"Pardon me, Sire," ucap Aios, bahkan avatar gadis imut itu terlihat seakan menundukkan tubuhnya pada sang penguasa Pangandaran. "Captain Dharma meminta persetujuan pengecekan ulang sistem pesawat," lanjut si kecerdasan buatan tersebut. "Apakah ini atas perintah Anda, Sire?"
Sang penguasa bertopang dagu, lantas menguap. Yaa, ia ingat pasti soal itu, satu jam yang lalu ia memang meminta sang kapten untuk memeriksa ulang semua hal di dalam kapal, meski ia tidak mengatakan harus mengecek soal peranti lunaknya juga.
Sang penguasa terkekeh. Dalam pandangannya, Dharma tak lebih dari anjing penggembala yang selalu mengikuti apa pun yang ia inginkan. Dan apa yang tengah dilakukan oleh Dharma saat ini, tidak lebih dari usaha menjilat tangannya demi selembar nyawa di badan.
"Izinkan saja," sahut si penguasa tambun acuh tak acuh.
"Baik, Sire," balas Aios. "Maaf telah mengganggu Anda."
Bip!
"Captain Dharma."
Suara manja Aios kembali terdengar di ruangan kokpit di mana Dharma, Hyker, dan sejumlah awak lainnya menunggu dalam ketegangan tak biasa.
"Bagaimana, Aios?" seru Dharma.
"Captain," tanggap Aios pula. "Sire mengizinkan Anda."
Dharma tersenyum atas kemenangan itu, akan tetapi tetap saja sang kapten tidak ingin berlaku gegabah. Bagaimana pun, sensor Aios akan terus bekerja, dan ia tidak ingin melepas genggaman yang hampir tercapai. Setidaknya, sampai kendali pesawat dapat dikuasai dan ia berharap akan ada seseorang yang mampu me-reset ulang program Aios itu sendiri nanti, atau pesawat antariksa ini akan selamanya berada dalam sistem manual. Dan itu, tidaklah terdengar bagus.
"Now, Aios," titah Kapten Dharma membusungkan dada. "Bisakah kau menonaktifkan FCU, kembalikan ke manual piloting?"
Lagi-lagi Hyker mendengus menahan tawa. Ya, ucapan dan mimik wajah sang kapten itu di matanya, tidak lebih dari membalas kekesalan pada Aios.
"Affirmative," sahut Aios yang tidak lagi mencurigai akan keinginan sang kapten kapal itu sendiri.
Blip…!
Sementara itu, Kapten Dharma dan yang lainnya menunggu dalam harap cemas yang kian membesar setiap detik yang berlalu. Menunggu sistem pesawat kembali pada kendali manual. Meski mungkin hanya butuh waktu sekejapan saja bagi Aios sendiri untuk menonaktifkan 'dirinya' sendiri, namun hal itu bagi Kapten Dharma sungguh terasa sangat lama.
Lima detik berikutnya, di sudut kiri atas layar besar di hadapan Hyker, panel PFD—Primary Flight Display—menyala hijau, pertanda fungsi autopilot telah dinonaktifkan. Dan itu juga berarti si kecerdasan buatan itu sendiri dalam kondisi 'mati suri'.
"Yan," Dharma menyentuh earphone di telinga kanannya. "Kau bisa memulainya."
Bip!
"Yup," sahut Ryan sembari mengutak-atik ghostfile.
Membawa file tersebut menyeberangi gadget di tangan Dharma, hingga ke komputer induk pesawat.
"Beri saya waktu lima menit," ujar Ryan lagi, seraya berusaha mengambil alih sistem keamanan dan pengawasan pesawat antariksa tersebut.
Hyker manggut-manggut, bertopang dagu, memerhatikan screenboard besar ruang kokpit itu. Ghostfile yang dimasukkan—pria yang belum pernah ia temui—Ryan, diatur untuk membelah diri. Menyusupi fungsi FCU, menjadikan guardsystem tak lebih sebagai inang, dan terakhir… menguasai penuh kendali akan FMGC.
Hyker terkekeh, mengacungkan jempol tepat di hadapan sang kapten. Kapten Dharma tersenyum menanggapi.
"Anda sudah siap, Pak?" tanya Ryan lewat perangkat di telinga sang kapten.
"One second," pinta Dharma pada Ryan.
Virtual screen kembali aktif di tangan sang kapten, menghubungkan beberapa orang sekaligus.
"Kalian bisa memulai," titah Dharma yang ditujukan kepada Indra, Jenie, dan rekan pengawas logistik mereka. "Doc, kau bisa berpegangan pada sesuatu?"
"Jahanam!" maki Dokter Kamal yang sedang berada di dalam ruang perawatan. "Jangan mengejekku, Dharma!"
