Chapter 3 - Juli 2525

Di medio Juli, 2525. Eks Sumatra–sekarang bernama Andalas. Nama kuno dari pulau besar itu sendiri.

Seorang bocah perempuan mengais-ngais tanah, tubuh kumuh dengan pakaian yang lusuh, mencoba mencari sisa-sisa tumbuhan di balik tanah gersang. Langkah kaki gemetar, terseok, terus membawa tubuh yang kurus kering, setapak demi setapak. Berhenti lagi, menggali lagi. Berharap masih ada umbi—apa saja, untuk mengisi perut kempis yang sudah beberapa hari tidak diisi.

Bangkit lagi, melangkah lagi, mengais lagi. Mentari begitu kejam menyengat permukaan. Membakar perlahan setiap jengkal tanah yang ada, di satu kaki tanah tinggi perbukitan. Pegunungan Bukit Barisan. Tidak ada lagi keindahan yang tersisa pada gugusan yang dulu begitu megah. Tiada selembar hijau daun yang dulu selalu menghadirkan sensasi kesegaran di sana. Aroma tanah basah, embun menetes di helai daun, tidak ada. Kering kerontang. Sama, seperti tempat-tempat lain di muka Bumi.

Bocah perempuan terperangah, senang. Menemukan sepotong umbi dalam galian. Kembali menggali, tanpa bantuan alat apa pun, hanya dengan kesepuluh jari tangan yang kumal. Tergesa-gesa, si bocah menghela umbi dari sisa pohon Singkong Gajah. Ia harus memforsir tenaga ekstra untuk bisa mencabut umbi tersebut.

Tercabut.

Cukup besar dan panjang, sebesar betis orang dewasa, seukuran setengah meter. Ia tertawa senang, nyaris tanpa suara. Bergegas mengelupasi kulit luar umbi dengan kuku-kuku tangan yang menghitam. Meski daging umbi tak lagi putih–mengering kebiru-biruan–itu tidak menyurutkan rasa lapar yang melanda. Tidak sama sekali.

Dengan rakus bocah perempuan menggigit dan mengunyah umbi kering, duduk bersimpuh begitu saja di atas tanah yang memuai kepanasan. Biarkan saja, hal ini sudah biasa untuk ia rasakan dalam beberapa tahun belakangan ini.

Kening sang bocah mengernyit. Umbi terasa pahit, mungkin sudah beracun. Meski tak menyisakan sedikit jua cairan bersamanya, sang bocah tetap lahap, menyantap umbi layaknya sepotong ayam panggang. Memenuhi perut yang melilit. Dan berharap akan memperpanjang umur beberapa hari ke depan.

"Hoii…!"

Sang bocah terperangah. Cepat ia menoleh ke belakang. Dua orang pria berkacak pinggang, menatap tajam padanya. Terutama, pada umbi kering di tangan, juga pada tubuhnya yang kumal. Sang bocah gelagapan, gemetar memeluk umbi kuat-kuat, tak ingin melepaskan makanan yang telah ia dapat. Tidak pada dua pria itu, tidak pada siapa pun.

"Serahin tuh umbi, atau gue tembak kepala lu?" seorang dari dua pria mengacungkan senjata api di tangan.

Si bocah tak menggubris. Membungkuk dalam, memeluk erat umbi, dengan cepat menggigit dan mengunyah lagi makanan tersebut. Ia sangat tahu, tidak akan mungkin rasanya akan bisa mempertahankan umbi di tangan, mempertahankan diri saja ia tidak sanggup. Jadi, sedapat mungkin ia terus mengisi lambungnya yang telah lama menjerit, dalam ketakutan dan tubuh gemetar, sebelum umbi berpindah tangan.

"Eee, bocah sialan!" maki seorang lainnya sembari bergerak mendekati sang bocah. Lalu, satu tangannya melayang.

Plak!

Sang bocah melenguh, tersungkur. Tangan pria itu begitu kasar menampar kepalanya. Tidak ada tangisan yang keluar dari mulut bocah perempuan itu. Ia tetap memeluk umbi, mengunyah lagi, dan lagi, sedapat dan sebanyak yang bisa ia gigit dan telan. Meringkuk, dan melenguh lagi saat pria itu menendang kuat tubuhnya.

"Berikan…!"

Sang bocah mati-matian mempertahankan apa yang sudah ia dapat. Namun tenaga pria itu jauh lebih besar tentunya. Sang pria menyentak kuat, hingga umbi terlepas dari cengkeraman sang bocah.

