Saat mencapai kawasan Karanghawu, Aldi mengarahkan tunggangannya menjauh dari sisi pantai—lebih ke tengah. Demi menjaga segala kemungkinan terburuk. Kondisi alam yang belumlah terlalu terang sebab sirat merah tembaga di ufuk timur baru akan menampakkan biasnya, menguntungkan bagi perjalanan Aldi.
Lepas dari kawasan Karanghawu, Aldi menghentikan chameleon di sisi sebuah bangkai kapal tanker. Aldi melepas auerbrille, mengusap wajahnya beberapa kali, dan akhirnya membangunkan Ely.
"Woi, bocah," serunya. "Bangunlah. Jangan tidur terus!"
Ely bangun setengah malas. "Apa?"
"Aku butuh sesuatu untuk menjaga tubuhku tetap terbangun," ujar Aldi, dahinya sedikit mengerut memandang Ely yang tak ubahnya seekor cacing yang menggeliat lambat, malas. "Agar kita tidak celaka," dengusnya pula. "Kau tahu?"
"Hemm…"
"Ahh, tidur aja kerja kau terus," semprot Aldi, geleng-geleng kepala. "Kafein. Buruan!"
Masih dengan malas Ely mengaduk-aduk tumpukan makanan dan minuman di hadapannya.
Ely menemukan satu kaleng minuman energi, menyerahkannya pada Aldi. Dan kembali ia membenahi selimut tebal di tubuhnya, memeluk anak macan tutul salju.
"Heh, jangan tidur lagi. Kita gak tahu apa yang bakal terjadi." Aldi mengernyit aneh menanggapi Ely yang mencibir. "Hahh, dasar pemalas!"
Puas mereguk cairan kekuningan di dalam kaleng dan membuang kaleng wadah minuman itu sendiri begitu saja, Aldi kembali melanjutkan perjalanan. Ia merasakan tubuhnya jauh lebih segar. Dan yang terpenting, sepasang mata. Ia belum tidur sekejap pun dari semalam.
Di belakang, Ely memang tidak melanjutkan tidurnya. Senjata jenis FN—pemberian Aldi—ia kokang. Ely telah memikirkan hal ini, jika ingin terus bersama Aldi, ia pun harus terbiasa dengan segala macam senjata dan kondisi di mana nyawa bisa saja menjadi taruhannya.
Dua puluh menit dengan kecepatan penuh, chameleon tunggangan Aldi dan Ely mulai mendekati kawasan Sidamulih. Dan sesuatu menarik perhatian keduanya—termasuk dua anak macan tutul salju.
Sebuah pesawat antariksa terlihat di kejauhan sana. Ada yang aneh dengan pemandangan itu, pikir Aldi. Pemikiran Aldi didukung pula oleh teropong, semakin Aldi menelisik semakin besar kemungkinan yang ada dalam kepalanya.
"Hei," Aldi menoleh ke belakang. "Kayaknya kita punya tiket. Get ready!"
Mesin chameleon meraung kencang, dan melesat. Penuh semangat, Aldi meluncur mendekati pesawat antariksa yang terbang rendah, jauh di depan sana.
Pesawat antariksa yang dilihat Aldi merupakan pesawat yang sama yang telah dibajak oleh Kapten Dharma dan kawan-kawan. Pesawat besar itu hendak menjemput anak dan istri sang kapten, juga Ryan dan rekan-rekannya, serta istri dan kedua anak Dokter Kamal.
Kenyataan beberapa sosok yang mengejar dan menembaki pesawat tersebut, seakan sebuah tiket untuk Aldi. Laki-laki itu unjuk seringai, ia sudah punya satu jalan keluar—setidaknya, demi menumpang gratis di dalam pesawat itu nanti. Well, setengah gratis, mungkin.
Dari bentuk, warna, serta beberapa simbol di kendaraan-kendaraan pengejar tersebut, Aldi sangat yakin itu seragam khas Pasukan Pangandaran, dan seseorang telah mengambil alih kemudi pesawat. Ditambah kenyataannya yang mengejar juga terdiri dari beberapa robot humanoid.
Aldi tersenyum miring, kembali menambah kecepatan chameleon-nya. "Kau bisa menggunakan PSG?" serunya pada Ely, tanpa berpaling.
"Kurasa, aku bisa," sahut Ely setengah berteriak.
Aldi memilih memberikan senjata laser itu pada Ely, dan ia sendiri akan menggunakan shotgun. Hentakan shotgun pastilah akan bisa menciderai Ely, jadi Aldi tidak ingin itu terjadi. Dengan cepat Ely menerima senjata pemberian Aldi, pistol FN di tangannya kembali ia serahkan pada Aldi.
