Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 57 - 56. Namanya Nevan

Chapter 57 - 56. Namanya Nevan

Remaja laki-laki itu tertegun, hatinya terenyuh mendengar semua yang dikatakan Gina. Bahunya meluruh, tidak setegang beberapa waktu lalu. 

Benar, apa yang dikatakan gadis di seberangnya benar dan telak masuk ke dalam hatinya. 

"Tapi mau gimana lagi?" Remaja laki-laki tersebut menaikkan volume handphone miliknya. Ia memejamkan mata sembari mendengarkan apa yang Gina katakan.

Hatinya merasakan kelegaan serta beban yang selalu ia angkat sendiri perlahan sperti kehilangan beratnya. Beberapa kalimat dari gadis ini, sungguh membuatnya merasa tidak sendiri merasakan tekanan masalah soal sang ibu dan dirinya.

"Mau ngelarang pun, kita selalu kalah sama alesan kenapa mereka harus mentingin kerjaan daripada seorang anak yang harusnya dikasih kasih sayang berlimpah." Gina maupun laki-laki itu tersenyum tipis, bukan senyum bahagia tetapi senyum miris penuh kesedihan.

"Juga, mereka mikir kalau dengan mereka kerja itu udah termasuk ngasih kasih sayang ke anaknya, bukan?" Kali ini laki-laki tersebut membuka suara. Memberikan respon bahwa apa yang Gina ucapkan dapat dengan mudah ia mengerti.

"Padahal gua orang kaya, semisal cuma ayah yang kerja pun, nggak bakal mungkin tiba-tiba gua jadi orang miskin," gumam lelaki itu yang masih bisa didengar oleh Gina.

Dalam hati gadis itu bersyukur karena ayah laki-laki di seberang telepon ternyata masih ada di dunia.

Tidak seperti dirinya.

Sang Mama bekerja, karena hanya wanita itu lah yang menjadi tulang punggung keluarga Adhitama. Walau sebenarnya, jika Mamanya itu tidak bekerja, semua harta waris yang ditinggal oleh Papa mereka sudah lebih dari cukup untuk menghidupi mereka semua.

"Nah~ dan lu mau tau apa lagi yang jadi alesan kenapa mereka merasa kalau ninggalin kita kerja itu nggak papa?" ucap Gina menyambung topik.

"Apa?" tanya remaja di seberang telefon penasaran.

"Karena mereka ngerasa kalau kita udah gede. Mereka ngerasa kalau remaja nggak perlu lagi bimbingan atau kasih sayang kayak waktu kita kecil dulu." Remaja laki-laki itu terenyuh ketika mendengar suara Gina bergetar.

"Nyatanya, remaja itu transisi dari anak menuju dewasa. Dimana pada saat itu kita ngerasain rasanya kebingungan akan jati diri sendiri," Gina mulai terisak. Mengingat kedua kakak kembarnya yang sekarang ini belum pulang.

"Bingung, sebenernya apa yang kita lakuin ini bener nggak sih? Kalau kita jatuh cinta, seharusnya kayak gimana biar nggak terjerumus sama hal-hal buruk? Gimana cara bersikap, ngendaliin diri, dan ngatasin semua rasa sakit, rasa pengen tau, dan semuanya."

"Kita harus gimana kita nggak tau. Ketika kebingungan itu melanda, yang kita rasain itu rasa tertekan, stress. Dan yang kita butuhin cuma," Gina menjeda ucapannya, menarik nafas dalam agar rasa sesak di dadanya menghilang.

"Sandaran dari orang tua, seorang pendengar yang baik yang bisa ngasih solusi yang benar buat anak-anaknya."

"Tapi Mama gua, bunda lu, malah nggak ada disaat kita butuh. Disaat kita kebingungan, disaat kita tertekan. Kita butuh pengertian juga, bukan cuma anak yang harus ngerti gimana kondisi atau perasaan ayah-ibunya." 

Suasana kembali hening, Gina sudah tidak terisak. Gadis itu menangis dalam diam, sedangkan remaja laki-laki di seberang telepon terlihat sedang mengernyitkan kening agar apa yang tengah ia tahan keluar dikarenakan rasa sesak di dalam dada.

"Tapi balik lagi, nggak semua orang tua kayak gitu. Gua yakin di luar sana masih banyak orang tua yang ngerti gimana perasaan anak-anak mereka. Ngerangkul, ngasih kasih sayang, dan ngabarin setiap saat kalau lagi jauh-jauhan." perjelas Gina.

"Hei, lu pasti tau kan, ada satu lagi yang bikin kita bisa ngeyakinin diri juga alesan kenapa lu sama gua nggak bisa nolak secara gamblang keputusan bunda or Mama buat kerja?" 

Remaja laki-laki tersebut tersenyum, tahu bahwa gadis di depannya pasti akan menjawab apa yang ada di pikirannya saat ini.

"Tau," balas Gina.

"Apa?"