Lagi-lagi bocah perempuan nan malang itu melenguh, menahan perih dari salah satu kukunya yang patah sebab mempertahankan umbi. Ia meringis, menggenggam jari yang terluka, berdarah. Dan kembali tersungkur, sebab pria itu kembali menghadiahi kepalanya dengan tendangan keras. Tergeletak, tak berdaya.

Pria yang telah merampas umbi dari tangan bocah perempuan itu lantas duduk dengan santainya di atas permukaan tanah gersang begitu saja. Membersihkan umbi dari pasir yang menempel, meniup, dan mulai menyantap, sama sekali tidak peduli pada gadis kecil yang masih meringkuk di belakangnya itu.

"Hoi, jangan lu habisin tuh. Sisain buat gue setengah. Ngarti lu?" kata pria yang memegang senjata api. Dan meneruskan langkahnya, mendekati tubuh yang meringkuk di lantai pasir itu.

"Mau ngapain lu?" pria yang duduk memandang heran pada temannya yang sekarang sedang berjongkok di depan sang bocah. "Mau lu bakar? Percuma! Kurus kering begitu, gak ada dagingnya."

Sang teman menoleh, sunggingkan senyum sinis. Kembali memandang sang bocah.

Gadis kecil menyembunyikan wajah, meringkuk semakin bergulung. Tak sanggup menatap wajah yang dipenuhi dosa di sampingnya itu. Sorot mata itu laksana seekor predator liar kelaparan yang akan mencabik-cabik dirinya.

"Ahh, terserah!" dengus pria yang asyik mengunyah umbi. Ia tahu pasti, temannya itu akan bermain-main dengan tubuh si gadis kecil. Ia tidak peduli. "Kelamaan, lu gak bakal gue sisain."

Gadis kecil menjerit kencang. Parau. Memberontak sekuat tenaga dari cengkeraman si pria. Ia berhasil melepaskan diri. Bangkit dengan cepat, setengah mati berusaha berlari sekencang mungkin, menyelamatkan satu-satunya harta yang tersisa di tubuh.

Pria itu bangkit dan mengejar sembari melepaskan bajunya yang kumal.

"Bodoh," umpat temannya yang telah melahap umbi, lebih dari separuh panjang umbi itu sebelumnya.

"Mau lari ke mana, haa? Hehe—" si pria menyeringai, langkahnya semakin cepat, "—gue suka yang liar kek gini." Ia melompat, menangkap pinggang si bocah.

Gadis kecil terpekik, jatuh bergulingan dalam dekapan si pria. Pekiknya kian menjadi-jadi, satu per satu pakaian yang melekat di tubuh robek tak keruan, tangan pria itu buas melucuti pakaiannya. Gadis kecil bergerak liar, memberontak dengan keras. Memukul, menggigit, mencakar tubuh si pria. Hingga, kuku jari yang terluka semakin menganga, mengucurkan darah lebih banyak lagi.

"Bangsat!" maki si pria. Satu tangannya bergerak.

Plak...!

Pria yang menyantap umbi tidak terpengaruh sedikit pun. Pada jeritan gadis kecil yang mengiba, pada lenguhan pendek rekannya. Tidak sama sekali. Seolah pelecehan seksual yang tengah terjadi di belakang itu bukanlah satu hal yang harus ia pikirkan.

Selang beberapa menit kemudian. Pria itu berdiri sembari membenahi celana yang kedodoran. Menyeringai puas, meludahi gadis kecil yang terbaring tak berdaya. Hanya gerakan halus dari getaran di dada sang bocah perempuan saja yang menandakan jika ia masih hidup, napas pendek terputus-putus.

"Woi, bagian gue?" kata pria itu setelah ia berada di samping temannya. "Berengsek!" makinya saat menyadari umbi kering yang diserahkan temannya itu tersisa sejengkal saja. "Yuk, cabut," ajak pria itu sembari berlalu, ia menyandang bajunya di bahu kiri.

Rekannya mendengus, tertawa menyindir, dan berdiri. Lantas mengikuti irama langkah pria di sampingnya, meninggalkan tubuh gadis kecil begitu saja.

Perlahan, bulir-bulir hangat menetes dari kedua mata bocah perempuan. Tapi itu bukan pada kejamnya dunia ini, lebih kepada rasa sakit yang menyiksa selangkangannya.