Ryan buru-buru melompat turun dari atas chameleon, mengikuti langkah Yuan yang telah lebih dulu turun dan sedang membuka pintu depan rumah. Xian juga ikut turun ditemani Naomi. Sementara Boris, Yuma, dan Cinnong sama berjaga di luar dengan senjata aktif di tangan.
"Please, Mr. Ryan," Yuan menunjuk sebuah komputer di atas meja di sudut kanan ruangan—ruang tengah.
Sang putri kecil mendekat dan langsung memeluk tubuh sang ibu. Yuan, dapat merasakan ketakutan Xian belumlah hilang. Perbuatan beberapa preman suruhan Penguasa Pangandaran beberapa saat yang lalu, meninggalkan traumatis yang sepertinya butuh waktu lama untuk menghilang dari pikiran Xian.
Ryan segera saja melangkah ke sudut itu. Lampu LED di atas langit-langit dan di hadapan Ryan, menyala. Menerangi ruang tengah yang tadi sedikit suram.
"Terima kasih," ujar Ryan pula. "But, just Ryan, okay," laki-laki itu sunggingkan senyum pada Yuan juga Xian, keduanya sama mengangguk. Lalu laki-laki itu kemudian mengaktifkan C-Pad di tangannya.
Ryan menyalakan monitor komputer 32 inci di hadapannya. Setelahnya, ia menyambungkan segera C-Pad di tangan ke komputer, nirkabel. Detik selanjutnya, mengunggah ghostfile rancangannya ke komputer besar.
Sesaat, Ryan menghela napas dalam. Ini pertaruhan, meski cemas sedikit melanda, namun Ryan masih bisa sunggingkan seringai tipis. Adrenalinnya tertantang untuk menaklukkan rasa cemas, sekaligus ingin menaklukkan guard system dan komputer induk pesawat antariksa di Pangandaran sana.
"Here it go…" gumam Ryan pada dirinya sendiri.
Bip!
"Ryan," sapa Kapten Dharma saat avatar laki-laki tersebut muncul di layar virtual gadget di tangan kirinya itu. Semenjak tadi, sang kapten sengaja mengondisikan gadget-nya tersebut dalam posisi aktif.
"Anda sudah siap, Pak?"
"Kapan saja," Dharma melirik kepada Hyker.
Hyker menurunkan kakinya dari atas screen board, di mata Dharma, pemuda nyentrik itu terlihat mulai serius. Hyker mengangguk menanggapi isyarat mata sang kapten.
"Aktifkan gadget-mu!" titah sang kapten pada Hyker.
Hyker menyentuh earphone di telinga kirinya. Dharma mengutak-atik virtual screen dari gadget di pergelangan tangan, memparalelkan komunikasinya ke gadget Hyker. Dengan begitu, ia tidak perlu mengulang instruksi dari Ryan kepada pemuda tersebut.
"Yan, kita mulai," ujar Kapten Dharma pula kemudian.
"Baiklah, Pak," angguk avatar dari Ryan tersebut. "Kita mulai," lanjutnya lagi. "Pertama, aktifkan FMGC, sambungkan gadget Anda—"
Sementara Ryan memberikan instruksi, Hyker dengan lincah mengutak-atik screen board besar di hadapannya. Hyker melirik Dharma, menunggu sang kapten menyambungkan gadget-nya ke komputer induk pesawat tersebut.
Sesaat keraguan kembali menghantui Dharma, kurang dari sepuluh detik lagi, Hyker akan mengaktifkan FMGC—Flight Management Guidance Computer—yang berarti mengaktifkan juga Aios, dan bila itu terjadi, maka guard system akan diambil alih oleh si Kecerdasan Buatan tersebut.
Di sinilah letak sekelumit masalah itu. Aios sendiri mampu mendeteksi hal-hal mencurigakan di dalam tubuhnya—pesawat antariksa itu sendiri, sekecil apa pun itu. Satu-satunya cara, dengan aktifasi manual piloting dan menyerahkan sisanya kepada Ryan di antah-berantah sana. Namun itulah sulitnya, sebelum sang penguasa menyerahkan 'kepemimpinan mutlak' kepada dirinya, pesawat ini akan selamanya dalam pengawasan 'mata' Aios. Jadi, semua tindak-tanduk yang berhubungan dengan mekanisme peranti lunak pesawat, harus dengan izin sang otak itu sendiri—Aios.
Dharma menghela napas lebih dalam, demi mengurangi gerak tubuh yang bisa saja dicurigai oleh sensor yang melengkapi Aios. Ia melirik pada Hyker, isyarat pada; mulai!
