Tubuhnya masih lemas, namun Akmal meminta dokter untuk memeriksanya. Di rasa sudah tidak memerlukan peralatan medis. Dokter itu melepas semua peralatan medis, hanya menyisakan cairan infus. Karena Adiba yang sudah cukup membaik. Kini tinggal Spikologisnya, dia masih membutuhkan peran Akmal.
Sabrina juga sudah menyiapkan makanan untuk Adiba. Akmal dan Sabrina membantu Adiba menikmati alam pagi hari.
Wanita cantik dengan wajah pucat ini berada di atas kursi roda. Mendengar suara Akmal yang sedang berbicara di dalam telepon. Sabrina menghampirinya untuk menyuapi.
Pandangan Adiba kosong. "Mbak buka mulutnya perlahan. Bismillahirohmanirohim. Allahumma bariklana Fima rozaktana Wakina azabannar."
Saat Sabrina membaca doa makan, barulah Adiba menatapnya, air matanya kembali berderai.
'Teruslah bantu aku. Bisikan aku, tentang yang kamu ucapkan,' pinta Adiba yang berusaha membuka mulutnya. Berusaha mengeluarkan suaranya.
"Mbak ... A' ... kenapa Mbak kembali menangis?" tanya Sabrina dengan suara pecah, sambil menyeka pipi Adiba. "Jangan menangis. Mbak tahu, di saat usiaku remaja. Aku sering marah tanpa alasan. Padahal sudah tahu Kakak ku sibuk dan pasti lelah juga, setelah sampai rumah aku melampiaskan emosiku. Ternyata begitu keterlaluan nya aku. Tapi ... Kak Akmal. Bilang, Allah lebih tahu yang terbaik untukmu. Jadi tidak perlulah pusing-pusing memikirkan masalah dunia yang fana. Tapi aku paham. Aku memahami perasaan Mbak. Jadi Mbak tidak boleh sedih lagi. Ada aku di sini sama Mbak," ujar Sabrina menatap sendu.
Gadis cantik ini selalu memberi dukungan kepada Adiba. Seakan-akan Dia memiliki perasaan patah hati sama seperti Adiba. Tidak bisa memiliki pasangan yang dicintai. Bedanya, kasih Adiba terenggut kematian. Sementara Sabrina berbeda keyakinan.
'Kau tahu Mbak? Saat ini aku berusaha mati-matian meredam hasrat cintaku. Aku ingin membuktikan kalau aku adalah hamba Allah. Allah sudah sangat baik kepadaku. Menyia-nyiakan waktu, untuk sebuah rasa. Aku yakin perasaanku akan segera sirna,' kata Sabrina di dalam hati.
Tatapan Adiba penuh makna, wanita itu berusaha menggerakkan jari-jarinya. Ingin meraih tangan Sabrina yang terlihat sedih.
'Sesungguhnya di dunia ini, bukan hanya aku yang sengsara. Aku tidak boleh terus-terusan sedih. Cintaku, tegarkan hatiku. Kuatkan kerapuhan ini. Mohon jangan lapukkan. Aku sudah patah karena kamu tinggalkan. Dan sekarang aku mulai merekatkan sesuatu yang patah itu. Kalian, tolong terbisikan sesuatu kepadaku. Asmanya yang begitu Agung. Selama ini hatiku ingkar, hingga aku terlalu jauh ke dalam jurang kenistaan. Selama ini aku bertanya-tanya nama siapa yang menuduhkan jiwaku? Sampai kapan hatiku gelap tanpa satu titik cahaya. Aku mohon bisikkan sesuatu kalimah suci yang saat ini tidak dapat aku ingat sepenuhnya. Saat langit gelap kalian mengucapkannya berkali-kali. Tuntunlah hatiku dengan kesejukan asmaNya. Agar aku tidak tuli lagi, tidak buta lagi, agar aku bisa bangkit dari kematian ragaku ini,' Tangis Adiba menjadi.
"Mbak kenapa semakin menangis seperti ini? Mau lakukan sesuatu yang sangat disukai Mbak? Kata Kak Akmal, aku harus melakukan kebiasaan baik yang membuat bahagia. Tapi apa ya? Makan dulu ya ... buka mulutnya." Sabrina membuat Adiba membuka mulutnya walau tidak lebar.
Gadis itu mengusap bekas makanan yang berantakan.
"A_"
"Mbak ingin bicara? Atau tambah lagi?" tanya Sabrina sambil menunjukkan makanan.
"Al_" Adiba berusaha namun suaranya hanya bisa mengatakan itu.
