Akmal menatap Adiba ketika menerima telepon itu. Menerima panggilan namun hatinya ingin dekat dengan Adiba.
'Hatiku jangan ragu. Kamu tidak boleh lagi mencintai Adiba. Huh ....' Akmal berusaha fokus dengan panggilan teleponnya.
"Apa? Kamu harus pergi? Kenapa harus pergi. Sesukamu, mau pergi ke mana. Tapi aku harap, kamu bisa perginya sama aku. Apalagi Paris loh."
"Kamu masih calon suamiku jadi jangan mengekangku. Tolong jangan mengekangku!" Suara dari dalam telepon, lalu menutup teleponnya tanpa mendengarkan Akmal.
Akmal hanya pasrah dan memijat keningnya. 'Ya Allah.' Dia menaikkan wajah kemudian menghela napas panjang.
***
Detik berganti menit, menit berganti jam. Dengan sabar dan penuh perhatian Akmal mengajari Adiba berwudu. Setelah salat ashar, pria itu memberi Iqro. Perlahan Adiba belajar huruf hijaiyah lagi, dan mengamati bibir Akmal.
'Bagaimana jika terbiasa akan mendatangkan perasaan itu lagi? Aku sangat resah. Ya Allah jangan tumbuhkan rasa cinta yang sepihak. Karena selama ini aku sudah cukup kesakitan, Disaat aku benar-benar bisa move on dari nya. Aku harus hidup bersamanya. Ya Allah ....' Akmal menutupi perasaannya yang kembali hadir.
Sementara Sabrina selalu mencari ide, dan membiarkan keduanya menghabiskan waktu bersama.
***
Mentari telah tenggelam, langit gelap menggantung di sana. Bintang dan bulan sama sekali tidak ada. Tertutupi oleh mendung pekat yang tak terlihat. Suara guntur mulai menggelegar. Di sana Adiba terlihat cemas.
"Jika ada guntur baca Subhanallah. Ayo pelan-pelan, Subhanallah." Akmal mengulanginya berkali-kali namun menjaga pandangannya dari tatapan Adiba.
Selalu menghindar agar tidak terjadi kontak mata. "Subhanallah." Pelan-pelan Adiba berhasil, air mata haru bahagia berlinang lagi. Dengan senyum yang merekah bahagia.
"Kamu bahagia? Sebagai ucapan syukur baca alhamdulillah. Ayo coba Alhamdulillah."
Mendengar setiap tuntunan dari Akmal, Adiba sangat semangat. Akmal menuntunnya berkali-kali sampai Adiba bisa.
'Kenapa rasanya darahku naik seketika. Ini hanya perasaan semu, Akmal. Ayolah ....' batin Akmal yang lalu berdiri.
Jedarrr!
"SubhanaAllah," ucap bersama.
Klap!
Lampu padam setelah suara petir menyambar.
"Allahu Akbar!" Akmal berusaha mencari ponselnya. Terdengar Adiba sulit bernapas.
"Sabrina ...! Adiba sesak, bawa senter ponselmu!" Akmal teriak sambil meraba-raba.
"Aku sendiri tidak tahu di mana ponselku," jawab Sabrina ikutan panik namun dalam hati dan pikirannya. 'Pasti nati Kak Akmal kasih napas buatan. Ihir ... semoga itu terjadi. Aamiin,' doa Sabrina dalam hati dengan kegirangan dan senyum-senyum sendiri.
Suara napas cepat dari Adiba, yang seperti orang hampir tenggelam, membuat Akmal semakin bingung dan cemas.
Hap!
Akmal sampai di depan kursi roda Adiba. Dia menggenggam erat tangan Adiba. "Allah ... Allah ...." Sambil terus menuntun memanggil asmaNya. " Jangan takut, aku ada di sini. Bayangkan saja sesuatu yang pernah kamu alami, yang membuat kamu sangat bahagia. Ingatlah momen-momen di mana hatimu berdebar debar bahagia."
Napas Adiba masih memburu cepat, dengan dada yang kembang kempis. Akmal terus menyebut namaNya.
Tangan kiri Akmal, bergerak ke leci berharap bisa menemukan ponselnya di tengah kegelapan. Di dalam kegelapan itu, napas Adiba mulai teratur kembali.
Dia menatap pria yang ternyata juga menatapnya. Di tengah suara bising hujan yang tiba-tiba hening karena satu pandangan seakan menghentikan waktu untuk mereka. Tatapan penuh arti yang harus segera di hentikan oleh sang pria. Ya, Akmal segera menghindar lagi. Perlahan ia melepaskan tangannya dari tangan Adiba.
