Chereads / Jika Itu Kamu / Chapter 5 - *Patung*

Chapter 5 - *Patung*

Jari telunjukku mencoel bahu wanita menor itu. Dia tak bergeming sekalipun. Aku heran dibuatnya. Pandangannya juga kosong. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada wanita itu? Aku tidak menyerah begitu saja. Kuguncang-guncangkan badannya, namun dia seperti patung yang melekat kuat dengan lantai. Aku panik.

Aku menjauhkan diriku darinya. Ku langkahkan kakiku turun untuk ke lantai bawah. Aku melihat pemandangan yang mengejutkan. Mereka semuanya... mereka yang ada di ruangan itu terlihat seperti patung! sama seperti wanita menor tadi.

Langkahku terhenti. Aku bingung harus kemana. Apakah mereka semua manusia?

Tidak. Aku tidak boleh tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benakku. Aku seharusnya mencari jawaban dan tak berdiam diri. Dengan mata yang tetap melihat ke arah orang-orang yang mematung, aku melangkah hingga sampai di pintu. Jantungku berdetak cepat. Sungguh! aku sangat ketakutan tadi.

Setelah keluar, aku cepat berlari meninggalkan rumah itu. Siapapun, tolong lah muncul! Aku tidak akan kembali ke rumah itu. Tidak akan!

Melelahkan sekali. Setelah berlari entah berapa meter, aku memegangi lutut seraya ngos-ngosan. Setidaknya, sekarang aku lega sudah jauh dari rumah dan orang-orang aneh itu. Aku mendudukkan diri di tepi jalan, entah kenapa keadaan di sekitarku sepi sekali. Mungkin semua sedang tidur siang.

Aku melihat warung di sebrang sana. Berhubung aku haus, aku berjalan ke warung itu. Sesampainya di sana, keadaannya sangat sepi sekali. Apa penjualnya tertidur? atau pergi?

"Halo..." aku menyusuri ke dalam warung. "Aku mau membeli sesuatu. Adakah orang di sini?" hasilnya nihil. Tidak ada jawaban.

Aduh. Perutku serasa melilit sekali. Aku sudah tidak bisa menahan rasa laparku. Ya Tuhan, maafkan Hamba-Mu ini. Tangan ku mengambil sebungkus roti. Saat aku hendak membuka bungkusannya, mendadak kepalaku terasa sakit. Suara decitan begitu keras menggema di telingaku. Roti yang aku pegang, kontan jatuh. Aku memejamkan mata, namun suara decitan itu makin keras. Ku putuskan untuk membuka mata. Samar-samar aku melihat tiga bintang. Aku barusan salah lihat kan? Mana ada bintang di siang bolong ini?

Saat aku akan menyentuh bintang itu, tubuhku tertarik seperti ada magnet yang menarikku. Aku berteriak sekencang-kencangnya.

"Kak Lala! Buruan! Udah mau masuk nih!" aku mengenal suara itu. Ya! Suara itu adalah suara Lysti.

Aku terkejut bukan main. Kenapa aku sekarang sudah berada di tempat lain? Bukannya aku tadi berada di warung?

Aku hendak bertanya ke Lysti, namun lagi-lagi lidahku terasa kelu.

"Iya-iya." ucapku di luar kendali diriku sendiri. Aku begitu terheran-heran. Kenapa lidahku berkata apa yang tidak aku inginkan?

"Ryon udah nunggu kakak di sekolah lho!" Lysti berseru. Aku akan menjawab 'enggak nanya', tapi kenapa rasanya susah sekali?

"Iya kah? Apa dia akan menemuiku?" astaga! lagi-lagi lidahku...

"Tentu saja!" Lysti membalas dengan semangat. Tangannya memegang tangan kananku.

Lysti tersenyum padaku dan memandangiku dengan wajah berseri-seri. Aku ditarik oleh Lysti ke dalam kelas. Aku menurut.

"Aku sudah menunggumu dari tadi. Kenapa kau begitu lama sekali?" begitulah pertanyaan Ryon padaku. Aku tidak menyukai Laki-laki itu. Seragam atas yang dikeluarkan, sebungkus rokok yang dimasukkan ke saku seragam dan nafasnya yang berbau nikotin sangat menggangguku sekaligus membuatku ingin muntah. Namun anehnya, aku malah memegang tangan Ryon.

Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku? kenapa tubuhku bertindak di luar keinginanku?

AUTHOR POV

Mila tertarik ke dunia novel yang dibuat oleh ibunya sendiri. Semua tindakan, perkataan dan nasib Mila ditentukan oleh penulis. Mila bisa saja berpindah waktu dalam kurun waktu yang cepat. Saat suatu adegan telah selesai, semuanya akan menjadi patung kecuali, Mila.

Di dunia novel, Mila berperan sebagai Lala. Lala adalah Gadis yang mempunyai hidup penuh air mata. Tidak ada celah bahagia untuknya. Semua orang bersikap baik dan penuh kasih sayang di depannya. Namun saat di belakang, semua orang bekerja sama untuk 'menusuknya'.

Sementara Mila sedang kebingungan berada di dunia asing baginya, Naura kini cemas karena anaknya belum pulang padahal hari sudah larut malam. Manik cokelatnya tak henti menatap jendela dengan penuh harap.

"Mila belum pulang?" Lita menyentuh pundak Naura. Kontan Naura terbuyar dari fokusnya. Dia menghela nafas.

"Apa kita enggak nelfon polisi aja?" usul Lita.

"Enggak bakal direspon, Bu. Mila belum hilang dua puluh empat jam," Naura tertunduk dalam. Ada rasa penyelasan yang mendalam bersarang di hatinya.

"Ya udah. Kita tunggu sampai besok. Tapi sebelum itu, kamu tidur Nak. Angin malam berbahaya," Lita mengerti apa yang dirasakan anaknya sekarang. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menghentikkan cucunya pergi.

Naura menghembuskan nafas panjang. Tanpa berkata apapun, ia berjalan ke kamarnya. Lita menutup jendela rumah. Angin kencang menerpa di wajah wanita paruhbaya itu. Lita berdoa semoga saja cucunya pulang dengan keadaan baik-baik saja.

Dini hari, pukul 04.00

Naura kini bangun lebih awal. Dia akan memasak sendiri untuk Mila jika Gadis itu datang nanti pagi. Naura sudah tidak sabar. Dia ingin melihat wajah anaknya, ingin melihat Mila tersenyum, ingin Mila menyalimi tangannya saat akan berangkat sekolah. Naura menginginkan kehadiran Mila. Dia sangat merindukan anaknya. Naura akui, dirinya memang sibuk dan mengabaikan Mila. Ternyata benar kata pepatah yang Naura dengar. Pepatah itu berbunyi 'Sesuatu akan terasa sangat berarti jika telah hilang'.

"Mamah akan lebih perhatian ke kamu, Mil." lirih Naura.

4 jam berlalu...

Makanan yang dimasak Naura sudah dingin. Kecemasan Naura semakin menjadi. Dia mondar-mandir tidak jelas sembari menggigit kuku jari telnjuknya. Beribu-ribu pikiran negative muncul di dalam benak Naura. Dia bahkan dari tadi tak mau menyantap makanan apapun sebelum Mila pulang.

Tangan Lita menyentuh bahu Naura. Naura langsung menoleh dan menatap ibunya dengan tatapan sendu. "Bu..."

"Ibu tau. Sebaiknya kita ke rumah temannya Mila. Siapa tahu aja dia ke nginep di sana," saran Lita.

"Tapi aku enggak tau alamat rumah temennya," kelopak mata Naura mulai berkaca-kaca. "Ibu tau alamatnya?"

Lita menggeleng.

"Ke sekolahnya. Nanti kita tanya temen-temennya yang ada di sana,"

Ya! itu adalah tindakan yang tepat. Naura segera menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap.

***

Keadaan sekolah sangat ramai. Bel istirahat sudah berbunyi 3 menit yang lalu. Ada yang membeli jajan di luar sekolah, ada murid yang sedang jahil pada temannya dan ada juga yang sedang bermain bola basket.

Melihat itu, Naura jadi teringat Mila. Bersama dengan ibunya, ia berjalan ke kantor sekolah. Mereka berdua tak luput dari pandangan semua murid yang ada di sana.