Chereads / SC45 - When the Terra Falling Down / Chapter 5 - Perlawanan Bumi

Chapter 5 - Perlawanan Bumi

Tahu apa kau soal hidup dan mati, bocah?

Kembali Aldi menggeleng sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Baru beberapa meter saja chameleon meluncur, dari kaca spion itu Aldi melihat si gadis kecil mengejarnya, namun ia tidak berusaha untuk menghentikan laju kendaraan.

Gadis kecil terus memacu lari. Meski sepasang kaki terasa begitu lunglai, meski napas kembali terengah-engah, meski debu tebal menutupi pandangannya, ia terus berlari. Mengejar Aldi yang meninggalkannya begitu saja.

Sekian meter, si gadis kecil menghentikan pengejarannya. Terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada. Nyaris tersungkur. Debu-debu yang terhirup membuatnya terbatuk-batuk dengan keras. Gadis kecil muntah, muntah kekuningan bercampur debu.

Di depan, Aldi kembali menghentikan laju motornya. Memutar, dan mendekat pada gadis kecil. Kembali ia menghela napas panjang. Dua standar kembali diturunkan. Aldi turun dari atas tunggangannya, membuka bagasi kiri chameleon, memilih sesuatu, dan kembali menutup bagasi itu.

"Pakai nih," Aldi melemparkan selimut tebal pada gadis kecil.

Gadis kecil menerima itu dan bergegas menutupi tubuhnya yang lama bertelanjang. Ia menjulurkan tangan saat Aldi menawarinya sebotol air minum. Terburu-buru, gadis kecil membuka tutup botol dan mereguk air segar dalam botol. Ia tersedak.

"Hei-hei, pelan-pelan saja."

Aldi bisa memperkirakan itu, tubuh telanjang yang habis dikerjai seseorang, berlari kencang di tengah udara yang terik, ia pasti sangat kehausan.

"Kenapa kau mengikutiku?"

Gadis kecil menyudahi minumnya, sudah cukup banyak air yang ia minum, bahkan sebagian membasahi leher dan dadanya.

"Kau menyia-nyiakannya," Aldi bertolak pinggang.

Air segar yang begitu sangat berharga terbuang sia-sia, meski hanya untuk setetes terlalu sayang bila tertumpah.

Ya, dengan kondisi Bumi yang sekarang, air adalah sesuatu yang sangat berharga, jauh melampaui emas bahkan berlian sekalipun. Kau akan menjadi seorang miliuner jika punya satu drum air segar, Aldi menunduk menyembunyikan senyum.

Haahh, terserah kau saja lah, bocah!

"A—ku… ingin ikut," tatapan gadis kecil tanpa ekspresi sama sekali.

Aldi membungkuk, menelisik lebih jauh sepasang mata di hadapannya. Kosong, pandangan itu terlihat seakan tiada gairah kehidupan sama sekali. Tapi, setidaknya Aldi bisa memperkirakan kehidupan seperti apa yang sudah dilalui si gadis cilik.

"Kenapa?" Aldi bertolak pinggang, menghela napas dalam-dalam.

Gadis kecil menunjuk ke arah kanan, lebih tepatnya pada semburan uap dan jilatan lidah-lidah api yang sekarang hanya terpaut tiga puluh meter saja dari mereka.

Sepasang mata Aldi membesar di balik kacamata pelindung. Terperangah. Ia edarkan pandangannya. Sama, dataran tinggi lainnya merekah dengan semburan uap dan lidah api.

"Naik, naik!"

Aldi melompat ke atas motornya. Gadis kecil pun bergegas naik. Membonceng di bagian belakang—bahkan bangku itu bisa untuk dua orang dewasa sekaligus duduk bersisian.

Chameleon melesat cepat meninggalkan kawasan tersebut, menuju ke arah barat. Retakan tanah menjalar ke segala penjuru, seakan mengejar chameleon yang telah berada jauh di depan sana.

*

Perlawanan alam terus terjadi–sebelum benar-benar menghancurkan peradaban yang carut-marut di muka Bumi–di kawasan Lampung Selatan, koordinat 6.6 derajat lintang selatan, 125.25 derajat bujur timur.

Anak Gunung Krakatau semenjak subuh batuk-batuk secara intensif. Pijar lava seolah cahaya jingga sang mentari di balik mega mendung. Kabut hitam pekat membumbung hingga ratusan meter dari dalam kawah, sesekali ditingkahi bersitan kilat membiru dan suara guntur di antara kepekatan kabut.

