"Tuh, apa gue bilang. Suruh mandi agak sorean biar nggak masuk angin, bebal sih!"
Arka membalas tatapan Brian dengan malas. Memang siapa yang membuatnya spot jantung karena ucapan cabul dari mulutnya? Jamahan tapak tangan Brian yang lancang, juga pertunjukan tak senonoh yang di tampilkan tanpa konfirmasi. Memangnya tak menjadi semacam mimpi buruk yang dengan mudahnya di hilangkan dalam ingatan? Bahkan Arka sampai menggosok seluruh tubuhnya dengan kasar, berharap menutup keusilan Brian yang sudah keterlaluan. Tidurnya bahkan seperti dihantui hanya karena pergerakan kecil Brian di sampingnya.
Bukan semacam trauma atau jijik berlebihan, hanya saja Arka merasa risih. Lagi pula fase ini sering terjadi sebelumnya.
Sedikit pun tak menanggapi Brian, Arka kembali meringkuk di atas meja, keributan kelas berusaha ditulikan.
"Kenapa lo malah ngomel-ngomel, dah? Brisik tau!"
Selama berjalannya pelajaran, Arka malah memejamkan mata dengan bantalan jaket Brian. Kepalanya terus berdenyut, sementara pangkal hidungnya seperti tersumpal sesuatu hingga membuatnya tak bisa bernapas dengan benar. Tak benar-benar menyelam ke alam mimpi, sampai ia bisa merasakan usapan pelan tanpa henti di kepalanya.
Kringgg
Sampai akhirnya suara bel berbunyi membuatnya tersentak. Dengan mata sayu yang begitu merah, lantas perlahan mengangkat pandang ke arah jarum jam di atas kelas. Arka tak tahu pasti berapa lama ia membungkuk dengan posisi tak nyaman itu, yang pastinya sudah cukup membuat punggung dan lehernya kaku.
Jam setengah sepuluh, waktunya istirahat, dan Arka yang tak mendapati Brian di sampingnya. Malah empat orang siswi yang tergesa mendatanginya dengan mimik wajah terlalu mencurigakan.
"Eh, kalian tuh couple an hoodie, ya?"
"Huh?"
Demi apa pun, nyawa Arka belum sepenuhnya terkumpul setelah sekejap jatuh ke alam mimpi, dan langsung di desak pertanyaaan yang tidak jelas? Lagi pula siapa mereka?
"Atau lo pinjem punyanya Brian?"
Nah, ini yang di khawatirkan Arka selama ini, semua orang jelas mengira ia yang tak modal dan hanya mengandalkan pinjaman dari Brian. Memangnya tampangnya sememelas itu di bandingkan Brian, ya?
Awas saja, Arka benar-benar serius untuk tak mengizinkan Brian mengutik barang-barangnya lagi atau bahkan sekedar berbagi ranjang.
"Kyaa...! Itu jaketnya Brian."
Saat Arka masih sibuk dengan kekesalannya sendiri, ia malah kembali di kejutkan dengan suara tinggi melengking yang mengejutkan telinga.
Satu gadis memekik histeris, sembari menunjuk jaket yang di kenakan Brian yang di buntal alakadarnya di atas meja. Apa yang salah dengan itu? pikir Arka, yang setelahnya makin mengerutkan dahi saat kumpulan gadis itu berjingkrak pergi tanpa pamit, persis seperti jailangkung.
Iseng mengikuti arah perpindahan mereka, yang setelahnya bersemayam di sudut lain belakang kelas dengan topik pembicaraan yang terkesan mencurigakan. Anehnya, Arka baru menyadari jika dirinya punya teman sekelas se tidak jelas mereka?
"Hahaaa..." Sesekali tawa terbahak membuat rusuh suasana.
Arka sampai menggelengkan kepala, yang kemudian menggerutu, "Pada sinting tuh cewek-cewek."
"Ada apaan?" Suara Brian tiba-tiba saja menyahut, membuat perhatian Arka teralihkan. "Mereka ganggu? Mau gue suruh diem?"
Arka hanya menggelengkan kepala, sementara Brian yang mengusap surainya lantas duduk di tempatnya. Zaki dan Yuda menyusup masuk, dan memutar posisi kursi supaya menghadap ke belakang.
"Nih, kita bela-belain nggak caper di kantin demi nemenin lo."
Arka baru sadar, kalau Brian membawa baki yang berisi dua mangkuk mie ayam berserta teh.
Seperti yang menjadi favorit Arka, Brian memberikan mie yang di pesan begitu lembek, juga teh hangat yang di benci.