"Karena gua percaya, kalau Mama punya alesan kenapa lebih milih kerja daripada diem di rumah ngurus anaknya padahal uang buat kita hidup itu cukup. Dan--" Gina menggantungkan ucapannya, kembali memijat pangkal hidung yang terasa pening.

Ish, kenapa rasa sakit ini terus berlanjut semenjak dirinya terkena serangan panik karena Viona, sih? pikir Gina merasa sebal.

"Gua yakin kalau Mama punya pengalaman dan beban yang lebih berat daripada gua. Cuma nggak diceritain aja, itu kenapa gua selalu berfikir kalau ada banyak alesan di balik pilihan orang tua tentang milih kerja atau milih ngurus anaknya di rumah."

"Semua orang tua pasti mau yang terbaik buat anaknya, tapi kadang orang tua nggak semua tau gimana perasaan anak-anak mereka yang sesungguhnya," sambung Gina lirih.

Remaja laki-laki itu tersenyum dengan sangat lebarnya, ia seperti menemukan sebuah obat. Obat akan rasa sakit yang selama ini ia rasakan tentang kedua orang tuanya. 

Ia seperti tidak merasakan rasanya kesepian lagi, karena ada seseorang yang tau segala fikiran dan bagaimana perasaan di dalam hatinya. Semua yang dikatakan oleh Gina benar-benar seperti apa yang dipikirkannya.

Dia seakan menemukan potongan puzzle yang hilang di dalam tubuhnya, dan gadis itulah merupakan pelengkap. Gadis itulah kepingan puzzle yang kosong di hatinya.

"Makasih," ujar si remaja laki-laki tulus. Ia tidak pernah setenang ini setelah berbicara dengan seseorang. Tapi, semuanya berubah semenjak gadis di seberang telepon miliknya mengeluarkan kata-kata yang terus meluncur masuk ke dalam dirinya.

Gina yang sedang sibuk memijat pangkal hidung seketika menghentika kegiatan. Hatinya bergetar mendengar nada tulus yang sangat lembut masuk ke dalam relung hatinya.

Akan tetapi, Gina segera membuka mulut ketika mengingat sesuatu yang juga ingin ia ucapkan kepada si remaja kurang kasih sayang yang hampir sama dengan dirinya ini.

"Oh iya, soal lu yang ngebentak bunda lu, itu salah. Lu salah. Abis telfon ini selesai, lu beneran harus minta maaf sungguh-sungguh sama bunda." Remaja laki-laki tersebut seakan sadar, ia baru ingat bahwa masih ada permintaan maaf yang belum tersampaikan kepada ibunya.

"Iya, bakal gua lakuin, makasih." Untuk kedua kalinya remaja laki-laki tersebut mengucapkan terima kasih setelah mendapatkan sesuatu yang bernilai baik untuknya.

"Hm ... tapi gua ngerti sih kenapa lu bisa sampe kelepasan kayak gitu." Gina menghela nafas kasar, tenggorokannya semakin sakit nyaris tidak bisa mengeluarkan suara yang lebih besar dari sebuah lirihan.

"Ngerti?" bingung lelaki tersebut.

"Iya, ngerti. Waktu itu lu lagi ada di titik jenuh, atau istilahnya kayak batas kesabaran diri lu sendiri. Ya, semua orang pasti ngerasain titik jenuh mereka masing-masing, yang ngebedain cuma gimana orang itu bisa ngatasin dan ngendaliin diri pas ada di titik itu."

Setelah itu, Gina terbatuk. Tenggorokannya sudah berada di batas akhir karena hari ini tidak menyentuh air barang setetes pun, ah Gina mulai merasa menyesal tidak meminum teh hangat yang dibuat oleh Gino tadi pagi dan malah memecahkan gelasnya.

"Lu nggak papa?" Nada cemas dari laki-laki di seberang sana membuat Gina tersenyum.

"Nggak, gua lagi nggak baik-baik aja. Dunia lagi mukul gua sekeras-kerasnya buat yang kedua kali. Mungkin bentar lagi gua bakal pergi." 

"Hush ... jangan sembarangan kalau ngomong." Remaja laki-laki yang tadi berbaring di atas kasur dengan segera mendudukan dirinya. Terkejut atas apa yang Gina ucapkan di akhir kalimatnya.

"Terserah," balas Gina lemah. Bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Untungnya karena volume yang laki-laki tersebut besarkan sebelumnya, jadi dengan mudah dapat mendengar gadis itu berbicara meski terdengar sangat kecil.

"Lu yakin nggak papa?" Cemas, sungguh remaja itu sangat khawatir akan keadaan gadis yang bahkan belum ia ketahui namanya.

Gina hanya menggumam untuk membalas, sesaat ketika remaja laki-laki itu ingin mengatakan sesuatu lagi, notifikasi baterai hp yang akan habis menyentak dirinya.

"Hei, kalau ada apa-apa gua mohon sama lu, hubungi aja nomor ini." Remaja laki-laki tersebut panik, kenapa disaat seperti ini baterai hp ini bahkan tidak mencapai angka dua persen?

"Oh iya, nama gua Nevan."