas kemunafikan anak manusia itu sendiri. Si pria geleng-geleng kepala dengan lemah, lantas kembali mengenakan auerbrille-nya, menaikkan kedua standar, dan memutar chameleon, melanjutkan tujuannya.

"Lain kali hati-hati," Aldi tersenyum tipis mengingatkan. "Atau kau akan mati konyol, gadis kecil."

"Hidup mati apa bedanya?" sahut gadis kecil dengan bibir bergetar dan pandangan laksana sepasang bilah pedang tajam yang hendak memenggal kepala seseorang.