"Jadi lo beneran minggat dari rumah, cuman karena pengen motor baru?" pekik Yuda dengan suara akhirnya yang melengking.
"Hahah..." Ya lekas saja di sambut tawa oleh yang lainnya. Bagaimana tidak, geng onani meper sudah jelas singkatannya garang. Anggapan kuat, disegani, dan populer karena kuasanya sejak zaman sekolah menengah pertama tak bisa di ragukan. Tapi seketika hal itu disirnahkan dengan satu kenyataan dari satu personil mereka, Brian yang manja dan menuntut keinginannya dengan ancaman kekanakan, tak akan pulang sebelum tunggangannya berevolusi.
"Woy, udah kali ketawanya." Brian sewot, berusaha membungkam satu per satu mulut dari ketiga kawannya yang tengah meledek.
"Abisnya lo kekanakan banget, pakek ngancem minggat dari rumah kalo nggak di turutin kemauannya," sambar Zaki.
"Haha... Mang bayi tua, dasar manja!" Arka ikut-ikutan sembari menoyor kepala Brian.
"Trus aja ketawain gue. Mang lo pada sukanya zolim sama gue. Doa orang teraniaya tuh manjur ya, di azab nggak bisa mingkem nyahok lo pada."
"Ye, malah ngumpat. Dahlah Bri, terserah lo mau seberapa kenakannya. Tapi bisa nggak, ancaman lo nggak ngelibatin gue? Seenggaknya jangan terlalu rutin nginep di rumah gue. Demi ya, gue rindu banget tidur ngangkang nguasahin kasur," sambar Arka dengan penuh permohonan.
Brian yang mendengar kabar rawan lenyapnya basecamp ternyaman pun kelimpungan. Langsung saja meloncat pada Arka, menangkup ke dua tangan kawan tercintanya itu.
"Ayolah ar... Gue belum dapetin yang gue mau, terus gue musti tinggal di mana? Lo tega liat gue ngemper di jalanan?"
"Hemm... Liat aja, Zak. Mereka berdua emang mencerminkan sahabat sejati, saling menemukan manfaat dari masing-masing." bisik Yuda mengomentari.
"Boleh aja, tapi lo tau maunya gue, kan?" ucapan Devan sudah bisa di tebak oleh Yuda dan Zaki. Sementara Brian yang di hadapkan pada pilihan sulit, hanya menggaruk belakang kepala dengan tarikan kedua sudut bibirnya kaku.
Jelas Brian mengerti kode mata dan garis penekanan dari ucapan Arka tentang sebuah "Keinginan". Mereka seolah sudah menyatu, suasana hati yang tengah di rasakan satu sama lain juga sudah di kuasai.
Tapi sekali lagi, Brian tak bisa menolak permintaan Arka meski pun nyawanya akan terancam. Kembali ke kediaman mewah yang sudah sangat lama tak disambanginya. Ya, apa lagi kalau bukan untuk sebuah rencana.
"Kalo bukan karena Arka, mana mau gue di cap mesum. Nguntit sama laki, lagi."
Jepret
.
.
.
Tringg
Sementara sebuah bunyi notifikasi menyita perhatian Arka. Menoleh pada posisi ponsel menyala di atas kasurnya, lantas beranjak dari cermin panjang yang menampakkan keseluruhan tubuh basahnya yang hanya terbalut handuk dari batas pinggang sampai atas lutut.
Matanya terbelalak, lingkar hitamnya hampir jatuh menggelinding saat sebuah objek tampil di layar kecilnya.
"Shit...!" umpatnya dengan raut wajah memerah dan binar penuh kebahagiaan. Tumpuan kakinya lemas, seketika limbung dan jatuh ke atas busa empuk.
Netranya masih tak sedikit pun beranjak dari ponsel, sementara jari telunjuknya menunjukkan pemujaan dengan menjejak turun tampilan sosok di bidang layar yang terus berusaha di perbesar.
Nino di sana, dengan earphone yang menyumpal lubang telinga. Dengan kepala menunduk, pandangannya nampak terfokus pada sebuah buku.
Arka bisa menyakini jika Nino saat itu begitu berkonsentrasi. Dengan posisi tubuh yang menghadap pembatas kaca. Pantulan terang dari berkas sisa matahari yang mulai menyingsing, berwarna kemerahan. Membelakangi jepretan kamera dengan garis wajah sedikit menoleh dan membuatnya nampak begitu tegas. Dalam posisi di intai, nampaknya Nino memang begitu seksi dalam setiap gerak-geriknya.
Apa lagi yang bisa membuat Arka gila? Karena hanya dengan satu gambar bisa memuaskan rasa penasaran dan pikiran mesumnya. Nino bertelanjang dada, menunjukkan garis tulang belakangnya yang menyambung sampai batas celana yang menggantung di pinggang terbentuknya.
Arka bahkan sudah mulai pusing, aliran darahnya terburu-buru naik dan meningkatkan suhu tubuhnya. Otaknya yang bahkan sedikit pun tak ingin berhenti, gambaran mesum terus di layangkan.
Bagaimana jika tubuh kecilnya yang tak sebanding dengan pria lain itu di dekap Nino? Berbagi keringat dengan debar jantung yang saling berlomba cepat? Sementara gairah yang mulai ikut campur, dan Arka yang akan terkungkung tak berdaya di bawah Nino? Sial! Apa lagi setelahnya?
