Di Bumi…
Seorang pria dengan pakaian lusuh dan kumuh tengah mengorek-ngorek sampah yang menumpuk di atas permukaan laut. Gelombang-gelombang kecil yang mengayunkan tumpukan sampah sejauh mata memandang tidak menggoyahkan pijakan kaki pria tersebut. Ia terus mengumpulkan barang-barang yang bisa ia jual nanti.
Sesekali matanya berpendar mendapati kepingan-kepingan papan sirkuit yang dipenuhi komponen-komponen elektronik.
"Mungkin ini akan berharga," gumamnya seorang diri, dan memasukan papan sirkuit yang berjumlah lima unit itu ke dalam tas pingang yang sama dekilnya dengan tubuh laki-laki itu sendiri.
Pria itu kembali meneruskan kegiatannya, membolak-balikkan beberapa kepingan-kepingan papan, dus-dus usang. Kembali sepasang mata berbinar cerah kala menemukan sebuah botol kaleng. Botol kaleng yang masih tertutup rapat dan meninggalkan sedikit label kertas di badan kaleng itu sendiri.
Ia mengusapnya dengan tawa menyeringai di wajah. Benar, itu sepertinya kaleng makanan. Tawanya mengumandang, meski nyaris tak terdengar, memamerkan deretan gigi yang ompong di sana-sini. Usianya tidak terlihat terlalu tua untuk mengalami masalah gigi ompong, tapi mungkin saja itu bekas pukulan seseorang.
Si pria memasukkan kaleng makanan tersebut ke dalam karung yang ia bawa. Semakin bersemangat mengorek-ngorek sampah membusuk yang bertebaran membentuk daratan baru di atas permukaan air laut. Tiada menghiraukan bau busuk yang menyertai.
Jauh di dasar laut yang kumuh. Di sela-sela di antara banyak kerangka-kerangka makhluk laut raksasa yang ratusan tahun lalu pernah ada dan hidup di Bumi, sebuah celah retakan terbentuk tiba-tiba. Celah retakan mengeluarkan gelembung-gelembung besar. Berdesis dengan rona kemerah-merahan.
Celah retakan yang awalnya hanya kecil seukuran beberapa meter saja, tiba-tiba semakin memanjang dengan disertai suara patahan yang menggidikkan. Semakian panjang, seakan seekor ular raksasa yang besar sedang melata di dasar lautan.
Hewan-hewan laut yang tersisa—dan kebanyakannya dari bangsa krustasea—berhamburan, menjauhi celah retakan yang bergerak semakin melebar. Dan setiap bagian dari retakan itu sendiri bergerak berlawanan arah.
Bangsa-bangsa krustasea itu mungkin dapat menghindat dengan cepat, namun tidak bagi bangsa moluska, utamanya mereka yang dari jenis yang merayap di dasar lautan. Begitu celah terbentuk, dan semakin lebar, makhluk-makhluk tersebut terperosok ke dalam celah retakan yang memerah bersamaan dengan sisa-sisa karang yang telah lama mati. Memerah sebab aktifitas tungku magma di pusat Bumi beraktifitas seratus kali lebih cepat dibandingkan di hari-hari sebelumnya.
Retakan semakin melaju cepat, berkejaran dalam kecepatan yang sulit untuk diukur. Lalu, pada beberapa titik, celah retakan terbagi menjadi dua bagian. Seolah sebuah pedang dari Malaikat Kematian yang menggores dalam dasar lautan.
Pergerakan dari retakan itu terus menjalar berbagai pelosok belahan Bumi lainnya di dasar laut. Lempeng-lempeng tektonik yang berada di dasar lautan di kawasan negeri yang dulu bernama Indonesia seakan mengumbar kesabaran mereka selama ini terhadap anak keturunan manusia dalam bentuk amuk kemarahan.
Lempeng Laut Filipina dan Lempeng Pasifik bergerak seolah dua raksasa yang terbangun dari tidur panjang mereka. Dan itu mempengaruhi lempeng benua yang juga mengapit wilayah Nusantara, Lempeng Eurasia alias Lempeng Paparan Sunda dan Lempeng Indo-Australia alias Lempeng Paparan Sahul.
Akibatnya, satu gempa bawah laut tercipta. Sangat besar, dan itu memancing gempa lainnya untuk muncul. Di seluruh penjuru dunia, air laut seakan tertarik ke tengah-tengah.
Pria yang sedang mengorek-ngorek tumpukan sampah terkejut, sebab pijakan kaki terasa dihela tangan mahabesar. Daratan yang tercipta karena timbunan sampah itu seolah melesak turun jauh, sangat jauh.
Lalu, kepala-kepala semua orang yang saat itu berada di atas hamparan yang sama, sama tertuju ke arah laut lepas.
"Apa yang terjadi?" gumam pria itu seorang diri, ia bergegas meraih karungnya, dan memanggul ke belakang punggung.
