Namun itu tadi, Aldi punya urusan yang belum kelar dengan Pemerintah Andalas, ya, tentu saja mereka meminta bantuan Federasi. Atau mungkin mengupah para gengster. Persoalannya sih, kecil saja, karena koneksi urusan itu sendiri langsung ke pemerintah, maka yang kecil menjadi besar.
Sebut saja, Aldi telah merampas chameleon level-7 yang sekarang ia tunggangi dari tangan seorang pemuda superberengsek anak seorang penguasa. Ya, setelah ia mengebiri kemaluan pemuda tersebut, dan meninggalkan pemuda itu dalam keadaan telanjang di tengah para pelacur, meraung-raung kehilangan pusakanya.
Urusan kecil antar lelaki, sedikit ekstrem saja, tidak lebih. Kecuali, potongan kemaluan itu dilemparkan Aldi ke perapian. Dan semenjak dua tahun lalu itu, Aldi terdaftar sebagai Target Operasinya Pemerintah Andalas–tepatnya, seorang penguasa kastil di kawasan Sungai Musi. Dan yaa, itu berarti Aldi juga menjadi target buruan pihak Federasi yang menaungi penguasa kastil Sungai Musi tersebut, juga segelintir gengster.
Sebab itu Aldi memilih untuk melihat-lihat ke Tanah Jawa saja. Pemerintah Andalas dan Pemerintah Jawa sepanjang seratus tahun belakangan, tidak pernah akur. Itu memberi sedikit keuntungan baginya. Jelas penguasa-penguasa di Jawa–sebut saja–akan menolak jika Pemerintah Andalas meminta bantuan mereka untuk menangkapnya. Walau kemungkinannya kecil, tapi Aldi tetap berharap pada hal yang kecil tersebut.
Dan jika memungkinkan—dan percayalah, dia pasti mengejar hal tersebut—Aldi berencana akan menyelinap ke dalam salah satu pesawat antariksa yang ada di Tanah Jawa, bagaimana pun caranya, tiket untuk meninggalkan Bumi harus ia dapatkan jika ingin terus hidup. Dan sedikit bonus, melanjutkan darah keturunan dalam diri.
Bagaimana dengan gadis kecil di belakang?
Aldi menoleh sesaat. Mendesah lagi. Ia bukanlah seorang yang suci, hanya bajingan kecil saja. Untuk urusannya sendiri saja, Aldi sering berhadapan dengan kematian, apatah lagi harus membawa serta seorang bocah, perempuan pula. Ini sedikit memusingkan bagi pria tersebut. Memilih untuk meninggalkannya, Aldi merasa justru tidak tega.
Aah, sudahlah, batinnya lagi. Lihat saja apa yang terjadi nanti.
*
Dalam masa sehari itu, seratus dua puluh tujuh gunung berapi aktif yang ada di eks Negara Indonesia menggeliat. Sebagian lainnya seolah terjaga dari tidur panjang mereka, dan melontarkan raungan kencang ke udara, memberi kesaksian pada manusia jika mereka masih ada dan siap meluluhlantakkan apa yang ada.
Bumi yang terus menerus terpapar panas sebab tak ada lagi pendingin di permukaannya, meningkatkan aktivitas dapur magma dalam perut Bumi itu sendiri. Plus meningkatnya pergerakan lempeng Eurasia, Indo-Austalia, dan Pasifik yang semakin intens, semakin memperparah negeri yang dulu berjuluk Ring of Fire tersebut. Mulai dari Stratovolcano Pulau Weh di ujung paling utara Andalas, hingga ke puncak tertinggi Nemangkawi alias Puncak Jaya yang telah lama kehilangan selimut es abadinya di Papua.
Tidak ada satu apa pun yang bisa dilakukan orang-orang, terutama mereka yang terbuang. Hanya terdiam, terperangah menyaksikan berita-berita soal kengerian tersebut, lewat holoboard–papan hologram–yang terpampang di dinding-dinding gedung di tengah keramaian. Milik Federasi, kastil, dan istana yang sangat ironis dengan kehidupan di luar temboknya, milik pemerintah negeri yang sama sekali tiada peduli, atau di lokasi-lokasi pelacuran terbuka milik para gengster.
*
Di kawasan Pangandaran, Tanjung Sodonglandak.
Ryan tengah mereparasi sebuah ponsel seukuran kotak korek api dengan ketebalan tak lebih dari setengah sentimeter. Di sisi luar, seorang sahabatnya pun tengah mereparasi sesuatu, chameleon.
