Dharma duduk menekur, di dalam satu dari sepuluh rangkaian gerbong sebuah Mass Rapid Transportation – MRT – yang akan membawanya ke jantung distrik—sebuah istana besar dengan dua lapis dinding tebal dan tinggi yang melingkari, dibangun di atas lahan yang dulunya adalah tempat konservasi hewan dan vegetasi lingkungan, Cagar Alam Pangandaran.
Meski Dharma terlihat diam di antara celoteh penumpang lainnya, namun sepasang mata yang terpejam dan dagu yang bertopang pada kepalan tangan itu, menyatakan hal lain. Ia, benar-benar serbasalah. Sangat menyesalkan tidak mampu membawa serta Ryan dan Cinnong—nantinya. Dharma sudah mengenal lama kedua orang tersebut, bila ingin jujur; mereka, sahabat bagi dirinya. Yang selalu dapat ia andalkan dalam beberapa hal, utamanya soal program komputer pesawat antariksa, perbaikan gadget apa pun, chameleon. Yaah, mereka anak-anak muda yang memiliki potensi besar sebenarnya.
Dharma bahkan telah mencoba merayu sang penguasa distrik, dan ia dihadapkan pada keputusan sulit. Pilihannya cuma dua; membawa anak-istrinya dan meninggalkan Ryan serta Cinnong, atau membawa kedua muda-mudi tersebut dan meninggalkan anak-istrinya.
Dharma mendesah panjang, menyembunyikan wajah di antara dua telapak tangan, meremas rambut pendeknya yang sebagian telah memutih. Berbuat kebaikan adalah sedikit hal yang terkadang menggelitiknya. Di tengah carut-marutnya dunia, dan kehidupan yang tak lagi kondusif—itu adalah hal yang teramat langka. Paling tidak, ia sangat ingin melakukannya, sekali dalam seumur hidup. Jika memang surga itu ada, gumamnya dalam hati.
Apa yang bisa aku perbuat? Tidak mungkin mengorbankan anak-istriku…
Perjalanan menggunakan MRT tidaklah lama. Untuk mencapai pusat distrik tidak lebih dari lima menit, sayangnya MRT harus berhenti di beberapa titik dan memperpanjang jarak tempuh menjadi lima belas menit.
Menjelang pemberhentian di stasiun ketiga, yang berada dekat dengan tembok istana lapis pertama, satu ledakan mengguncang semua orang.
Di bawah lintasan MRT, sedang terjadi keributan. Ratusan mereka yang terbuang berduyun-duyun menghampiri gerbang yang dijaga ketat pria-pria bersenjata dan robot-robot keamanan—dengan bentuk fisik nyaris menyerupai manusia setinggi dua meter.
Orang-orang yang kecewa karena tidak mendapat perhatian dari penguasa istana, kecewa tidak mendapat tempat di pesawat antariksa, melampiaskan emosi mereka dengan menyerang para penjaga gerbang. Kericuhan tak terhindar. Mereka yang membawa senjata lantas menembak dengan membabi buta. Para penjaga tidak tinggal diam, tembakan dari senjata mereka yang lebih canggih dan mematikan, membunuh banyak nyawa, memaksa orang-orang untuk mundur dan menghindar.
Mereka yang kecewa membalas lagi dengan lebih brutal. Setiap penjaga gerbang yang berhasil mereka bekuk, akan mengalami kematian tragis. Tercabik-cabik. Akan tetapi, untuk membekuk para robot, sepertinya butuh solusi lain. Bom rakitan.
Ledakan demi ledakan memperparah kondisi di bawah sana. Salah satu peledak rakitan yang dilempar oleh seseorang ke arah robot-robot tersebut, dapat dihalau oleh 'seorang' robot. Sayangnya, peledak yang ditendang si robot justru melayang ke salah satu tiang baja penopang rel MRT.
Bom rakitan meledak dahsyat, membengkokkan tiang penopang. Imbasnya, MRT yang tengah melaju kencang di atas relnya oleng. Susunan baja ambruk, membawa serta lima gerbong terdepan. Teriakan para penumpang berbaur dengan suara bergemuruh dan dentuman peledak.
Dharma yang berada di gerbong keenam bergerak cepat sebelum gerbong tersebut tertarik jatuh. Dengan sepatu army-nya, ia memecahkan salah satu kaca jendela. Seperti seekor laba-laba, ia merangkak, keluar dari dalam gerbong yang hiruk-pikuk. Bersusah payah Dharma merayap naik ke atap gerbong, lantas berlari kencang ke atap ketujuh. Sementara itu gerbong keenam terus tertarik ke bawah. Dharma melompat, nyaris saja ia ikut jatuh bersama gerbong keenam itu. Dharma tidak berhenti sampai di situ, ia terus berlari ke arah belakang. Melompat dari satu atap gerbong ke atap gerbong lainnya, hingga mencapai atap gerbong terakhir, gerbong kesepuluh.
