Chereads / SC45 - When the Terra Falling Down / Chapter 21 - Jangan Senang Dulu

Chapter 21 - Jangan Senang Dulu

Ratusan tembakan dimuntahkan saat itu juga. Bagi para pengawal—penjilat bokong sang penguasa—jika pesawat itu dibajak seseorang, maka kesempatan untuk meninggalkan Bumi akan hilang sirna. Meski mereka tidak akan menyangka sama sekali, jika sang penguasa hanya memberikan angin surga saja. Mengira membela orang yang benar, para pengawal mati-matian menembaki pesawat tersebut. Sebagian melompat ke badan pesawat, mencoba menghentikan entah siapa pun itu orang yang membajak pesawat tersebut.

Dan sebenarnya, tindakan mereka percuma saja. Selain badan pesawat yang tidak akan mungkin ditembus peluru dari senjata sekaliber di tangan mereka tersebut, andaikata pun berhasil menjatuhkan pesawat tersebut—dengan merusak mesin GEU di bagian bawah badan pesawat—kemungkinan besar pesawat akan mengalami kerusakan parah. Meski begitu, mereka tetap menembaki pesawat, lebih-lebih sang penguasa sendiri yang memerintahkan.

"Jahanam…!" maki sang penguasa lagi. "Tembaki mereka, jangan biarkan lepas landas! Goblok… Hancurkan saja!"

Sang penguasa meraih paksa senjata laras panjang seseorang di sampingnya begitu saja dari tangan seorang pengawal. Saking kesalnya, pengawal tersebut menjadi sasaran tembak oleh si penguasa.

"Tolol!"

Kekesalan karena tertipu oleh kapten pesawatnya sendiri, sang penguasa menembak membabi buta. Jika ia tidak bisa meninggalkan Bumi, tidak pula dengan Dharma juga yang lain, begitu sumpah sang penguasa di hati.

Para robot humanoid yang tidak terikat dengan program Aios bergerak cepat. Melompat dan bergelantungan di beberapa sisi badan pesawat. Program di tubuh mereka hanya bisa dihentikan bila guardsystem kastil itu sendiri dimatikan. Dan ini, merupakan masalah yang tidak kecil bagi Kapten Dharma dan kawan-kawan yang ada di dalam pesawat.

Empat pintu utama di sisi kiri dan kanan badan pesawat bergerak menutup, namun beberapa pengawal dan robot berhasil mencapai pintu tersebut. Fraya berada di pintu sisi kiri, dibantu beberapa rekan berjuang mati-matian menghentikan para pengawal dan robot. Pertempuran tak lagi bisa dihindari.

Begitu pula yang terjadi di pintu sisi kanan. Guntur dan setengah lusin rekannya berada di sana, menghentikan langkah orang-orang yang dipenuhi amarah tersebut.

"Jatuhkan mereka…!" teriak Fraya seraya berkutat mendorong seorang pengawal.

Guntur mengangkat tinggi sebuah peti aluminium, lantas melemparkan peti tersebut menyongsong seorang pengawal yang berhasil melewati pintu pesawat yang bergerak menutup perlahan.

Braakh!

Pria itu terjengkang, kepalanya terempas kuat ke lantai pesawat. Guntur kembali menerjang, begitu pula rekan-rekannya. Dua orang rekan terpelanting ke belakang, didorong kuat oleh satu robot.

Mati-matian Guntur dan kawan-kawan mendorong ke luar dua sosok robot dan tiga orang pengawal yang berada di sisi pintu yang ia jaga tersebut.

Begitu pula di sisi satunya lagi, Fraya yang dibantu empat orang rekannya sama saling dorong dengan para pengawal dan 'seorang' robot.

Satu per satu tubuh-tubuh berjatuhan dari mulut pintu di badan pesawat. Jatuh terempas kencang membentur lantai hanggar. Nahas, seorang pengawal yang masih mengerang sebab punggung terasa remuk membentur lantai dengan keras, lalu 'seorang' robot tahu-tahu terempas ke atas tubuhnya juga.

Meski mengalami luka gores dan lebam di wajah, namun Fraya dan rekan-rekan berhasil menghalau para pengacau yang bermaksud menghentikan aksi ia dan rekan dalam mendukung Kapten Dharma tersebut.

Begitu juga halnya dengan Guntur dan rekan-rekannya. Bahkan dari satu lobang hidung pria tersebut meleleh cairan merah kental akibat terkena pukulan 'seorang' robot yang ia dorong dengan sekuat tenaga. Kendati demikian, pergulatan di mulut pintu pesawat tersebut berhasil diatasi oleh Guntur dan kawan-kawan, meski seorang rekannya ikut terjun, terjatuh ke bawah lalu tertindih tubuh pengawal lainnya.