Arka yang saat terjerat dalam angan bahkan sudah menjatuhkan ponsel miliknya. Mata terpejam dengan garis senyum merekah penuh kebahagian. Tubuhnya beralih tengkurap, tak mempedulikan belitan handuknya yang terlepas. Arka menekan wajahnya semakin dalam, tak melupakan pula melupakan penanganan di bagian bawahnya yang mulai memberontak.
Bagaimana cara menangani "adik kecil" nya? Masih harus menyentuh miliknya sendiri.
.
.
.
"Napa makin hari jantung gue kayak jumpalitan ya? Bukanya apa, takutnya organ vital juga jadi anjlok trus gue tamat cuman gara-gara mandangin nih, foto."
Melupakan kejadian malam yang mencerminkan betapa gila cintanya, Arka yang terbangun keesokan harinya dengan tubuh telanjang dengan jejak kemesuman hanya bisa menggumam.
Rasanya awal paginya begitu menyenangkan, Arka bahkan sudah terlalu bersemangat mengganti foto latar tampilan awal ponselnya dengan milik Nino, masih tak hentinya terkesima.
"Badannya bagus banget, kira-kira tipikalnya Nino gimana, ya?"
.
.
.
"Hai, kawan ku tersayang... Emm-muach!"
Arka bangkit dari tempatnya, menyambut Brian yang baru datang dengan ciuman basah di pipi. Bekas saliva bahkan tertinggal di sana, Brian yang masih tercengang tak kunjung mengusapnya.
"Emph.. Kyaa...!" Jangan tanyakan tentang bagaimana respon siswa di kelas mereka. Sebagian hanya pura-pura memaklumi kedekatan intim sebatas sahabat, sementara tak sedikit dari mereka yang tak bisa menahan diri dengan pekikan berbagai macam ekspresi.
"Woy-woy! Lo mimisan, jangan nyengir mulu." Sudah pasti kelakuan fujo yang tak siap mendapatkan serangan mendadak, untung tidak pinsan di tempat.
"Tumbenan nih gue dapet cipokan? Biasanya juga muke sepet lo doang kalo lagi liat gue, Ar." gerutu Brian setelah tersadar.
"Du-duh... Diem dulu deh bacotan lo, ya... Mendingan sekarang lo duduk. Dari muke lo yang udah kayak orang lagi sakau, gue tau sekarang lo lagi kelaperan, kan?"
Arka yang sampai membimbing Brian untuk menempati posisinya dengan nyaman. Menepuk bahu pria itu beberapa kali dengan senyum terlalu lebar, yang setelahnya di suguhi kotak bekal berwarna pink.
Brian meneguk air liurnya, singkat tercium aroma menggugah selera yang masih tertutup rapat. Lantas terburu-buru membuktikan sesuatu di balik wadah kecil dengan warna menggelikan itu.
Wah.. yang ternyata memang menu sarapan lengkap khas dari kediaman Arka.
"Gue nggak lagi ngimpi dapet kawan sebaik lo yang sekarang, kan?" heran Brian yang masih berusaha tersadar dari dugaan mimpi, menampar pipinya sendiri sampai beberapa kali.
"Emang biasanya sebagai temen lo, gue gimana?"
"Rame sih, tapi lo nggak jelas, suka berubah ubah suasana hati kayak cewek lagi pms."
"Gezzz...!" Arka mendesis, sementara tangannya reflek terangkat, namun hanya terhenti di udara.
"Eh, ampun..."
"Woy, nggak mungkin gue main tangan sama kawan gue sendiri, kan?" Arka beralasan, mengganti desisan jengkelnya dengan tawa renyah. Yang kemudian bantu melap sendok dengan tisu, diberikannya pada Brian.
Arka yang masih menunggu dengan tatapan pengawasannya, satu lengan menyangga kepala. Bagaimana tak makin membuat Brian ngeri?
Walau sedikit ragu, meski pun akhirnya Brian tetap menyuap makanannya.
"Gimana, enak?"
"Y-ya, enak. Mak lo kan yang masak?"
"Kalo gue yang masak, udah pasti gue kasih sianida. Opps! Nggak deng, lo kan kawan terbaik gue." ralat Arka yang kemudian merangkul Brian dengan begitu mesra.
Ya, ini memang sudah tak wajar. Mustahil Arka memperlakukannya dengan begitu berlebihan. Bahkan Brian seperti lebih percaya dengan ucapan kejam kawannya itu.
Brian melempar sendok, lantas menyentak lengan Arka yang melilitnya. Sedikit memutar badan, yang kemudian menatap kawannya dengan tudingan tegas. "Ngomong yang jujur, sebagai ucapan terimakasih buat yang semalem, lo mau apa lagi dari gue?"
"Binggo! Lo cerdas banget."
Yang sialnya Arka yang bersikap baik terang-terangan untuk menipu Brian.
"Gue nggak mau muluk-muluk kok, tapi gue emang butuh bantuan lo lagi."
Brian memutar bola mata, lantas menatap Arka yang cengengesan dengan malas. "Paan?"
"Bisa ambil gambarnya Nino dari depan, nggak? Kalo bisa yang versi original aja."
"Bangsat, maksud lo foto telanjangnya bang Nino? Buat jadi bahan col*?"