Dari kejauhan Akmal memandanginya. 'Apakah aku jahat? Dia memang tidak tau kalau aku suaminya. Ya Allah ... saat dia membuka mata aku takut terbawa suasana. Karena aku tahu. Karena tidak semua yang ku cintai dalam hatinya tertulis namaku, dan tidak semua yang ku perlakukan baik akan membalas budiku. Aku sama sekali tidak terpaksa menjalani ini. Hanya saja, aku takut jatuh cinta lagi. Mana mungkin aku menikahi gadis tunanganku tapi aku terpaksa? Ah, masa iya? Sedangkan kata Imam Syafi'i.Tinggalkan dia yang tidak tulus padamu.
Akan selalu ada pengganti dirinya, daripada terus tersiksa.
Jangan berharap banyak pada manusia.
Tidak ada gunanya persahabatan tanpa ketulusan. Bersahabat jangan susu dibalas air tuba. Jangan berteman dengan orang yang mengingkari indahnya masa lalu, dan membuka aibmu. Hidup harus memiliki sahabat yang jujur, tetap janji dan adil. Ya, saat ini aku menyandang sebagai teman Adiba. Bahkan teman hidupnya. Allahu Akbar!' Hati pria itu sangat gelisah.
'Aku harus memantapkan hati ke tunanganku. Bukan istri siriku. Istri siriku tidak mungkin mencintaimu setelah semua tang terjadi. Akmal ... apa benar rasa yang sudah terbenam datang lagi. Apa karena terbiasa bersama. Ya Allah ... hamba serahkan segalanya kepada Engkau,' Pasrah Akmal dalam hati.
Tatapan sendu Adiba tertuju kepadanya. Akmal menjadi tegang dan menatap kearah lain sambil mengusap tengkuknya.
'Kamu ... tolong ... katakan sesuatu yang indah lagi, aku merana ... aku hampa. Aku ingin kamu memperdengarkan sesuatu yang sangat istimewa. Buat aku takjub,' pinta Adiba dalam hati menatap penuh harap kepada Akmal yang sibuk dengan ponselnya.
'Kenapa Mbak Adiba menatap Kak Akmal dengan begitu? Kak Akmal juga, kenapa terlihat menghindar?' tanya Sabrina dalam hati. 'Aha! Muncul lampu dalam otakku. Kamu memang cerdas Sabrina,' batinnya berdiri.
"Kak Akmal ...." Sabrina berlari sambil menekan perutnya, Akmal menoleh. "Eh. Aduh. Sampai pucuk nih. Aku belum selesai nyuapinya, nih. Lanjutkan." Sabrina memberikan mangkuk dengan ekspresi mules, dan segera lari ke kamar mandi, dengan senyum-senyum sendiri.
'Ampuni hamba yang berbohong. Tapi demi kebaikan, apa salahnya? Mereka kan suami istri. Ihir ... cinta lama bersemi kembali untuk Abangku. Aamiin,' Sabrina masuk ke kamar mandi.
Di sana Akmal menghampiri Adiba lalu duduk tepat di depannya. "Masih sedikit sekali makannya. Ayo makan lagi," titah Akmal yang tidak berani menatap Adiba.
Akmal tidak bisa menghindar, kontak mata terjadi. Akmal melihat tatapan Adiba penuh harap.
Tatapan memelas itu sangat menyakitkan. "Ekhm." Akmal teringat kejadian semalam.
"A_" Adiba berusaha membuka mulut dan mengeluatkan suaranya. Matanya memerah. Akmal ragu mengusap air mata yang berlinang di pipi gadis yang tidak berdaya itu.
"A_" Napas Adiba memburu karena dia sedang usaha.
"Tenang. Allah akan membantu."
'Allah ... Ya Allah ... itulah yang dari tadi ingin ku dengar,' batin Adiba yang kemudian berusaha menggerakkan tangannya. Adiba tidak henti menyebut asmaNya dalam hati dengan rasa bahagia yang dirasanya sendiri.
Akmal mengambil tisu lalu mengusap air mata Adiba. "Sekarang makan ya. Ayo ... kamu percaya kan sama aku. Kamu pasti bisa menjalani hari-harimu seperti biasa. Ayo ... buka perlahan mulutnya," pinta Akmal, Adiba pun setuju.
"Pintar." Akmal mengusap kepalanya dengan tersenyum. Adiba tidak henti menatapnya.
'Apa kamu akan tinggal bersamaku selamanya? Apa kamu pelantara dari Allah untuk mengusir kesepianku? Tolong tetap di sampingku. Aku merasa tidak berdaya tanpa kamu. Aku sedang berusaha, menata hidup yang bahagia. Aku lelah menderita karena aku sendiri yang membuat hidupku tragis. Ya Allah. Ya Allah,' sadar Adiba yang tidak ingin melupakan asma Sang Pencipta.
Akmal kembali menyuapinya, pria itu terlihat sibuk chattan dengan seseorang.
Bersambung.