Puluhan orang yang berada di sekitar tidak sedikit pun merasa terganggu dengan kejadian itu. Akan menjadi perhatian bagi orang-orang yang langkahnya terhalangi, seperti Dharma. Lainnya, acuh tak acuh saja. Sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Begitu si wanita berada di hadapan pria tua, ia menendang kuat tubuh pria tua tersebut. Hingga pria tua melenguh dan tergolek lemah, wajahnya telah bersimbah darah. Tubuh serta satu-satunya pakaian yang ia kenakan–celana dalam–kotor bergelimang lumpur jalanan. Lalu, sang wanita dengan kasar menginjak bagian selangkangan pria tua.
Pria tua melolong kesakitan, kemaluan terasa mau pecah.
"Lu nipuin gue, hmm?!" sekali lagi si wanita menghentakkan tumit high heels-nya.
"Lonte anjing...!" pria tua menjerit histeris, injakan si wanita memecah testis di balik celana dalamnya.
"Lu yang anjing!" maki si wanita, lantas kembali menendang tubuh pria tua itu. Setiap kata yang keluar dari mulutnya, setiap kali itu juga tendangan mendarat ke tubuh pria tua. "Lu-udah-ngen—"
"Hentikan!" sang muncikari mendekap wanita yang menggila, dan menyeretnya menjauh dari si pria tua. Ia lebih mengkhawatirkan sumber kantung uangnya itu, masih banyak pelanggan yang harus dilayani. "Hei," ia menoleh pada kedua anak buahnya. "Buang bangsat itu!"
"Lepasin gue!" teriak si wanita.
Suara si wanita masih saja terdengar di antara alunan musik yang menghentak meski orangnya sendiri sudah tidak lagi terlihat, terhalang tubuh-tubuh molek setengah telanjang yang dengan gemulai melambai memanggil-manggil para pria yang berlalu-lalang.
Dua pria berbadan besar menghela kedua tangan pria tua yang nyaris pingsan, menyeretnya mendekati sebuah kanal, dua puluh meter di samping tempat pelacuran itu. Dari selangkangan pria tua, mengalir darah segar, menetes selagi kedua preman menyeret tubuhnya.
Dharma meneruskan langkah, berbelok ke sisi kanan bangunan penjaja kenikmatan tersebut. Di belakang, Dharma bisa mendengar suara benda besar yang tercebur ke dalam genangan air kotor di dalam kanal.
Kembali Dharma harus berdesakkan di tengah keramaian lainnya. Di bahu jalan yang sempit, berjejer kios-kios pedagang makanan. Asap-asap tipis dari daging yang terbakar berbaur dengan asap rokok dari sejumlah bibir.
Bau harum daging bakar menggugah selera.
Dharma mengerutkan dahi, ia tidak akan tergoda karena aroma yang menggelitik indra penciumannya itu. Ia tahu pasti, daging-daging dengan aroma menggiurkan itu bukanlah daging sapi, atau kerbau, babi, atau hewan lainnya. Ia hampir bisa memastikan, sembilan puluh sembilan persen bahan daging yang digunakan para pedagang tersebut, adalah daging manusia.
Aku belum gila untuk menjadi seorang kanibal, ketus Dharma di dalam hati.
Keluar dari keramaian, Dharma masih meneruskan langkah cepatnya. Di ujung jalanan padat, sapuan angin laut menyambut. Ia menoleh ke kanan, di kejauhan, terpisah dari cahaya kumpulan bangunan lainnya, Dharma tersenyum tipis menatap satu bangunan yang ada di ujung kanan itu.
*
"Yan..."
Cinnong menggerakkan sedikit kepalanya, menunjuk pada seseorang yang sedang datang menghampiri dari arah kiri.
Ryan menoleh, Dharma semakin mendekati mereka. "Here it go…" gumamnya tanpa berpaling.
Cinnong terkekeh, sangat mengerti jika Ryan tengah berharap-harap cemas. Ya, soal penyadap yang ia tanam ke dalam gadget yang masih melekat di tangan kirinya itu. Ia menaiki chameleon, duduk santai di atasnya.
"Bagaimana?" tanya Dharma begitu berada di dekat Ryan dan Cinnong. "Bisa selamat?"
Ryan melepas gadget di tangan kiri, menimang sesaat, lalu memberikannya pada Dharma.
"Dicek aja dulu, Pak-bos."
"Mantap," Dharma menyambut gadget yang terulur, berikut dengan earphone-nya. "Seperti baru."
Klik!
"Yaa, gak terlalu parah."
Ryan mengerling pada Cinnong dan mengedipkan sebelah matanya. Cinnong harus menyembunyikan senyuman.
Dharma mengecek ulang semua feature dan fungsi gadget-nya itu. Memasang earphone ke telinga kanan. Mengutak-atik layar virtual.
