Chereads / BOND : The Story' of Triplets and Love / Chapter 58 - 57. Hutang Janji

Chapter 58 - 57. Hutang Janji

Kedua mata Gina terasa sangat berat, ia tidak bisa menahan lagi segala rasa sakit yang ada di tubuhnya. Beberapa detik sebelum sambungan telfon dengan anak laki-laki yang diketahui bernama Nevan, Gina berkata,

"Lu nggak perlu tau siapa gua. Gua cuma bisa berharap suatu saat nanti, lu sama orang tua bisa deket lagi kayak waktu lu kecil," Untuk kesekian kalinya, Nevan tertegun.

Ia bergegas berlari mencari charger yang entah berada dimana. Panik, dirinya masih ingin berbicara dan menolong 'gadis salah sambung' yang sudah berhasil memahami hatinya.

"Gua juga nggak mau kita ketemu lagi." Seluruh pergerakan Nevan terhenti, dirinya membeku saat telinganya mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh gadis di seberang telepon.

"Selamat tinggal, anak baik."

Dan sambungan telfon terputus.

Nevan menggeleng kuat, ia menatap ke arah handphone dengan layar yang menghitam. Lidahnya kelu, mendengar ucapan selamat tinggal dari gadis yang menenangkan hatinya cukup membuat Nevan tidak bisa bergerak.

Bahkan ia belum mengucapkan terima kasih atas semua yang gadis tersebut ucapkan.

Ia menghela nafas ketika mengingat bahwa gadis yang ada di seberang telfon tadi sedang sakit, bahkan terselip kata-kata jika gadis tersebut sangat ingin meninggalkan dunia. Nevan menyugar rambut frustasi.

Tidak, tidak bisa seperti ini. Dirinya harus melakukan sesuatu untuk bertemu dengan gadis mengesankan tersebut.

Sebelah tangan Nevan yang digunakan untuk memegang handphone miliknya, terkepal. Meremas kuat benda yang baru saja ia pakai untuk berkomunikasi.

"Tunggu gua, gua bakal cari lu dimana pun. Tapi gua mohon, jangan pergi sebelum gua bisa ketemu sama lu, gadis baik." 

Nevan terdiam sejenak bersama tekadnya, dengan nafas teratur ia berfikir. Mengulang semua yang gadis itu tuturkan di seberang telepon.

"Kalau ngebohongin diri sendiri tuh, dosa nggak sih?"

*****

"Ukh ... " Lenguhan pelan dari seorang gadis yang kini sedang berbaring di atas kasur berhasil mengisi ruangan sunyi yang disebut-sebut sebagai kamar.

Perlahan, mata Gina terbuka. Ia memejamkan matanya lagi sejenak untuk menjernihkan apa yang ia lihat. 

Plafon kamar. Ya, untuk kesekian kalinya Gina bangun dengan keadaan seperti ini. Tidak ada apapun sebelum beberapa memori yang hilang menyeruak masuk. Beberapa kali Gina menghembuskan nafas kasar saat tahu apa yang terjadi sebelum ia pingsan.

Remaja itu, dan rasa sakit di tubuhnya yang luar biasa menyiksa. 

Dan sekarang, rasa sakit tersebut sedikit mereda. Gina memperhatikan baju yang kini ia pakai, piama tidur berwarna hijau dengan motif kelinci. Gadis itu berfikir, pasti Bi Mora yang menggantikan bajunya.

Tapi ngomong-ngomong, siapa yang sudah membuka pintu dan mengangkatnya ke atas kasur? Hanya beberapa detik pertanyaan itu hadir di kepala Gina, kali ini ia dengan yakin mengira bahwa salah satu dari kedua kakak kembarnya yang membopong.

Senyum simpul terukir di wajah cantiknya. Merasa amat senang karena mengira Gian dan Gino masih menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang sama.

"Lapar," gumam Gina seraya memegang perutnya yang mulai keroncongan.

Tidak berniat untuk menyiksa diri seperti kemarin, Gina bangkit dari kasurnya. Sesaat setelah gadis tersebut berpijak di lantai kamar yang dingin, tubuhnya sontak terhuyung. Ia mengerjapkan mata yang berkunang-kunang karena lemas.

Perlahan tapi pasti, dengan tangan yang memegang tembok sebagai tumpuan, Gina berjalan keluar kamar menuju ke dapur. Namun, baru saja gadis itu sampai di pintu kamar miliknya, langkah Gina terhenti begitu saja.

Kerutan samar yang semakin lama semakin dalam membuat siapapun yang melihatnya akan tahu, bahwa Gina sedang memutar otaknya untuk berfikir secara maksimal. Tangan yang tadi bertugas untuk memegang perutnya, kini berpindah ke arah pintu.

Dengan kuat, Gina mencengkram sisi pintu. Gadis tersebut memejamkan matanya sembari mengatur pernafasan, melakukan gerakan menghisap dan menghembuskan udara secara teratur.