Dharma mengambil ancang-ancang, memposisikan arah lompatan ke atas rel. gerbong-gerbong yang tersisa tertarik semakin kencang. Dharma melompat, mendarat di atas rel, dan bergulingan guna meredam daya benturan. Nahas, ia tergelincir, terperosok jatuh. Beruntung satu tangannya mampu menggapai tepian rel. Bahu terasa amat sakit menahan sentakan tubuh yang bergelantungan, dengan susah payah ia akhirnya berhasil bergelantungan dengan dua tangan. Meniti tepian rel dengan kedua tangan, menuju salah satu tiang penopang.
Begitu Dharma berhasil turun, seseorang menyerangnya. Ia tidak heran akan hal tersebut. Seragam yang ia kenakan jelas-jelas mengidentifikasikan jika ia bagian dari istana. Tidak menunggu ujung tajam golok mendekati tubuhnya, Dharma mencabut Stun Gun di pinggang. Bahkan dua Stun Gun sekaligus.
*
"Gue pikir—paling lambat, dua hari lagi mereka akan berangkat," kata Cinnong. "Waktu ngetes ni motor, gue sempat lihat pintu gerbang E Jaga Lautan, ditutup."
Ryan mengangguk membenarkan ucapan Cinnong, kembali mereguk teh manis dalam botol, kemudian menyerahkan botol tersebut pada Cinnong. Ryan menengadah, memandang hamparan langit malam yang kemerah-merahan. Jutaan kerlip bintang di langit seakan memberi harapan kehidupan di sana.
Sepasang mata di balik lensa itu menyipit. Beberapa cahaya kecil di atas langit menarik perhatian Ryan.
Bintang? Kurasa bukan.
Ryan bangkit, dan meraih sebuah kotak besar empat persegi dengan panjang satu meter, lebar setengah meter, dan ketebalan empat puluh sentimeter. Ia mengangkat kotak titanium tersebut ke sisi yang lebih lapang. Lantas menyentuh satu tombol rata persegi di sisi teratas.
Kotak persegi mengeluarkan suara berdesis. Bergerak terbuka secara sistematis. Kurang dari enam detik, kotak persegi telah berubah bentuk menjadi satu alat yang lebih mirip sebuah teleskop lengkap dengan tripod penyangganya.
Sementara Cinnong menikmati air teh dalam botol, Ryan menyelidik kerlip cahaya di langit yang tadi menggelitiknya.
Ryan tersenyum tipis. Ia melihat itu. Bukan bintang yang menjanjikan harapan, tapi sebuah pesawat antariksa. Dari posisinya berdiri, Ryan bisa memperhitungkan; pesawat superbesar itu terbang dari kawasan Australia. Garis kabut tebal yang ditinggalkan pesawat tersebut di arah tenggara lah yang menguatkan keyakinan Ryan.
Ryan memutar perlahan engsel di sambungan lensa okuler. Ia mendapati sejumlah pesawat lainnya di langit malam itu. Pesawat-pesawat antariksa dari berbagai wilayah di muka Bumi, telah lebih dahulu bergerak. Meninggalkan motherland.
"Gue rasa," Ryan bertolak pinggang, menoleh pada Cinnong, "lu bener. Lusinan dari mereka telah meninggalkan Bumi."
Cinnong mendongak, memerhatikan setiap kerlip cahaya nun di ketinggian sana. Ia melihat titik-titik cahaya yang dimaksudkan Ryan.
Dan kemudian terdengar suara-suara gaduh. Dentuman dari peledak, letusan senjata api, bunyi bergemuruh dari sesuatu yang besar terhempas ke bumi.
Ryan dan Cinnong saling pandang.
"Lebih baik calling teman-teman," kata Ryan sembari mengeluarkan ponselnya sendiri dari dalam kantung celana. Menempelkan gadget tersebut ke pergelangan tangan. Sekejap saja, cahaya hologram telah membentuk virtual screen. Dan menghubungi beberapa rekannya.
Sementara itu, Cinnong berlari memasuki rumah–yang lebih mirip sebuah bengkel–mempersiapkan sesuatu.
"Naomi, Boris, Yuma…" panggil Ryan pada tiga avatar yang muncul di layar virtual, "Masuk!"