Pesawat antariksa dengan nomor besar—45 warna putih—di kedua sisinya menukik tajam. Tekanan medan magnet dari mesin GEU menerbangkan pasir dan debu ke udara. Senjata berupa senapan besar dan satu cannon—tepat di atas pintu buritan—tak henti-henti memuntahkan amunisi, mencoba menghentikan, menjatuhkan, atau sekadar menghalangi mereka-mereka yang mengekor. Dari puluhan pengejar hanya tersisa belasan saja, dan lebih didominasi oleh para robot humanoid.
Di dalam infirmaryroom Dokter Kamal tak henti-hentinya berdoa, meskipun ia bukanlah dari kalangan alim, setidaknya, ia terus berharap—bila memang Tuhan itu ada. Berharap pesawat yang ia tumpangi akan baik-baik saja, lebih-lebih terhadap keselamatan istri dan kedua anaknya.
Di ruang kontrol logistik. Indra dan Jenie tak sekali pun menjauhkan pandangan dari monitor besar di hadapan mereka masing-masing. Pengawasan pada item pendukung kehidupan mereka nanti. Lima rekan wanita mereka yang lain, duduk dalam hening pada kursi yang menempel ke dinding, terikat sabuk pengaman.
Ruang mesin kedua, sisi bagian belakang atas. Fraya berjibaku menangani pekerjaan yang tertunda, bersama rekan teknisi lainnya. Begitu juga yang terjadi di ruang mesin utama, bagian bawah lambung pesawat. Guntur dan rekannya bertahan dari gerakan badan pesawat yang menukik tajam. Berpegangan pada rantai-rantai yang menggantung, sebagian lagi bergelantungan pada jaring dari jalinan tali-tali tebal. Sementara, perangkat kerja dalam beberapa toolbox, kabel-kabel dan potongan-potongan pipa berhamburan.
"Hyker," seru Kapten Dharma. "Kuharap kau bisa serius untuk yang satu ini," lanjut sang kapten sembari satu tangan terfokus pada joystick di lengan kursinya, dan tangan lainnya mengutak-atik layar di hadapan.
Hyker terkekeh, meskipun begitu, tak sedikit pun sepasang mata teralihkan dari monitor FMGC di hadapannya. Dua tangan mengendalikan arah laju pesawat dengan setir leter W yang tergenggam erat.
"Meski permainan sekali pun," timpal Hyker, satu seringai muncul di sudut bibir. "Tidak akan mungkin kulakukan setengah-setengah, Captain."
"Bagus!"
Sementara itu, dua orang lainnya—satu pria dan satu wanita—pun melakukan hal yang sama dengan sang kapten. Mengendalikan persenjataan yang ada di kedua sisi badan pesawat. Dan seorang wanita lagi tengah mengawasi monitor besar, mendeteksi kalau-kalau ada kerusakan yang cukup berat dialami pesawat akibat serbuan Tentara Pangandaran.
Tidak satu kepala pun yang tidak berpikir keras di dalam pesawat tersebut. Tidak ada sepasang mata pun yang tidak sibuk mengawasi keadaan; layar monitor, sistem perlindungan pesawat, suplai kehidupan untuk bekal mereka nanti, obat-obatan yang berderik-derik dalam botol yang bergesekan di ruang perawatan, kunci-kunci yang berdenting berjatuhan. Semua tegang sebagaimana sang kapten itu sendiri.
Pesawat besar terbang rendah, sepuluh detik berikutnya Hyker memaksa pesawat menikung tajam, hingga posisi moncong pesawat sekarang mengarah kepada para pengejar. Bersamaan dengan itu Dharma mengaktifkan dua cannon yang berada di moncong pesawat. Debu-debu semakin membumbung tinggi dan tebal menutupi pandangan.
"Ryaaan…!" teriak Dharma seiring gerakan tangannya yang melepas tembakan dua cannon.
"Go-go-go…!" seru Ryan memberi komando.
Empat chameleon meluncur cepat menuju buritan pesawat yang pintunya dalam keadaan bergerak membuka.
Hyker menahan laju pesawat, mundur perlahan, memberi kesempatan pada keempat chameleon memasuki palka.
"Kapten…" jerit Hyker sesaat kemudian. "Aku tidak bisa menahan lama!"
"Goddamnit!" makian sang kapten setidaknya perintah bagi Hyker untuk berusaha semampunya. "Tembak terus…!"
Dua rekan lainnya sama menanggapi perintah sang kapten dengan tembakan membabi buta. Rentetan peluru-peluru kaliber besar mengubah drastis kondisi sekitar.