Arka menunjukkan wajah memelasnya, meminta tukar minuman yang terlihat begitu menyegarkan dengan bulir tetesan air di luar gelas, tapi sayangnya Brian terlalu menjadi pengatur.
"Ye... Bukannya lo yang nggak tegaan ngebiarin Arka sendirian ya, Bri?" timpal Zaki yang mulai melahap makanannya.
"Sttsst, brisik lo!" Brian membungkam, sembari memelototkan matanya pada Yuda ikut meledeknya.
Tapi entah mengapa, mendapati kerepotan Brian untuknya membuat Arka merasa senang.
"Perhatian banget? Ada maunya?" bisik Arka tepat di depan telinga Brian.
"Ya kali mau pegang-pegang lo lagi."
"Trus?" Arka menghilangkan tarikan dua sudut bibirnya, Brian yang menoleh padanya, terlalu mendekat sampai-sampai hembusan napas mereka bertabrakan.
"Rasa bersalah. Sama khawatirin lo yang udah kayak bola kristalnya dukun, sensitif banget."
Arka lantas terdiam tak mengerti harus merasa bersyukur atau malah ketimpa kesialan karena di dekatkan dengan Brian yang super ajaib. Di satu sisi menyebalkan, serta saat di butuhkan selalu siap menjadi garda terdepan.
"Kok malah ngelamun? Bingung kenapa bisa temenan sama gue yang super cakep? Tapi sayangnya natap gue nggak bikin lo kenyang, Ar."
Brian menyodorkan sumpitnya, dan Arka yang tanpa sadar patuh membuka mulut. "Abis makan, trus minum obat, supaya cepet sembuh."
Dan Arka lagi-lagi menurut. Ya, memang tak ada salahnya, karena demi kebaikannya sendiri, kan? Toh, keadaannya sudah lebih baik.
Waktu yang begitu singkat untuk mengisi perut, karena empat puluh lima menit setelahnya terdengar suara bel berbunyi. Satu per satu dari siswa pun kembali memasuki kelas, sementara Brian yang mulai seenaknya sendiri memerintah teman sekelasnya untuk mengembalikan mangkuk mereka berempat, malah belum bayar lagi.
Seorang pria paruh baya dengan gaya jadul potongan rambut klimis yang di sisir ke bagian samping pun memasuki ruangan. Kompak di pandu salam penyambutan yang di balas dengan begitu kaku.
"Nama saya adalah Pak Anton, wali kelas kalian untuk satu tahun ke depan. Sehubungan dengan pembelajaran yang mulai efektif, maka dari itu di butuhkan struktur kelas supaya segalanya berjalan dengan tertib." Tiba-tiba saja beliau mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dengan netra menyipit tajam.
... Saya rasa untuk tatapan bangku butuh di rubah, pastinya untuk semakin mengakrabkan kalian."
Brian yang mendengarnya respon mengintrupsi. "Nggak setuju pak, soalnya kan kita duduk di kelas asal nyaman, biar betah di kelas, kan?"
"Seperti yang saya bilang, untuk lebih mempererat persatuan dari kelas kita."
"Tapi akan lebih membuat gaduh saat rekan diskusi kita di letakkan saling berjauhan, kan?" Brian mendebat, sementara sebagian dari siswa yang setuju hanya mengangguk ragu.
Sementara Arka yang lebih tidak peduli, saat tiba-tiba saja Pak Anton- wali kelas mereka menulis satu per satu nama di papan tulis, membuat denah tempat duduk.
"Pokoknya harus di turuti. Salah satu dari kalian jangan lupa salin denah ini, ya!" putus Pak Anton yang anehnya langsung mengemasi barang-barangnya dan melarikan diri keluar kelas.
Mereka pun patuh, lekas berpindah sesuai aturan meski pun dengan menggerutu.
Sialnya untuk remaja pria yang seperti menduplikasi tampilan jadul dari wali kelas mereka yang sama sekali tak profesional. Setelah letih dengan berlari kencang demi tak terlambat masuk kelas karena perintah Brian, malah di hadapkan kesialan berulang karena harus bertukar tempat duduk dengan Brian.
"Berani pindah, habis lo sama gue!" peringat Brian dengan suara menyengal ganasnya. Jelas membuat siswa yang berdiri dengan meringkuk tubuh itu makin bergetar ketakutan.
"Ya trus, a-aku gimana?"
"Cari tempat lain kan bisa."
"Yah... Kalo aku ikut di marahin sama pak Anton nanti, gimana?"
"Masa bodo!"