Hanya saja, menit-menit berlalu dan mereka sama tidak melihat ada keanehan lainnya. Sebagian besar dari para pemulung tersebut kembali melanjutkan aktiftas mereka. Termasuk, pria yang tadi menemukan makanan dalam kaleng kemasan.
"Aah, mengagetkan saja," kekeh pria tersebut. Mungkin hanya gempa biasa, pikirnya.
Mereka tidak menyadari bahaya apa yang segera akan mengintai. Tidak mereka, tidak pula jutaan lainnya orang-orang di seluruh penjuru dunia yang kebetulan sedang melakukan hal yang sama dengan pria yang berada di wilayah eks negara Indonesia tersebut. Mengais-ngais sampah demi makanan yang mungkin saja bisa mereka temukan di tepian pantai.
Akibat pengaruh pergerakan semua lempeng tektonik dan lempeng benua yang yang seakan kompak untuk bertindak dalam pergerakan yang sebentar lagi saja akan memusnahkan semua bentuk kehidupan di muka Bumi—setidaknya, makhluk-makhluk kecil lainnya mungkin akan selamat, tapi tidak bagi manusia itu sendiri. Seluruh gunung-gunung berapi aktif satu per satu terjaga. Lalu meletus. Menyemburkan bara merah menyala ke udara bersamaan muntahan asap hitam tebal yang menutupi pandangan.
Gempa-gempa dahsyat tercipta. Mengguncang seluruh permukaan kerak Bumi yang ada. Mereka-mereka yang tinggal jauh di tengah daratan sana kocar-kacir. Histeria yang sungguh memilukan untuk sekadar dilihat atau didengarkan.
Gedung-gedung usang nan menjulang, runtuh. Runtuh saja belumlah cukup, tapi juga menimpa bangunan-bangunan lainnya. Menimpa mereka-mereka yang tak sempat untuk melarikan diri. Well, sebenarnya memang tidak punya tempat untuk dituju demi menyelamatkan selembar nyawa di badan.
Raung kesakitan, jerit kematian, bercampur baur dengan gemuruh bangunan-bangunan pencakar langit yang tumbang. Kastil-katil indah, istana-istana megah tiada kuasa sedikit pun menahan gempuran alam. Roboh, tumbang, dan hancur rata dengan permukaan tanah yang seolah bergelombang, hidup dan bergerak.
Peristiwa serentak yang terjadi di setiap belahan Bumi itu semakin diperparah dengan lesatan-lesatan bebatuan vulkanik yang dilemparkan oleh kawah-kawah gunung yang meletus. Pijar-pijar lahar memerahkan beberapa sudut Bumi. Mengalir bak anak sungai tanpa bisa dikendalikan.
Celah-celah retakan juga tercipta di permukaan daratan, dan sialnya itu semua dibarengi dengan semburan gas yang berdesis kencang. Gas beracun yang mudah terbakar, sehingga terlihat seperti cacing-cacing kematian dari neraka yang mengejar langkah orang-orang yang lari berserakan. Mati terlempar sebab semburan gas yang ganas, atau terperosok dan lalu terbakar meleleh.
Sama saja.
Yang mereka tidak tahu—mungkin tahu, tapi tidak berdaya—adalah ke mana pun langkah kaki membawa diri, selalu menemui kematian mengerikan di ujung langkahnya.
Seakan belum cukup untuk menyiksa segala bentuk kehidupan di atas semua bidang tanah yang ada, Bumi kembali memberikan teror paling mematikan yang dipunya…
Pria tadi yang mengais makanan di antara sampah menggunung memang tidak merasakan gempa yang terjadi di daratan, sebab ia berpijak di atas permukaan sampah yang mengapung di atas lautan, dan itu sepanjang sejauh mata bisa memandang. Berjarak, dua-tiga kilometer dari bibir pantai yang sebenarnya. Ditambah, ayunan ombak di bawah pijakan mereka, tentu gempa tidaklah bisa merasa rasakan. Mungkin perihnya perut yang lapar adalah satu-satunya yang bisa mereka rasakan saat ini.
Namun, semuanya berubah. Seseorang berteriak kencang sembari menunjuk ke arah lautan lepas. Lautan itu sendiri, tak bisa lagi untuk disebut biru alih-alih indah. Tapi hitam dengan segala racun kimia yang menghiasi permukaan airnya.
Si pria memandang pada seseorang yang berteriak tersebut, begitu juga dengan orang-orang yang mendengar teriakan itu. Namun, sebagian dari mereka berpikiran jika laki-laki tersebut hanyalah mencari perhatian. Mungkin dia tidak menemukan satu pun sisa makanan di antara tumpukan sampah membusuk di sana itu.
"Kasihan…" kekeh si pria itu kemudian, menyeringai memamerkan deretan gigi ompong yang kehitaman. "Bukan urusanku."