"Jangan lagi ada teriakan," ujar Aldi dengan sedikit lantang. "Itu membosankan. Kau paham?" Meski tanpa menoleh, Aldi sangat yakin Ely mengerti ucapannya. "Biasakan dengan hal yang satu ini!"
*
"Get ready…!"
Kecemasan membayang jelas di wajah Ryan begitu pesawat besar terlihat di arah kiri. Sejak dua menit yang lalu, kedua tangan tak lagi disibukkan dengan gadget, berganti senjata berat.
"Mati berkalang tanah, atau hidup lebih lama lagi," sahut Boris.
Empat chameleon sama meraung meski tidak bergerak seinci pun. Yuan dan Xian berada di bawah pengawasan Yuma, diapit Ryan dan Cinnong di sisi kanan, sementara Naomi di sisi kiri bersama seorang wanita—istri Dokter Kamal. Dan Boris di belakang bersama dua orang anak sang dokter.
"Ingat guys…" seru Ryan lagi memberi instruksi. "Begitu pintu palka di buritan terbuka, kita segera meluncur." Semua rekan sama mengangguk mengerti. "Secepatnya!"
Ryan mengokang senjata, sementara di atas sana pesawat yang meluncur ke arah mereka diserbu tembakan orang-orang Pemerintah Pangandaran. Ia menyentuh earphone di telinga.
"Pak Dharma?" panggilnya.
"Ryan," sambut Kapten Dharma dengan cepat. "Kurasa tidak ada kesempatan untuk menghentikan pesawat ini meski hanya sebentar," lanjutnya pula dengan helaan napas berat. "Berusahalah untuk bisa mengikuti—akan kukurangi sedikit kecepatan," Dharma menepuk bahu Hyker. "Lima menit, atau kita akan mati bersama serpihan pesawat ini!"
"Roger that, Captain." Lalu, avatar Ryan di gadget Kapten Dharma menghilang.
Bip!
"Mama…" Xian menggigil dalam takut, letusan-letusan senjata yang sesekali dihiasi dengan ledakan-ledakan besar memperparah rasa trauma yang sudah ada sedari tadi.
Yuan menarik Xian ke dalam pelukannya. Ya, ia pun merasa hal yang sama demi menyaksikan pertempuran kecil yang mengiringi pesawat antariksa di ujung pandangannya itu, alih-alih memikirkan keselamatan sang suami di dalam pesawat itu sendiri.
"It's okay Honey. I'm here…"
Meski jelas ketakutan juga membayang di wajahnya, namun Yuan tidak ingin membiarkan hal yang sama lebih lama lagi menaungi diri sang anak. Pelukannya semakin dalam dan erat.
"I'm right here."
Yuma menghela napas dalam. Tidak kau saja yang ketakutan, gadis kecil… gumamnya di dalam hati. Setidaknya, Yuma sedikit merasa lega, ibu dan anak itu telah mengenakan sabuk pengaman. Dan ia tidak akan sungkan menggeber chameleon dalam kecepatan maksimum nantinya.
"Kalian takut?"
Boris mengumbar senyum pada kedua anak Dokter Kamal. Tidak ada jawaban dari keduanya, bagaimana pun, Boris melihat hal tersebut di wajah dan tubuh mereka. Boris terkekeh, meraih satu PSG dan menyodorkannya pada anak laki-laki Dokter Kamal—si sulung.
"Kurasa," kekeh laki-laki berdarah Batak itu. "Kau bisa menggunakan ini, hemm?"
Bocah laki-laki—Luka, 15 tahun—itu, sesaat ragu. Dari senjata di tangan Boris, pandangannya beralih ke wajah laki-laki tersebut. Sekilas, ia melirik sang adik—Miska, 10 tahun—di kirinya, sebelum akhirnya menyambut senjata yang disodorkan orang.
"Aku" ujar Luka, lalu menelan ludah. "Pernah melihat seseorang menggunakannya…"
Boris terkekeh lagi dan mengacungkan jempolnya kepada Luka. "Jaga semangat itu." Lalu, ia alihkan pandangannya kepada Miska. "Ayah kalian menunggu di dalam kapal itu." Telunjuk tangan kanannya terarah tepat pada pesawat antariksa di ujung sana. "Dan… bukan tubuh tak bernyawa—" telunjuk Boris menunjuk Miska dan Luka bergantian.
Seakan mengerti, Luka dan Miska sama mengangguk menanggapi ucapan si laki-laki Batak barusan itu.
Bantu kami, Tuhan, jika Engkau memanglah ada, lirih Boris di dalam hati sembari memandang pesawat di ujung dengan pandangan menyipit.