Chereads / SC45 - When the Terra Falling Down / Chapter 12 - Perubahan Rencana

Chapter 12 - Perubahan Rencana

"Terima kasih," angguk Dharma coba hadirkan senyum tipis di sudut bibir.

Dan kemudian permukaan meja yang sekaligus menjadi layar komunikasi sang penguasa kembali berbunyi halus, lalu avatar wajah seseorang muncul di sana. Ternyata anak laki-laki dari si penguasa itu sendiri.

"Pa, aku punya dua orang teman cewek nih, Pa."

"Kau mau meminta Papa membawa mereka juga, begitukah yang kau mau?" potong sang penguasa menebak langsung arah ucapan itu. Avatar itu terkekeh mengangguk-angguk. "Ini yang terakhir. Jangan ada lagi tambahan, ngerti kamu?"

"Thanks, Pa,"

Bip!

Avatar tersebut kembali menghilang seiring sambungan kemunikasi keduanya terputus.

Dharma terkekeh dalam hati, tawa yang lebih mengantarkannya pada rasa tidak senang dan semakin jauh tenggelam dengan kekesalan terhadap laki-laki tambun tersebut.

Ironis sekali, gumam Dharma di dalam hati. Untuk dua pelacur anak laki-lakinya, masih tersedia tempat dalam pesawat, tapi untuk dua orang dengan keahlian khusus justru tidak ada sama sekali, Dharma menggeleng lemah. Benar-benar ironis. Apa jadinya nanti pesawat antariksa itu bila memang harus lepas landas? Tanpa tenaga ahli yang merawat, sama saja bunuh diri.

Dharma menghela napas dalam-dalam, berusaha mengusir segala pikiran buruk yang ada di kepala. Lupakan dulu sejenak, hasutnya pada diri sendiri. Semoga nanti ada celah untuk ini semua.

"Kamu cek ulang tuh pesawat!" titah sang penguasa pada Dharma. "Pastikan semuanya berfungsi. Jangan sampai justru pesawat itu menjadi tiket ke neraka buatku. Sekarang!"

Dharma mengangguk. Seulas senyum tipis menghias bibirnya. Neraka katamu? Tanpa itu sekali pun, kau sudah akan menjadi kayu bakar bagi neraka tu sendiri. Dharma lantas berlalu dari hadapan sang penguasa.

Sepeninggal Dharma, sang penguasa kembali mengutak-atik layar datar di hadapannya. Kembali avatar seseorang muncul di sana.

"Bagaimana?" tanya laki-laki tambun itu dengan suara sedikit direndahkan. Mungkin saja demi menghindari Dharma yang bisa saja mendengar suaranya dari balik pintu jika ia bersuara lebih keras lagi.

"Kami sudah menemukan wanita itu dan anaknya, Tuan," jawab avatar di layar di atas meja tersebut. "Dan Anda benar," lanjutnya lagi sembari tertawa pelan. "Istrinya seorang wanita yang sangat cantik, Tuan."

Sang penguasa terkekeh, kilatan liar membersit dari pandangannya. "Sudah. Secepatnya bawa dia ke dalam pesawat. Sekap di ruangan yang sudah kuberi tahu."

"Bagaimana dengan anak perempuannya, Tuan?" tanya avatar itu lagi.

"Bawa saja. Kita lihat nanti bagaimana selanjutnya," sahut sang penguasa. "Ingat!" serunya lagi dengan penekanan khusus. "Jangan sampai ketahuan oleh siapa pun, apalagi oleh suaminya itu, paham kalian!"

"Baik, Tuan."

Bip!

*

Di waktu yang sama di tempat yang berbeda.

"Jahanam!" gumam Ryan memaki, sepasang mata menyipit dengan sorot laksana sepasang pedang tajam. Sepasang rahang bergemeretakkan.

"Apa yang lu dengar?" tanya Naomi–27 tahun.

Saat itu, Ryan dan Cinnong sedang duduk di atas ban-ban mobil bekas melingkari sebuah meja usang pendek, bersama tiga sahabatnya yang lain. Naomi, Boris–35 tahun. Dan Yuma–33 tahun. Mereka sedang membicarakan rencana penyusupan ke dalam salah satu pesawat antariksa yang ada di Tanah Jawa. Sasarannya, kapal luar angkasa milik Penguasa Pangandaran si laki-laki tambun itu, di mana yang menjadi kaptennya adalah Dharma—setidaknya, Ryan dan Cinnong akan bisa berharap cara yang lain pada sang kapten itu nanti.