"Ryan," ujar Kapten Dharma. "Lanjutkan!"
"—Silakan ubah Flight Control Unit ke mode manual," sahut avatar Ryan.
Bip!
Lalu hening selama tiga detik. Tiga detik yang terasa sangat begitu lama menyiksa ketegangan di diri Kapten Dharma, Hyker, dan rekan yang lainnya di dalam ruangan kokpit tersebut.
"Morning, Captain Dharma," sapa Aios begitu sistem pesawat diaktifkan, dan suara manja si artifisial tersebut menggema lembut sekaligus memperbesar kecemasan di dalam diri Kapten Dharma dan Hyker.
"Morning, Aios," sahut Dharma membalas suara komputer induk tersebut dengan wajah yang menegang. Meski ia sudah berusaha mati-matian untuk bersikap sewajarnya saja. "Aku ingin melakukan pengecekan ulang pada semua sistem, sebelum penerbangan—mungkin dalam dua hari ini."
"Apa itu diperlukan, Captain?" tanya Aios dengan sedikit kecurigaan. "Anda sudah melakukannya siang tadi. Saya mendeteksi perubahan mimik dan panas di tubuh Anda."
"Aku tidak ingin berdebat denganmu, Aios," sahut Kapten Dharma pula.
Ucapan sang kapten itu ditanggapi dengusan kecil seolah menahan tawa oleh Hyker yang berhadapan dengan puluhan tombol digital dan file-file yang muncul pada setiap permukaan meja kaca sepersekian detik setelah ia mengaktifkan FMGC.
Dharma mengutuk sikap Hyker itu. Ternyata pemuda tersebut masih saja menganggap ini semua hanya permainan. Dasar maniak game, maki Dharma di dalam hati terjadap pemuda yang satu itu.
"Inconsequential," bantah Aios. "Data saya menunjukkan semua sistem dalam kendali normal. Tidak ada yang salah. Kecuali suplai bahan bakar untuk jet pendorong yang belum memenuhi target, dan bahan makanan."
Dharma tidak ingin kalah. Tidak dengan makhluk buatan tanpa ujud tersebut. "Sudah kukatakan, aku tidak ingin berdebat denganmu. Memastikan semua berjalan sempurna adalah tugasku. Kau tahu, keselamatan awakku juga penumpangnya nanti."
"Captain," sahut Aios pula tidak menghiraukan ucapan sang kapten. "Sensor electroencephalogram saya mendeteksi kenaikan hydrocortisone dalam tubuh Anda. Peningkatan empat puluh dua persen gelombang beta—"
"Hentikan, Aios," balas Kapten Dharma sedikit lantang.
Ketegangan di tubuh sang kapten dapat dibaca dengan mudah oleh sistem pendeteksi gelombang otak milik Aios, begitu pula hydrocortisone alias kortisol yang meningkat dalam kelenjar adrenalin sang kapten sendiri sehingga gelombang beta dalam otak ikut meningkat pula.
Kapten Dharma berusaha mengontrol diri tanpa harus menambah kecurigaan lain di 'mata' Aios yang selalu mengawasi, sebelum adrenalinnya terlanjur tumpah dan itu akan menjadi senjata ampuh bagi Aios sendiri untuk tidak mengabulkan keinginannya.
"Silakan kau hubungi sang Penguasa," tantang Kapten Dharma kemudian. "Kita lihat, kau atau aku yang akan diam."
"Very well," sahut Aios.
Untuk beberapa detik kemudian, suasana ruang kokpit membisu. Dharma berulang kali menyipitkan sepasang mata kepada Hyker, agar pemuda itu bisa sedikit lebih serius dalam keheningan tersebut.
Bip!
Wajah avatar Aios muncul di layar meja sang penguasa, wajah seorang gadis muda yang begitu imut lagi menggemaskan. Sepantaran gadis berusia tujuh belas tahun dengan potongan rambut pendek dengan sedikit poni, lebih terlihat seperti pelajar Jepang zaman dahulu.
Pria tambun mengangkat kedua alis, ia merasa tidak meminta siapa pun untuk memanggilkan si Kecerdasan Buatan itu. Kalau pun mau, ia tinggal menyerunya saja via meja yang merangkap alat komunikasi di hadapannya sekarang itu.
Siapa yang mengaktifkan? Gumam sang penguasa di dalam hati. Ada sedikit kecurigaan di dalam pandangan pria tambun tersebut akan hal ini. Dharma-kah?
"Apa yang kau butuhkan, Aios?" dengus sang Penguasa Pangandaran merasa terganggu. "Aku tidak merasa membutuhkanmu saat ini."