Kapten Dharma terkekeh menanggapi makian Dokter Kamal, begitu juga Hyker yang bersiap menerbangkan pesawat tersebut. Hanya beberapa saat lagi, dan adrenalin dalam tubuh memompa gairah di dalam diri.
"Fraya, Guntur," lanjut sang kapten. "Standby!"
"Aye, Captain," sahut Guntur, dan terdengar melepas tawa di sisi sana.
"Here we go…" timpal suara Fraya pula. Juga, suara beberapa orang bersama wanita itu terdengar jelas oleh Dharma.
Lima menit dan Ryan harus mengurung dirinya sendiri dalam konsentrasi penuh. Ini adalah pertempuran terberat yang pernah ia lakukan—menaklukkan Aios si kecerdasan buatan pesawat antariksa milik penguasa Pangandaran.
Yuan menyadari jika Ryan tak hendak diganggu untuk jeda lima menit tersebut, apa pun yang dikerjakan pria berkacamata itu, Yuan berharap akan menjadi sesuatu yang baik, dan ia berdoa untuk itu. Yuan mengajak Xian meninggalkan keheningan Ryan, di ruang depan Naomi melambai pada keduanya, meminta mereka untuk bersiaga bersamanya.
Lima menit, dan itu terasa lima jam. Sepuluh jari tangan tak henti bergerak dinamis di atas virtual keyboard. Meski sudut bibir terangkat, sepasang mata tak sekali pun berkedip. Menaklukkan Aios adalah keharusan, jika memang ingin menggunakan pesawat di Pangandaran sebagai tumpangan—satu-satunya tempat berpijak setelah meninggalkan bumi.
"And… done!"
Nyaris saja Ryan melonjak kegirangan, keberhasilannya menaklukkan Aios satu prestasi tersendiri yang ia rasakan. Hanya butuh 'sedikit sentuhan' lagi saja untuk bisa membuat Aios menjadi rekan bagi mereka. Tapi itu bisa dilakukan nanti.
Sayang, tiada piala di sana, alih-alih kata sambutan atas keberhasilan laki-laki tersebut yang mampu membuat Aios berada dalam 'karantina' khusus. Ia meraba earphone di telinga.
Bip!
"Pak Dharma," seru laki-laki tersebut setengah menahan kegembiraan yang meluap-luap.
Kegembiraan yang harus ia tekan dan tunda, sebab kini semua tergantung pada Kapten Dharma. Akankah berhasil menerbangkan pesawat tersebut, atau justru berakhir di tangan para robot dan kaki-tangan Penguasa Pangandaran.
"Silakan."
"Yan," sahut Kapten Dharma pula. "Standby di sana!"
Sejenak, sang kapten menghela napas dalam-dalam. Lalu, begitu kedua mata terbuka lebar, ia berbicara langsung pada layar virtual di tangan kirinya itu.
"This is it," ujar sang kapten lagi, sementara itu semua orang menunggu dengan ketegangan yang sama. Menunggung perintah. "Let's take over this ship!"
Kericuhan terjadi di aula besar sesaat setelah Hyker mengaktifkan mesin utama pesawat. Beberapa orang yang tak sepemikiran berlompatan dari empat pintu utama pesawat—dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan. Sebagian besar, dihalau oleh Fraya, Guntur, dan rekan-rekan mereka. Sejumlah robot pun tak terkecuali.
Begitu Aios dalam kendali Ryan—nun jauh di sana—para robot tak lagi punya kuasa melawan kehendak Kapten Dharma. Memutuskan untuk mengurangi jumlah mereka adalah lebih baik, begitu pikir sang kapten.
Tanpa dapat dicegah, pesawat besar mulai terangkat dari landasannya.
Penguasa tambun mendengar bunyi mesin dan suara keributan di luar sana. Lantas bangkit dan tergesa-gesa menyingkap tirai, sepasang mata seolah copot dari rongganya mendapati jika pesawat yang susah payah ia beli itu sedang terlihat akan membumbung.
"Jahanam kau Dharma…!" Suara makian sang penguasa tambun menggelegar, memenuhi ruangan besar itu sendiri.
Bergegas sang penguasa keluar dari ruangan. Setengah berlari, meski sebenarnya ia sudah berusaha berlari secepat yang ia bisa. Hanya saja, tubuh yang besar nyaris seperti karung goni itu justru terlihat seperti tengah diseret-seret saja. Beberapa orang petugas bersenjata mengiringi langkah sang penguasa. Makian dan umpatan laksana curah hujan, menggema di sepanjang jalan.
"Hentikan mereka!" perintah penguasa tambun begitu berada di balkon lantai tiga yang menghadap langsung ke aula besar.