Tidak ada kehidupan di pemukiman terdekat. Pulau Sertung, Rakata Kecil. Sejak belasan tahun belakangan pulau-pulau di sekitar Anak Krakatau telah ditinggalkan. Kekeringan yang melanda, plus aktivitas dari gunung berapi tersebut yang semakin intens, membuat penduduk yang bermukim di kawasan itu sebelumnya, meninggalkan tanah kelahiran mereka.

Di dua daratan utama–Andalas bagian selatan dan sebagian Jawa Barat–orang-orang bisa melihat dengan jelas. Kabut tebal yang dimuntahkan Anak Krakatau jelas lebih banyak–lebih gelap–dari yang sudah-sudah. Meski tidak tahu pasti, namun naluri mereka memberi tahu; Anak Krakatau akan bertingkah seperti Krakatau Purba. Sang anak akan menjadi seperti sang induk.

*

Sepanjang perjalanan, Aldi terus memikirkan soal bukit-bukit yang merekah. Meski ia tidak pintar dalam hal itu, namun ia yakin bahwa Bumi pasti akan memberikan perlawanan pada umat manusia yang telah–dan terus–menjarah isi perutnya. Menghancurkan ekosistem yang ada. Ia sangat yakin akan hal itu.

Aldi terus memacu chameleon dalam kecepatan tinggi, menyusuri permukaan laut yang gelap. Windshield di kepala chameleon ia aktifkan. Kaca pelindung bergerak perlahan, melengkung melewati ketinggian kepala Aldi. Udara malam yang panas selalu punya cara untuk menyiksa tubuh, dan Aldi tidak ingin itu terjadi. Termasuk, melindungi gadis kecil di belakang yang tengah asyik menyantap sesuatu.

Aldi menoleh, dan berujar sedikit lantang, "Hei, jangan kau habiskan makananku!"

Aldi khawatir pada selusin jeli aneka rasa yang ia taruh dalam kotak seukuran dua jengkal tangan di bangku belakang itu sebelumnya.

"Aku gak makan, kok."

Gadis kecil menyembunyikan sebatang jeli dalam selimut yang ia kenakan. Berpura-pura–juga sebenarnya–melindungi tubuh ringkihnya dari terpaan angin malam. Saat Aldi kembali fokus pada jalur yang akan dilalui di depan, gadis kecil kembali menikmati jeli oranye yang tersisa sejengkal tangan.

Sialan, kau akan membuatku kelaparan, bocah, maki Aldi di dalam hati. Ia geleng-geleng kepala. Sudah berapa lama dia tidak makan? Paling tidak, seperti itu lah pertanyaan yang ada di dalam kepala pria tersebut untuk saat ini.

Didahului helaan napas yang dalam, Aldi kembali memacu laju chameleon. Terbang rendah meliuk-liuk menghindari rongsokan besar sesuatu di permukaan laut. Ia sengaja menyalakan lampu sorot dengan daya rendah. Yaa, tidak ingin menarik perhatian seseorang, lebih-lebih anjing-anjingnya Federasi. Ia punya sedikit urusan dengan Federasi dan Pemerintah Andalas, sebab itu chameleon ia pacu lebih kencang lagi.

Tadinya–sebelum bertemu gadis kecil itu–Aldi hendak meninggalkan Tanah Andalas, menyeberangi Selat Malaka. Tujuannya, tidak lain adalah daratan utama Asia. Namun, setelah kejadian beberapa jam yang lalu, ia tidak ingin ambil risiko.

Jika di sini saja sudah begini, bukan tidak mungkin daratan utama Asia lebih parah lagi. Yaah, pastinya begitu, pikir pria tersebut.

Aldi memutuskan untuk menyeberang ke Jawa saja. Ia pernah mendengar jika ada seorang penguasa yang mendiami kastil di daerah Karanghawu–dulu merupakan bagian dari Jawa Barat– juga memiliki Pesawat Antariksa yang sanggup mengangkut lima ribu orang sekaligus. Dan itu lah yang diharapkan Aldi, atau setidaknya menjadi incarannya jika memang ingin terus bertahan hidup.

Sebenarnya, ada tujuh–sepuluh jika dihitung dengan milik para gengster–pesawat antariksa di seluruh pelosok Andalas, yang bahkan beberapa di antaranya dengan ukuran menakjubkan. Lebih besar, lebih canggih, dan pastinya lebih nyaman dengan segala teknologi dan persenjataan yang melengkapi pesawat luar angkasa itu sendiri. Belum lagi jaminan pada dukungan untuk kehidupan para pemiliknya nanti, yang Aldi tahu pasti penguasa-penguasa bajingan itu tentunya sudah menimbun stok makanan dan minuman mereka di dalam kapal superbesar tersebut.

Yaah, pasti begitu.