Ryan masih menyentuh earphone di telinga kanannya saat melirik pada Naomi. Kemudian mengedarkan pandangannya pada tiga yang lain.

"Pak Dharma mungkin tidak mengetahui, si penguasa gembrot jahanam itu tidak berniat membawa serta anak dan istrinya Pak Dharma," lagi-lagi kilatan amarah membersit di kedua bola mata laki-laki tersebut. "Paling tidak… mereka pasti akan terpisah," Ryan mendengus, kembali menatap keempat rekannya, dan berkata, "Gue rasa, penyusupan dibatalkan. Kita ubah rencana menjadi, menjatuhkan mereka. Gimana?"

"So, tujuan kita sudah pasti pesawat itu, kan?" sahut Yuma, menekankan pada keempat rekannya jika mereka benar-benar akan menjatuhkan si Penguasa Pangandaran.

"Berikut dengan anjing-anjingnya," tegas Boris.

"Lu yakin bisa ngebajak tuh, rombengan?" tanya Naomi. Ryan mengangguk. "Nerbanginnya?"

"Serahin ke gue," sahut Cinnong sembari mengedipkan sebelah mata.

"Jadi, kita sepakat?" pandangan Ryan bergerak menatap satu per satu sahabatnya, meminta kesiapan dan segala halnya. Termasuk, kematian.

Cinnong, Boris, Naomi, dan Yuma sama mengangguk dengan keyakinan tinggi.

"Gimana dengan senjata kita, Bro?"

Yuma terkekeh perlahan. "Don't worry about it."

"Berdiam diri, kita tetap mati," sambung Boris, "daripada menunggu mati, lebih baik menjemput kematian itu sendiri."

"Sinting!" timpal Cinnong.

Kelima sahabat itu sama tersenyum lepas, hanya sesaat, kembali hening. Masing-masing bola mata saling pandang, dan akhirnya keputusan telah disimpulkan, meski tiada kata terucap. Kepala sama mengangguk, kelimanya sama berdiri, menuju tiga buah chameleon yang terparkir tak jauh dari posisi mereka duduk.

*

Sementara itu…

Aldi terus memacu chameleon-nya menyusuri perairan sisi selatan Pulau Jawa. Masih bermil-mil lagi jarak yang harus ia tempuh untuk sampai di Karanghawu, dan itu akan tidak nyaman rasanya dengan windshield chameleon yang rusak. Ia harus mencari tempat untuk memperbaiki itu jika ingin meneruskan niatnya, atau setidaknya seseorang.

GPS yang terpasang di antara kedua setang chameleon memastikan pada Aldi bila mereka telah melewati kawasan eks Taman Nasional Ujung Kulon. Aldi semakin mempercepat laju chameleon. Ia menoleh sekilas ke belakang, sepertinya Ely tertidur pulas dalam gulungan selimut. Gurat tipis terukir di sudut bibir Aldi, menggelengkan kepala sebelum akhirnya kembali menambah kecepatan kendaraan itu.

Mudah-mudahan saja di Pulau Deli ada seseorang yang bisa dimintai tolong, begitu harapan Aldi di dalam hati.

Dan sedikit bahan makanan.

Aldi memperlambat laju chameleon, mematikan lampu sorot, sengaja menjaga jarak. Laki-laki itu ingin memastikan jika di pulau kecil tersebut tidak ada anjing-anjingnya para penguasa, lebih-lebih orang-orang Federasi. Terlalu riskan. Meskipun ada gap antara Pemerintah Andalas dan Pemerintah Jawa, namun siapa yang bisa menebak? Terlalu banyak manipulasi indra yang dilakukan oleh para penguasa selama ini. Penglihatan, pendengaran, yang ujung-ujungnya menciderai perasaan. Utamanya lagi, bagi mereka-mereka yang terbuang.

Seperti diriku, gumam Aldi di hati.

Sekian saat Aldi mengawasi Pulau Deli dengan teropong di tangan, namun ia tidak melihat kehadiran patroli penguasa, tidak pula Federasi. Tapi, Aldi tidak ingin ambil risiko. Jadi, chameleon kembali ia pacu dengan kecepatan rendah, dan pistol PSG di tangan kiri, siaga penuh.

Kali terakhir, yang diketahui Aldi, ada beberapa bengkel liar di kawasan Pulau Deli. Yaa, meski hanya dalam hitungan lima jari. Berharap saja mereka mau diupah hanya 50K Foros–mata uang yang berlaku di zaman ini, diambil dari bahasa Yunani; fóros, yang bermakna upeti–meskipun harga windshield itu sendiri nyaris dua kali lipat dari uang yang dimiliki Aldi sekarang.