Aisyah turun dari ojek onlinenya, setelah membayarnya. Ia memasuki kantor yang sudah biasa dia datangi, tidak ada seorangpun yang melarangnya masuk, mereka sudah tahu siapa Aisyah, malah menyapanya dengan ramah.
"Bagi Kak Nadia," sapa Aisyah pada Nafoa yang sedang merapikan berkas-berkasnya. Jika Axel tidak ada dia malah tidak bisa santai karena dia harus menerima semua tanggung jawab perusahaan, barulah melaporkan pada Bos besarnya itu.
"Hai pagi Aisyah," jawabnya namun ada raut bingung dari Nadia.
"Bapak sudah datang Kak?" Tanyanya srperti biasa.
"Lho memangnya Pak Axel tidak memberi kabar, kalau dia tidak ke kantor karena semalam dia ke Singapura untuk urusan bisnis lalu lanjut ke Malaysia mungkin baru pulang menjelang weekend," kata Nadia menjelaskan yang membuat Aisyah kesal. Aisyah hanya menggelengkan kepala pelan, Nadia yang melihatnya merasa kasihan.
"Mungkin Bapak terburu-buru jadi tidak sempat memberitahumu, gini saja coba kamu hubungi saja tanyakan padanya, tapi aku pikir bagus juga untuk kamu jadinya bisa libur." Kata Nadia membesarkan hati Aisyah.
"Sepertinya, aku memang orang yang tidak dianggapnya." tentu saja ia berkata dalam hati.
"Baiklah kalau begitu Kak aku pulang saja, karena kebetulan tadinya aku juga akan meminta izin beberapa hari untuk pulang ke Bandung mengunjungi Kakek dan Nenekku," katanya sambil berusaha tersenyum.
"Oh begitu, eh iya bagaimana sidangnya apakah bagus hasilnya?" Tanya Nadia mengalihkan pembicaraan.
"Lancar semuanya, berkat doa Kakak juga," katanya masih berusaha tersenyum.
"Syukurlah, eh kamu nanti siang kita makan siang bareng yu, aku traktir deh sebagai hadiah kamu lulus," kata Nadia bersemangat.
"Bukan aku Menolak Kak, dari sini rencananya aku mau beli oleh-oleh buat Kakek dan Nenek, gimana kalau sepulang aku saja dari Bandung?" Pinta Aisyah, sebenarnya Aisyah sedang ingin sendiri menghilangkan gundah gulana dihati.
"Hmmm, oya deh kalau gitu tapi janji ya pulang dari Bandung kita makan bareng." Aisyah menganggukan kepalanya, lalu dia pamit pulang.
"Aisyah," panggil Nadia lagi.
"Ya kak?" Jawabnya bingung.
"Semangat ya," katanya sambil mengepalkan tangannya tanda semangat.
"Iya Kak terima kasih," katanya kemudian berlalu dari ruangan Nadia fan berjalan menuju Lift.
"Bapak kok tumben sih gak kasih kabar sama Aisyah, apa karena si inces manja itu yang membuat Axel tidak bisa menghubungi Aisyah, tapi masa sih sejak kapan bapak mau diatur orang?" Katanya bermonolog pada dirinya sendiri.
"Hmm apa aku telpon aja ya, kok pesan yang aku kirim hak dibac sih padahal sudah ceklis dua," katanya bingung, namun akhirnya dia memberanikan diri untuk menelepon.
"Lho kok suara dering nya malah dari ruangannya sih?" Kata Nadia bingung, ia lalu bergegas masuk keruangan Axel, dN benar saja ponsel Axel berada di atas meja tamu ruang kerjanya.
"Wah bagaimana ini? Apa aku hubungi Erik saja ya." Kayanya lalu menaruh ponsel Axel di dalam laci meja kerja milik Axel.
Erik:
"Ya Mbak Nadia ada apa tumben telpon?" Erik bertanya begitu sambungan teleponnya terhubung.
Nadia:
"Ponsel Bapak tertinggal di Indonesia, seperti Bapak belum sadar. Sekarang Bapak dengan mu tidak."
Erik:
"Ya, bapak sedang denganku namun dia sedang meeting saat ini, nanti aku sampaikan setelah selesai meeting Kakak," Erik menjelaskan keberadaan Axel.
Nadia:
"Ya sudah kalau begitu, aku tutup dulu teleponnya, nanti tolong kabari bapak kalau ponselnya tertinggal. Jangan lupa," pinta Nadia mengingatkan kepada Erik.
Erik:
"Baik, nanti akan saya sampaikan pesannya Mbak." Nadia mengakhiri panggilannya.
"Pantesan saja dari tadi pesan yang dikirim tidak dibaca," gerutu Nadia kemudian menyenderkan badannya pada kursi kerjanya.
Nadia kembali meneruskan pekerjaannya, ia merapikan beberapa berkas sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan waktu makan siang yaitu jam 12 siang.
Sementara itu Aisyah masih berjalan-jalan sendiri di pusat perbelanjaan, ia sengaja mensilent teleponnya. Sepertinya dia benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapapun, hingga perutnya meronta-rota karena terasa lapar.