"Kamu tenang baca SubhanaAllah. Aku akan mencari ponsel," ujar Akmal yang lalu berdiri, saat itu tangan Adiba ingin meraih tangan pria yang menikahinya secara rahasia, namun tak sampai.
Adiba menuruti kata Akmal. 'SubhanaAllah ... SubhanaAllah. Betapa istimewa perasaan di dalam hati ini,' batin Adiba yang lalu menggerakkan tangan kanannya dengan susah payah.
Dia ingin merasakan degupan jantung yang tidak terkendali. 'Kak Ridwan ... aku sudah ikhlas, kamu harus bahagia di sana. Dan cintaku, tetaplah ada di dalam hatiku. Di sini ada Mas Akmal. Pria yang selalu aku abaikan ternyata peduli kepadaku. Dialah yang mengingatkanku akan Allah. Aku tidak boleh putus asa lagi. Allah Maha Baik,' kata Adiba dalam hati.
"Sabrina ... apa kamu tetap tidak dapatkan ponselmu?" tanya Akmal lagi, tidak ada jawaban setelah dua menit bertanya.
'Afwan (maaf) Kak ... aku pura-pura tidur,' batin Sabrina. 'Apa tadi sudah ada adegan sweet seperti di Drakor? Apa mereka ... ah. Horor nih otakku, kenapa aku jadi mesum?' tanya Sabrina dalam hati.
"Sabrina Kakak tahu ya, kamu pura-pura tidur!"
"Aku tidur beneran kok!" ceplos gadis manis itu, Sabrina menutup mulutnya seketika.
"Tuh kan ... bohong dosanya segunung lo." Akmal mengancam adiknya.
'Bodoh ... kenapa nyeplos nih mulut. Ah ....' keluhnya dalam hati dan terpaksa datang ke kamar Adiba dengan cahaya ponselnya.
Akmal berhasil melihat ponselnya, ia mengecek WA berharap mendapat chat dari calon istrinya.
"Kak, Mbak Adiba muntah," ujar Sabrina panik, yang lalu duduk di depan kursi roda lalu membersihkan bekas muntahan Adiba.
Akmal melihat Adiba yang menggigil. Akmal segera membopongnya. "Siapkan selimut tebal," pinta Akmal bergegas membawa tubuh lemas itu ke kasur.
Akmal membaringkannya, tubuh Adiba bergetar. Akmal menyatukan tangannya dengan tangan Adiba lalu menggosok punggung tangan Adiba agar hangat.
"Nanas, cepat!"
"Ini sedang cari." Sabrina menarik kain tebal dan segera menghampiri Akmal dan Adiba. Akmal segera memakaikan selimut tebal itu.
Sabrina segera menutup tirai, hujan semakin deras dan menakutkan. "Nanas, tidur di samping Adiba dan bacakan surah dari Al Qur'an."
"Kenapa tidak Kakak saja?" timpal Sabrina.
"Kalau kamu tidak mau, tidak Kakak kasih uang."
"Aku sudah kerja. Ye ... lagian Kakak."
Belum selesai bicara Sabrina mendapat tatapan horor yang mengerikan dari Kakaknya. Sabrina patuh dan tidur di samping Adiba.
'Dasar ... tapi gawat juga kalau Mbak Adiba tahu status mereka suami istri, takutnya histeris dan dari dulu Mbak Adiba kan benci setengah mati sama Kak Akmal. Jadi ... diam sajalah aku, biar selamat,' batin Sabrina yang lalu memeluk Adiba agar sedikit hangat.
Sabrina bershalawat. "Ya Rabbi Antal Hadi."
Suara yang cukup merdu membuat Adiba tenang dan menikmati. Sementara Akmal tidur di sofa.
'Ya Allah ....' batin Akmal yang risau. Pria itu bangun dan berwhudlu lalu mengaji pelan di dalam cahaya remang.
'Aku ingin mendengar, kenapa kamu sangat lirih mengajinya,' ujar Adiba yang ternyata memperhatikan gerak-gerik Akmal.
"Kak, aku ke toilet dulu biasa dingin-dingin ingin buang air kecil," pamit Sabrina bangun dari ranjang dan memakai sandal.
"Ingat, bohong dosa!"
'Tau banget nih orang. Ih, nggak faham banget sih Kakakku ini, aku kasih waktu biar bisa sweet-sweettan dan jantung berdebar-debar, agar tumbuh tuh, cinta lagi ... entahlah. Ah ... lama-lama ah di kamar mandi, tapi kan bau ... ih.' batin Sabrina lalu masuk ke kamar mandi
Bersambung.