Sekali lagi Ryan melakukan pengecekan, membersihkan bagian dalam gadget tersebut dari serpihan-serpihan halus, sebelum akhirnya kembali menyatukan dan memasang bautnya. Gadget ia tempelkan ke tangan kiri. Begitu alat tersebut menempel, dari dua sisi–atas dan bawah–muncul sabuk kecil yang langsung melingkari pergelangan tangan.
Klik!
Layar persegi dengan ketebalan kurang dari setengah sentimeter itu langsung aktif, membiaskan cahaya kebiruan, menampilkan pola acak. Ryan memasang earphone di telinga kanan, sesaat ia memikirkan sesuatu. Satu garis melengkung menghiasi bibirnya, memandang komputer kuno di atas meja di hadapannya. Tergelitik akan sesuatu yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari, Ryan segera menghubungkan gadget di tangan kiri ke komputer.
Bip!
Di layar komputer muncul bar pemberitahuan koneksi nirkabel berhasil.
Ryan membuka beberapa file, jemarinya lincah memainkan virtual keyboard yang terbentuk di badan meja oleh laser merah yang dipancarkan dari sisi bawah layar komputernya. Ia berniat menyusupkan mata-mata ke dalam ponsel canggih yang melingkar di tangan kirinya itu.
Hehe, sedikit kejahatan, tawa pria tersebut di dalam hati. Tidak masalah. Sepertinya mereka akan meninggalkan Bumi. Ingin selamat sendiri, haa?
Layar ponsel menyorotkan cahaya hologram. Dengan jemari tangan kanannya, Ryan memperbesar dimensi hologram yang membentuk virtual screen. Layar hologram semakin lebar, hingga ke ukuran tujuh inci. Ryan mengutak-atik program ponsel tersebut.
"Sorry, Captain," gumam Ryan seorang diri. "Gue gak mau mati pasrah begitu aja… here it go."
Bip!
Sekejap saja aplikasi penyadap bergerak sangat cepat ke dimensi lain, berpindah dari komputer di atas meja, dan menjadi bagian rahasia dari ponsel di tangan kiri.
"And… Done."
Bip!
Koneksi nirkabel dihentikan Ryan, senyumnya kian lebar. Memencet satu-satunya tombol di sisi atas ponsel, virtual screen menghilang. Ryan bangkit dan melangkah mendekati rekannya di sisi luar.
"Kenapa lu?"
Cinnong–30 tahun–memiringkan kepala mendapati keanehan pada senyum Ryan. Noda-noda dari pelumas chameleon mendominasi wajah, tubuh, dan pakaian wanita itu. Ia menguncir rambutnya yang tergerai sembari terus memandangi Ryan.
Ryan tidak menjawab, hanya kedua bahu yang terangkat tanda ia menanggapi pertanyaan sahabatnya itu. Ia mendongak, mengarahkan padangannya ke beberapa titik, berniat menguji gadget di pergelangan tangan kiri.
Bip!
Virtual screen kembali muncul, bersamaan itu ia menyentuh tombol rata pada earphone di telinga kanannya.
Cinnong bertolak pinggang, sebelah alis terangkat. Kembali meneruskan kegiatannya, mengubah kecepatan chameleon level-2 menjadi maksimal, itu tujuannya; Level-7. Ya, ia tahu pasti apa yang tengah dikerjakan Ryan. Mereka berdua telah membicarakannya, semenjak berita tentang alam yang mulai mengamuk sedari kemarin.
*
Masih di kawasan yang sama. Dharma–45 tahun–melangkah sedikit tergesa-gesa di antara kepadatan bangunan, dan orang-orang dengan sejuta kepentingan.
"Jahanam!" seseorang memaki seorang lainnya dengan begitu kencang. "Gak ada duit, jangan berani lu mainin cewek gue!" bahkan lebar mulut yang menganga terbuka ikut menyemburkan air liur bersama suaranya itu. "Ngarti lu?!"
Dia adalah pemilik tempat hiburan kumuh di samping itu, seorang kaki-tangan salah satu gengster yang ada di kawasan Pangandaran–sekaligus muncikari–memaki dan meludahi seorang pria tua. Dua orang pria bawahannya memukuli si orang tua habis-habisan.
Seorang wanita penjaja seks mendekati orang tua yang meringkuk di badan jalan yang kumuh, muncul dari belakang si muncikari. Pakaiannya masih kusut-masai, sebab baru saja selesai bergumul dengan pria tua yang sekarang tengah dipukuli dua preman. Hanya celana dalam dan bra saja menutupi tubuhnya, cup-bra sebelah kanan justru belum terpasang sempurna, memamerkan buah dada kecil bergelantungan, layu.