Mas, aku mau jalan-jalan keluar sebentar aja." mohon Naura pada suaminya.
"Tapi kamu kan lagi hamil. Nanti kalau bayi kita kecapean gimana?" ujar Iqbal yang merasa khawatir. Kehamilan istrinya itu sudah 5 bulan, jadi wajar dia sangat protektif. Terlebih lagi, bayi itu adalah anak pertama mereka.
"Enggak. Aku pelan-pelan kok jalannya,"
"Tetep aja ka-"
"Ayolah, Mas. Anak kamu lagi ngidam jalan-jalan. Kamu mau anakmu ileran?" mohon Naura. Iqbal menghela nafas panjang kemudian dia berjalan keluar.
"Mas mau kemana?" tanya Naura penasaran.
"Katanya mau jalan-jalan." jawab Iqbal tanpa mengalihkan pandangannya. Naura sangat senang. Sudah bosan dia sehari-hari di rumah terus. Dengan jalan perlahan senbari memegangi perutnya, Naura menghampiri Suaminya yang sudah berada di mobil.
Sesampainya di dalam kendaraan roda empat itu, Naura mengangkat sudut bibirnya lebar-lebar. Hal itu membuat Iqbal ikut tersenyum.
"Setiap hari dong kaya gitu," ucap Iqbal.
"Kalau mas selalu nurutin permintaan aku, aku bakal senyum setiap hari kok." balas Naura.
"Apa coba permintaan kamu yang Mas enggak turutin," lafal Iqbal.
"Iya-iya. Mas, kita jalan-jalan aja dulu ya, nanti aku yang nentuin mau kemana."
"Let's go!" kata Iqbal semangat.
Iqbal dengan segera menjalankan mobilnya. Naura membuka kaca mobil kemudian menghirup udara segar. Hidupnya sekarang sangat bahagia. Dunia seolah-olah hanya miliknya dan juga Iqbal.
"Nanti kamu mau kasih nama anak kita apa?" tanya Iqbal.
"Mmm... Enggak tau. Aku belum mikirin. Inikan baru lima bulan,"
"Gimana kalau bayi kita cewek, kasih dia nama Milan Farren Elysia. Kalau cowok, Arkata Kevino. Pendapat kamu?" Iqbal bertanya tanpa menoleh ke Naura.
"Bagus, tapi kenapa kamu tiba-tiba ngerekomendasiin nama? Aku kan lahirannya masih lama, Mas." Naura mengernyit heran.
"Iya, aku tau. Kali aja, aku enggak bisa dampingin kamu waktu persalinan nanti." lafal Iqbal dengan raut tenang.
"Emang Mas mau pergi kemana? Kalau Mas mau pergi, aku ikut!" seru Naura di akhir kalimat. Sejak kemarin, Suaminya itu bertingkah aneh dan sikap protektif yang berlebihan. Namun, Naura tidak menanggapi serius hal itu. Dia berpikir bahwa Iqbal ingin bayinya sehat. Itu saja.
"Kamu enggak bisa ikut, Sayang. Nanti yang ngurus anak kita siapa?"
"Ya, kita berdua lah. Kamu kenapa sih, Mas? Kok kaya gitu ngomongnya?" Naura balik bertanya. Dia merasa kesal atas sikap aneh Iqbal.
"Kamu emangnya mau pergi kemana? Jangan buat aku sedih dong," ucap Naura seraya melengkungkan bibir merah mudanya.
Iqbal sekilas menengok. Seketika dia gemas dengan ekspresi Naura. Ingin sekali dia mencubit pipi cubby istrinya, namun tidak bisa. Mengingat ia sekarang sedang menyetir.
"Jangan ngambek gitu dong," bujuk Iqbal. Naura tetap diam dan detik kemudian, air mata menetes dari kedua kelopak matanya.
"Eh, malah nangis sih, entar bayinya ikut sedih. Kamu mau?"
"Habis kamu sikapnya aneh banget sejak kemarin. Aku kan jadi khawatir," balas Naura sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Iqbal memilih untuk menepi.
"Kenapa kita berhenti di sini?" Naura kebingungan.
Iqbal melepas sabuk pengaman yang dikenakannya. Setelah itu, ia mengubah posisi duduknya untuk menghadap Naura. Telapak tangannya mengelus perut buncit Naura. Naura dibuat terenyuh. Ia bisa melihat cinta tulus yang kuat dari kedua mata Iqbal.