Jalanan berlubang-lubang, debu-debu semakin mengepul tebal, bangunan-bangunan terdekat yang tak berdosa hancur berantakan.
"Oryza…!" teriak Kapten Dharma di sela kesibukannya mengarahkan tembakan dua cannon besar.
"Ketahanan pesawat sembilan puluh sembilan persen, Kapten!" jawab wanita—29 tahun—yang mengawasi dampak kerusakan pesawat akibat tembakan para pengejar tersebut lewat monitor besar di hadapannya.
Tembakan demi tembakan memperparah ketakutan di diri Yuan dan Lucy, lebih-lebih pada anak-anak mereka, Xian dan Miska. Sedangkan Luka, meski ketakutan namun tetap memberanikan diri. Insting untuk melindungi sang adik mengambil alih pikiran dan tubuhnya. Satu chameleon yang ditumpangi tiga tentara Pangandaran berhasil ia lumpuhkan, terhempas dan tertabrak oleh chameleon lainnya.
"Seseorang…" titah Kapten Dharma. "Bersiap di pintu buritan!" teriakannya bergema, tidak saja dalam ruang kokpit, tapi juga ke seluruh ruangan di dalam pesawat. "Fraya, Guntur!"
"Aye, Captain!"
Suara keduanya didengar Dharma via interkom. Dharma sunggingkan senyum tipis, jawaban serempak dari kedua anak buahnya itu menambah sedikit keyakinan di dalam diri.
"Hancurkan mereka…!" perintah sang kapten lagi dengan semangat membara.
Sementara itu, Fraya yang berada di ruang mesin atas bergegas turun, menuju pintu buritan. Begitu juga dengan Guntur, dan ia masih menyempatkan diri untuk menginstruksikan pada rekan-rekannya agar mengawasi bagian mesin yang lebih rentan.
Cinnong memposisikan tunggangannya ke sisi kanan buritan, memberi keleluasaan bagi Ryan untuk membidik antek-antek pemerintah.
"Masuk cepat…!" perintah Ryan dengan garang, senjata kelas rifle di tangan tak henti-hentinya menghamburkan peluru-peluru tajam.
Chameleon yang dikendarai Naomi dengan membonceng Lucy, lebih dahulu memasuki palka. Istri Dokter Kamal itu menjerit-jerit menyeru kedua anaknya yang berada di chameleon yang dikendarai Boris.
Boris harus berjibaku dengan 'seorang' robot. Ketegangan barulah sedikit menghilang di wajah Lucy saat tembakan Naomi menghancurkan sisi kiri kepala sang robot. Boris dengan kedua anak Dokter Kamal urutan selanjutnya yang berhasil memasuki palka.
"Mama…!" Xian menjerit kencang saat 'seorang' robot berhasil melompat dan berpijak di kepala chameleon di hadapan Yuma.
"Honey!" Yuan semakin mendekap sang anak.
Yuma menembakkan senjata PSG besar di tangannya, namun gerakan robot humanoid tersebut selangkah lebih cepat. Dengan tangan besinya, robot tersebut menjebol dan menghancurkan kepala chameleon. Mencabut paksa sejumlah kabel dan komponen chameleon itu sendiri. Laser biru pendek yang ditembakkan Yuma, memaksa tubuh sang robot menggelinjang hebat, dan jatuh bersamaan tergulingnya chameleon tunggangan Yuma ke tanah. Xian menjerit histeris. Yuan tak melepas pelukannya terhadap Xian.
Klank-klank!
Brakk—zerrtt…!
"Mama…!" Xian menjerit lagi, ketakutan setengah mati. Berguling-guling di atas tanah di dalam pelukan sang ibu.
Yuan melenguh pendek saat tubuhnya terempas kencang ke permukaan tanah, namun pelukan pada tubuh sang anak tak sedikit jua mau ia lepas.
"Guys…!" jerit Yuma meminta pertolongan.
"Yumaaa…!" Cinnong memutar chameleon, mendekati Yuma yang berusaha lepas dari himpitan tunggangannya.
Ryan melompat turun dan langsung mencoba mengangkat badan chameleon yang menindih sebelah kaki Yuma. Begitu juga dengan Cinnong, namun wanita yang satu ini mendekati Yuan dan Xian.
Baru setengah jalan usaha keduanya membantu rekan mereka, empat chameleon telah mengepung keduanya. Meski mendapat bantuan tembakan dari Boris dan Naomi, termasuk dari si bocah Luka dari palka pesawat. Tapi itu tidak berarti banyak, bahkan dengan tambahan bantuan Fraya dan Guntur, sebab dari posisi mereka berdiri cukup sulit membidik para robot tersebut.