Rentetan tembakan belum mereda sama sekali. Semua mereka yang berada di mulut pesawat segera menyisi, berlindung dari peluru-peluru yang bisa saja menyasar mengenai tubuh mereka. Semuanya masih berjaga-jaga kalau-kalau ada pengawal atau robot yang kembali mencoba untuk memasuki pesawat tersebut, menunggu keempat pintu sama tertutup sempurna.

Empat pintu di dua sisi pesawat tertutup rapat. Mesin GEU semakin berdengung kencang. Perlahan namun pasti, badan pesawat semakin terangkat tinggi.

"Bangsat…!"

Makian penguasa tambun tertindih deru mesin, ia terus menembaki hingga magasin senjatanya kosong dan pesawat sebentar saja telah berada di ketinggian yang melewati ketinggian atap kastilnya. Sang penguasa menjerit panjang, seperti orang yang kehilangan akal.

"Kejar…!" titahnya kemudian.

"Nyaris saja," dengus Kapten Dharma berusaha menghilangkan kekhawatiran di dalam diri.

Hyker terkekeh sembari mengatur jalur terbang pesawat. "Santai Pak, jangan cemas begitu."

"Apa kau benar-benar menganggap ini—permainan? Game?"

Hyker tak mengacuhkan ucapan sang kapten, malah semakin tertawa lebar. Kapten Dharma menyerah, anak buahnya yang satu ini memang aneh, itu yang bisa ia simpulkan.

"Aktifkan interkom," perintah Dharma.

Blip!

"Guntur, Fraya…," panggilnya. "Kalian oke?" Kapten Dharma mengulas senyum, sorakan kegembiraan dari beberapa suara yang ia dengar menjelaskan hal yang diinginkan. "Indra, Jenie?"

"Never better Captain."

Itu suara Jenie di sela tawa gembira Indra dan beberapa suara lainnya. Dharma menarik napas lega.

"Doc, are you okay in there?"

"Say what you want!"

Hyker tergelak menanggapi kekesalan Dokter Kamal itu, dan Kapten Dharma tidak tahu harus berbuat apa lagi selain menahan tawanya.

Detik berikutnya, pesawat besar melesat ke arah barat, menjemput Ryan dan kawan-kawan. Yang lebih utama, Yuan Xi dan Xian. Lusinan chameleon dan jet tempur mengekor dengan melepas tembakan ke arah pesawat.

Kapten Dharma mengaktifkan senjata pesawat, terutama senjata-senjata besar di bagian belakang badan pesawat. Balas menembak para pengejar. Letusan dan ledakan mengiringi pengejaran tersebut, namun pihak Penguasa Pangandaran sepertinya tak hendak mengalah begitu saja. Jatuh satu, datang dua lainnya.

"Jangan terlalu berharap dulu," tegas sang kapten.

*

Aldi berjarak berpuluh kilometer lagi dari Sidamulih—di sisi pantai sebelah barat. Kejadian di Pulau Deli menjadi pelajaran lain bagi Aldi. Ia sudah menyerah soal windshield tunggangannya, lebih baik mengganti tunganggan jika memang memungkinkan. Di bengkel kedua orang itu tadi, Aldi tidak menemukan chameleon yang lebih baik dari miliknya.

Di bangku belakang, Ely terlelap di antara tumpukan makanan dalam berbagai kemasan dan ukuran. Stok makanan dan minuman juga memenuhi kedua bagasi chameleon. Dua ekor Uncia uncia pun pulas bersama Ely. Seekor berada dalam pangkuan gadis cilik tersebut, seekor lagi bergulung di dekat kakinya. Angin awal pagi yang menerpa sedikit bisa teratasi dengan kehangatan kedua tubuh anak macan tutul salju tersebut.

Aldi mendengus menyaksikan Ely. "Enak banget tidurmu."

Kembali chameleon ia pacu lebih cepat lagi. Aldi tidak tahu pasti ke mana tujuannya—setidaknya, belum. Untuk meneruskan niat ke Karanghawu, rasa-rasanya sudah tidak memungkinkan. Harga atas kepalanya yang tertera jelas di selebaran, sudah tersebar hingga ke Tanah Jawa. Dan itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Sekali lagi Aldi menoleh ke belakang, tarikan napas yang sangat dalam mewakili kerisauannya.

"Hahh, andai saja kau tidak ikut…"