Pintu kamar miliknya, yang Gina kira saat dirinya pingsan kemarin dibuka dengan kunci cadangan, ternyata didobrak. Terlihat dari sisi pintu yang hancur di bagian tempat untuk mengunci.

Berarti, kemungkinan disini ada dua. Yang pertama adalah kedua kakak kembarnya mendobrak pintu karena terlampau panik, atau asisten rumah tangga keluarga Adhitama yang membukanya paksa.

Gina menggeleng. Ah, tidak mungkin. Pasti yang membuka pintu adalah Gian dan Gino, bukan? Tidak mungkin juga asisten rumah tangga miliknya berani mendobrak pintu.

Karena tidak ingin terhanyut dalam pikiran buruk yang memancing serangan panik, Gina lebih memilih melanjutkan langkahnya dan berpura-pura tidak melihat pintu kamar yang rusak.

"Bibi, Gina lapar," ujar Gina setelah kakinya menapak di lantai dapur dan melihat Bi Mora beserta beberapa anak buahnya sedang membersihkan ruang masak yang sangat besar kepunyaan kediaman Adhitama.

Merasa terpanggil, kepala asisten rumah tangga tersebut segera menoleh dimana suara yang memanggilnya itu berasal. Dia terkejut saat melihat Gina dengan muka pucat dan langkah gontai menghampiri dirinya.

"Oh? Gina, kamu lapar? Duduk dulu, biar Bibi siapin makanan, ya." Tanpa menyaut atau sekedar memasang sebuah senyum tipis, Gina duduk di tempat biasa ia makan.

Meja makan yang biasa digunakan Gina, kedua kakak kembarnya dan sang Mama untuk mengisi perut dan sedikit bercanda gurau. Secara tidak sadar, senyum tulus penuh makna terukir indah di wajah cantik gadi itu.

Gina merindukan suasana hangat tersebut. 

Merindukan ketika mereka saling menjahili, tawa sang Mama yang sangat renyah, dan Gino yang selalu menjadi korban dari seluruh tingkah laku dirinya dan Gian.

"Eh? Gina kok nangis? Bentar lagi ya, sayurnya lagi diangetin dulu." Gina menyentuh pipinya setelah mendapat pemberitahuan langsung dari Bi Mora.

Basah, pipi yang semakin hari semakin tirus itu ternyata menjadi jalan air mata mengalir yang bersumber dari dalam matanya.

Dengan wajah datar, Gina menatap Bi Mora. Mengisyaratkan agar wanita paruh baya tersebut tidak memperhatikan apa yang dirinya lakukan dan tidak mencoba mendekatkan diri kepada Gina lagi.

Karena menurut Gina, Bi Mora sama saja. Di balik tampang lembut milik wanita tersebut, Bi Mora juga sama seperti orang-orang di masa lalunya dulu.

"Sekarang jam berapa?" Bi Mora tersentak mendengar nada dingin serta wajah datar yang Gina pasang untuk dirinya.

"Jam sembilan. Gina mau--"

"Kak Gian sama kak Gino udah berangkat?" tanya Gina lagi, masih dengan nada yang sama. 

"Udah, mereka bilang kalau kamu udah bangun Gina harus makan." Bi Mora memberikan senyum lembut miliknya. Berusaha agar setidaknya ekspresi wajah Gina kepada dirinya lebih lembut lagi.

Sebagai balasan dari semua jawaban Bi Mora, Gina hanya berdehem tidak jelas. Tubuhnya membungkuk dan menyerahkan kepalanya di atas meja. Gina mengedipkan mata berkali-kali berusaha meredakan rasa pusing.

Ternyata efek tidak makan sehari dan meminum obat penenang tanpa air bisa separah ini. Walau sebenarnya Gina juga bingung bagaimana tubuhnya bisa lebih baik daripada sebelumnya padahal ia tidak menerima nutrisi apapun saat pingsan.

Gina mengangkat tangan sebelah kirinya, dan pada saat itu juga ia mengerti. Dirinya sempat diinfus untuk mendapatkan cairan sebagai sumber tenaga.

Karena tidak ingin memikirkan berapa lama ia pingsan, Gina memilih memejamkan mata seraya membayangkan hal-hal baik.

"Gina." Tepukan di bahu serta seseorang yang memanggil namanya, membuat Gina membuka kembali kelopak mata.

Ia mengernyit tidak suka saat Bi Mora mengganggu saat-saat dirinya menenangkan diri.

Melihat Gina yang sepertinya sangat marah atas tindakannya, Bi Mora memasang senyum canggung lalu segera memberi tahu tujuannya memanggil gadis malang itu tadi.

"Kemarin, ada pacarnya Gino kesini ngejenguk kamu. Terus dia nitipin ini ke Gino, dan Gino nitipin lagi ke bibi." Bi Mora menyerahkan kotak berukuran sedang berwarna lavender kepada Gina. "Buat Gina katanya, dia bilang ini hutang janji waktu itu."