"Yang sehat ya, Nak. Ayah selalu berdoa semoga suatu saat nanti, kamu bisa jadi anak yang baik," kata Iqbal. Naura memandang Suaminya dengan mata berkaca-kaca. Dia berfirasat kalau Iqbal akan pergi. Tapi, Naura menempik pikirannya itu.
Agar tidak kelihatan dirinya meneteskan air mata, Naura berpaling muka dan membuka kaca mobil. Manik cokelat terpusat pada sebuah toko yang berdiri kokoh di sebrang jalan sana. Naura tiba-tiba ingin sekali ke tempat itu.
"Kamu liatin apa?" Iqbal penasaran.
"Kita ke toko itu yuk," ajak Naura mendadak.
"Toko yang mana?" mata Iqbal mencari-cari maksud tempat yang diucapkan istrinya.
"Yang dindingnya warna coklat trus modelnya kaya klasik-klasik gitu." tangan Naura menunjuk-nunjuk toko itu.
Mendadak kening Iqbal yang tadinya mengerut kini kembali seperti semula. "Oohh... itu,"
"Iya! Ayo kita kesana, Mas." mohon Naura seraya merangkup lengan kekar Iqbal.
"Iya, sayang." balas Iqbal. Ia membenarkan posisi duduknya, memasang sabun pengaman dan kedua tangannya bersiap untuk menyetir.
Sembari memutar arah mobilnya, Iqbal menoleh ke kanan dan ke kiri untuk waspada jika ada mobil lain. Untung saja keadaan jalan sepi mungkin hari ini hari senin dan juga sudah memasuki jam kerja.
Selepas mereka sampai, Iqbal turun membukakan pintu mobil untuk istrinya. Senyum merekah kembali muncul di wajah cantik Naura.
"Wah, rame banget orang yang ke sini." takjub Naura setelah melihat keramaian toko.
"Sebelum masuk, ga-"
"Gandeng dulu tangan Mas biar aman," sambung Naura yang sudah hafal kata-kata Iqbal.
Mereka berdua saling menatap, Naura terkekeh disusul dengan Iqbal.
Saat memasuki toko itu, Iqbal dan Naura langsung disambut oleh seorang wanita muda berawakan tinggi dan ramping.
"Selamat datang di toko antik Senawai," ujar Wanita itu. Naura tersenyum singkat.
"Anda mau kami tunjukkan rekomendasi barang-barang antik terbaik?" lanjut Wanita itu bertanya.
"Boleh," jawab Naura.
"Silahkan ikuti saya," ujar Wanita itu.
Iqbal tampak ragu dengan toko yang sedang dia pijak saat ini. Orang-orang di sekitarnya tampak sedikit pucat dengan raut muka yang datar.
"Yang, kita enggak ke tempat lain aja?" Iqbal bertanya dengan lirih karena merasa tak enak.
"Enggak. Aku sebelumnya belum pernah ke toko kaya gini. Turutin untuk sekian kalinya ya, Mas. Ini permintaan bayi kita," jawab Naura berbisik. Jika sudah menyangkut bayinya, Iqbal tidak bisa menentang.
Mereka berdua diajak melihat barang-barang antik dan Wanita yang mengantar mereka tak lelah untuk menjelaskan dengan detail setiap benda yang ada di sana.
Kedua netra terpumpun pada sebuah komputer yang terletak di sudut toko.
"Kalau komputer itu, asalnya dari mana?" tanya Naura tiba-tiba.
"Itu milik seorang penulis terkenal pada tahun dua ribu. Tapi karena penulis itu tiada, maka komputer miliknya disimpan di sini."
"Dibeli boleh enggak?"
"Tentu,"
"Mas! Beli ya," seru Naura meminta.
"Buat apa sayang? Kita kan udah punya komputer di rumah," tolak Iqbal secara halus.
"Ini permintaan anak kamu lho, Mas." lagi-lagi Naura memfitnah jabang bayi yang berada di perutnya.
"Pokoknya enggak."
"Mas, kamu enggak kasihan sama anak kita? Aku denger dari teman-temanku kalau suaminya pada perhatian dan selalu nurutin apa yang mereka minta. Sedangkan kamu? Kamu sama sekali enggak." dongkol Naura.
Iqbal menatap Naura sejenak.
"Beli komputer itu." lirih Iqbal, tapi masih bisa didengar oleh Naura.
Naura berseri-seri.