"Pantas saja cacing di perutku sudah Demo, ternyata sudah jam 1 siang, makan apa ya kira-kira yang enak aku makan?" katanya sambil melihat ke sekitaran foodcourt yang ada di mall tersebut.
"Aku makan pass food saja deh, biar cepat baru setelah selesai maka aku akan pulang, yang penting aku sudah mendapatkan oleh-oleh untuk kakek dan nenek," katanya sambil masuk ke restoran cepat saji makanan Jepang.
Setelah terisi perutnya, Aisyah memilih pulang dan beristirahat dia juga tak lupa mengabari pada Ella untuk bertemu di Travel yang akan membawa mereka, besok ke pagi untuk pergi ke Bandung.
**
"Jadi itu hotel yang ingin Om akuisisi?" Tanya Axel pada Steward.
"Ya Bagaimana menurutmu? Aku sangat suka. Walau sedikit Aku kuno bangunannya tapi justru memberi daya tarik sendiri untuk para pengunjung menginap di sana," kata Steward memberikan pendapatnya.
"Tapi ada itu hanya hotel bintang 3. Aku tidak pernah bermain di bintang 3, Bukannya sombong Aku tidak suka membangun sesuatu yang kecil . Kalau yang besar itu jauh lebih baik," kata Axel memberikan alasannya.
"Ya aku juga tahu, tapi ini Anggap saja untuk mainannya Olivia agar dia memiliki kesibukan dan mengerti Bagaimana sulitnya mendapatkan uang," steward menjelaskan maksud sebenarnya dia ingin mengakuisisi hotel tersebut.
"Kenapa Om tidak katakan dari kemarin kalau Om membelinya hanya untuk mainan Olivia, dan tidak perlu mengajak aku untuk berinvestasi di sana," Axel terlihat kesal, karena dia itu pebisnis bukan orangvyang senang membuang-buang uang dan waktu hanya untuk sesuatu kesenangan yang tidak berguna bagi dirinya.
"Ayolah Xel, paling tidak kalau kita membeli langsung yang bintang lima, aku rasa Olivia tidak mampu menjalankannya," kata stuwert menjelaskan maksud dan tujuannya mengapa dia mengakuisis hotel bintang tiga tersebut.
"Kalau hanya ingin dia belajar, mengapa tidak om suruh saja dia bekerja padaku, aku bisa membantunya menempatkan dia dihotel yang Bali, karena kalau untuk di Jakarta, stafku semuanya sudah betkompenten dan tidak ada lagi ruang untuk orang untuk belajar, sedang di Bali aku memiliki hotel yang cocok untuk Olivia jika hanya untuk belajar," kata Axel dengan raut yang terlihat agak kesal karena dia sudah membuang waktu hanya karena teman kakaknya ingin memanjakan anaknya.
"Jangan di Bali Xel, kau kan bisa menukar satu pegawaimu agar bisa digantikan posisinya oleh Olivia, dengan demikian kok akan lebih murah mengurusnya," Pinta Steward seenaknya seolah itu adalah perusahan sendiri.
"Olivia bukan anak kecil yang perlu aku urus dan aku rawat, aku juga tidak punya waktu untuk itu. Jadi jika mau terima saran ku silakan tapi kalau Om berharap aku berinvestasi di hotel bintang 3 yang tidak strategis ini, Maaf aku tidak bisa," kata Axel dengan nada yang cukup tegas seolah itu adalah keputusan dirinya yang terakhir.
"Lagi pula kalau kita mengakuisisi hotel tersebut tetap saja aku akan menyuruh orang mengurus perusahaan di sini bukan aku," katanya lagi, dan tidak mungkin Axel menetap disini semwntara perusahaan dia betpusat di Jakarta.
steward memijit keningnya, dia sedikit pusing karena sebenarnya alasan dia membeli Hotel ini dan meminta Axel untuk berinvestasi agar mereka bisa sering bertemu, antara Olivia dan Axel, namun sepertinya Axel benar-benar tak tertarik pada anaknya.
"Aku sudah lapar, sepertinya sudah waktunya makan siang. Oh ya, mengapa Olivia tidak ikut dengan kita meninjau tempat ini?" Tanya Axel tidak paham, malah memilih pergi bersama ibunya untuk berbelanja.
"Tadinya Dia menyerahkan semuanya urusan ini pada kita. Dan Dia percaya padamu, untuk memutuskan apa yang terbaik untuknya." Perkataan Steward tentu saja membuat Axel terbahak lucu
"Dia itu ingin menjadi pebisnis bukan seperti calon suami yang sedang ingin membeli rumah untuk dia dan calon suaminya tinggali dan Aku ini seorang investor yang akan menginvestasikan dananya ke perusahaan yang akan dikelola olehmya. Kalau dia menyerahkan semua keputusan perusahaan ini padaku untuk apa aku menjadi investor? Lebih baik aku mengelola saja uangku sendiri dan aku bisa memerintahkan orang-orang untuk mengerjakannya," kata Axel lagi, dia benar-benar merasa sudah buang-buang waktu untuk suatu hal yang tidak berguna.
Steward hanya bisa terdiam, dia tidak bisa lagi membantah perkataan Axel. Seperti Axel benar-benar tidak memiliki perasaan apapun pada anaknya tersebut.