Selama Dharma mengecek ulang gadget tersebut, selama itu pula Ryan selalu memandang Cinnong. Keduanya sama tegang. Mereka baru bisa bersantai setelah Dharma tersenyum puas. Cinnong mengacungkan jempol pada Ryan, terkekeh pelan.
Ryan tersenyum kecut, bertolak pinggang dan menunduk. Sialan lu, Nong, makinya di dalam hati.
Cinnong turun dari atas chameleon, "Jadi?" ia melirik pada Dharma. "Ada kabar baik gak nih, Pak… buat kita-kita?"
Dharma menggeleng lemah, embuskan napas panjang. Lantas mengeluarkan sebuah kotak makanan dari kantong celana khas army yang ia kenakan, sisi kanan. "Gak ada celah, Nong." Melemparkan kotak tersebut pada Ryan.
Ryan menyambut, memerhatikan sejenak. Mendengus melihat logo "F" pada salah satu sisi kotak. Enak banget hidup kalian, maki Ryan pula di dalam hati. Dasar bajingan.
"Anda itu Kapten lhoo, Pak," protes gadis itu lagi. "Masak gak bisa?" cibir Cinnong sembari melipat kedua tangan ke dada. "Berarti—lebih baik kami pasrah aja menerima nasib, gitu?"
Sesaat mulut Dharma membuka, ingin mengutarakan sesuatu, tapi tidak sepatah kata pun yang keluar. Ia mendesah, menghempaskan kekesalannya.
"Aku… cuma anjingnya Penguasa Pangandaran," kata Dharma datar sembari menonaktifkan cahaya hologram gadget-nya.
Lantas, dengan tangan kiri itu, Dharma mengeluarkan sekotak lagi makanan dari kantong sisi kiri celananya. Memberikan kotak tersebut pada Cinnong.
Cinnong mendengus menerima pemberian Dharma. Membolak-balik kotak makanan dengan pandangan menyiratkan kekecewaan. "Nyawa kita gak lebih dari sekotak ransum ini," katanya sembari melirik Ryan.
Ryan mencibir disertai dengan kedua bahu yang terangkat. Lalu, duduk begitu saja di atas sebuah bangku usang, dan membuka tutup kaleng makanan di tangannya. Ia tersenyum hambar.
Ironis banget.
Isinya, irisan daging ikan dan potongan sayur yang diawetkan. Tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, Ryan menyantap makanan tersebut begitu saja.
"Sinting," gumam Cinnong. Lalu terkikik menanggapi kelakuan Ryan tersebut.
Ya, makanan seperti itu sangat jarang mereka dapatkan. Adalah satu kemewahan bagi orang banyak bila bisa makan makanan milik penguasa, lebih-lebih dari Federasi.
"Sia-sia aja rasanya lahir ke dunia ini," gerutu Cinnong lagi, tapi itu pada rasa tidak senangnya akan permintaan yang tidak bisa dipenuhi Dharma.
"Ayolah, Nong. Jangan menghakimiku karena ini," Dharma tahu pasti jika Cinnong sangat kecewa, lebih-lebih Ryan. Meski pria itu tidak menampakkan auranya. Dan memelas, "Aku bersedia menerbangkan spaceship mereka, sebab mereka berjanji membawa serta istri dan putriku."
"Jadi benar," sela Ryan di tengah keasyikannya menyantap makanan lezat itu, "bajingan-bajingan itu akan meninggalkan Bumi?" Dharma mengangguk. Ryan meneruskan ucapannya, "Kapan?"
"Besok, tiga hari lagi, seminggu—entahlah, aku tidak tahu pasti," kata Dharma. "Kapan saja si penguasa itu bisa tinggal landas."
Dharma melepas satu botol lebar dari kaitan di pinggangnya. Botol minuman khas tentara. Lantas memberikan botol tersebut pada Ryan.
"Anggap itu bonus."
Sebelah alis Ryan terangkat, ia tidak yakin dengan isi botol tersebut. "Anda baik sekali," dengus Ryan menahan tawa. "Pak-bos."
"Teh Manis," kata Dharma menjawab kebingungan Ryan. "Sudah berapa lama kalian tidak menikmati itu?"
Ryan dan Cinnong sama mengendikkan bahu. Sepuluh, dua puluh tahun mungkin. Dan lalu sama menggelengkan kepala dengan cibiran kentara.
"Sudahlah," ujar Dharma tersenyum hambar. "Jaga diri kalian," dan ia pun berlalu meninggalkan kedua muda-mudi tersebut.
Ryan dan Cinnong sama terkekeh. Yaa, itu juga, termasuk minuman elite. Bisa makan makanan ransum ditemani segelas teh manis di masa sekarang, itu—sama seperti mendapatkan bongkahan berlian, dulu. Sesuatu yang mewah dan menyenangkan.