"Kamu jangan bersedih karena tindakan pacarmu yang selingkuh itu. Masih banyak gadis-gadis di luaran sana, yang lebih baik daripada dia. Untuk apa? Kamu mempertahankan wanita yang sudah sekian kali menyakiti kamu. Aku sebagai dokter spikiater mu. Kamu telepon dia sekarang juga, luapkan segera kemarahanmu. Kamu ingin kamu puas kan?! Jadi silakan mencoba. Kamu itu laki-laki, sampai kapan kamu ngalah untuk wanita. Kalau wanita itu pantas dipertahankan boleh saja kamu mengalah tapi, buktinya? Kamu yang tersakiti. Luapkan segala perasaanmu, terserah dia berpikiran apa tentang mu. Jika kamu ingin bebas dari perasaan itu. Coba lakukan saranku itu."
Akmal meletakkan ponselnya dengan wajah lesu. "Hah ... Astagfirullah." Akmal terlihat sangat pusing dengan ulah pasiennya.
Saat dia hendak menyuapi Adiba lagi, dia melihat Adiba akan tersenyum namun sulit. "Kamu merasa aku lucu? Tertawa saja. Hehehe. Astagfirullah." Akmal menahan tawa kemudian mengangkat sendoknya hendak menyuapi Adiba.
"Bismillahirohmanirohim Ayo dibuka mulutnya," pinta Akmal. Adibah membukanya dan berhasil makan lagi dari suapan Akmal. "Apa kau tahu Adiba? Aku menjadi dokter spikiater, tapi aku butuh juga spikolog. Pasien yang ini. Dia hampir saja mengakhiri hidupnya."
Adiba menatapkan Akmal. "Terkadang orang yang sangat kita cintai belum tentu baik untuk kita. Jika sudah pasti orang itu baik dan ternyata Allah tidak menghendaki berjodoh. Kita harus ikhlas. Kamu harus ikhlas melepas Ridwan. Dia akan bahagia jika kamu melanjutkan hidupmu. Percayalah kepadaku, dia akan bahagia jika kamu memasrahkan semuanya kepada Allah. Jangan membenci Allah, Adiba. Itu salah." Akmal membersihkan makanan yang blepotan di samping bibir Adiba. Gadis itu menatap melas.
"Aku yakin kamu sedang, belajar menerima kenyataan. Adiba, Cinta sejati itu ada di dalam hati. Ada atau tidak dia di samping kita. Kita bisa merasakannya. Tidak peduli Allah memisahkan dengan cara apa pun. Cinta sejati tetap hidup dalam sanubari. Kamu gadis hebat."
'Tolong tetap di sampingku, hibur aku, hatiku yang selalu kosong. Kamu mengisi dan memberi ruang. Terus ingatkan aku, jika aku harus mencintai Allah lebih dari apa pun. Tolong, ajari aku berlebihan cinta terhadap dunia. Tolong ....' pinta Adiba dalam hati sambil terus menatap Akmal.
"Kamu mau mendengarku kan? Kalau mau berkediplah," pinta Akmal. Adiba mrngedipkan mata perlahan. Akmal tersenyum tampan.
"Warna pelangi akan memudar, bahkan hilang. Tapi kamu jangan jadi pelangi walaupun berwarna. Jadilah langit, karena langit tempat menampung segalanya. Dari, siang yang terik, hujan, bulan, bintang. Walau tidak sepenuhnya bisa menjadi langit. Jadilah dirimu sendiri. Lakukan apa pun yang kau sukai. Aku akan membantu, dan di sisimu. Oh ya ... di sana keluargamu merindukanmu. Sayangnya sekarang sedang ibadah, tapi tenang saja. Aku memiliki vidionya."
Akmal mengambil ponsel, dia menghela napas saat ponselnya bergetar.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam, plong Dokter ... lepas semua sudah. Aku akan buktikan ke dia,bahwa aku bisa hidup tampanya. Aku tidak akan bodoh lagi dokter."
"Alhamdulillah. Kalau patah hati lagi, ingat Allah ada. Jika jodoh belum bertemu, jangan meratap dalam keadaan. Doa dan yakin, minta kirimkan jodoh yang terbaik oke." Akmal menutup telepon dengan tersenyum.
'Apa kamu pernah patah hati? Kenapa aku merasa kamu tidak pernah patah hati?' tanya Adiba dalam hati yang lalu berusaha mengeluarkan suaranya.
"A_ku." Napas Adiba cepat, Akmal yang mendengar lalu fokus kepada Adiba samlai duduk di depan kursi rodanya.
"MasyaAllah ... Iya ... ayo usaha lagi." Akmal menatap penuh harap.
Adiba masih berusaha membuka rongga mulutnya sambil terus menatap Akmal.
"Allah. Ayo ikuti aku Adiba. Allah."
Semakin kuat tekad Adiba setelah Akmal menuntun menyebut asmaNya. Akmal hendak menggenggam tangan Adiba namun tidak jadi. Tatapan menyatu dengan sangat dalam.
"Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar." Kalimah takbir yang dituntun Akmal sangat menggetarkan hati Adiba.
"Allah." Berat namun asma itu keluar dari bibir Adiba.
"SubhanaAllah ... Alhamdulillah." Akmal merasa sangat bahagia. Dia bangun dan segera sujud syukur.
'Aku bahagia ... sangat bahagia. Allah, Ya Allah. Hik hik hiks. Heh ... hamba berhasil. Terima kasih Ya Allah. Semoga ini bentuk pengampunanMu, karena hamba sempat ingkar,' Air mata Adiba jatuh. Akmal berdiri di sampingnya.
Akmal menyeka dengan lembut, baru kali ini pria itu menggunakan telapak tangannya untuk mengusap pipi basah Adiba.
"Kamu tersenyum?" tanya Akmal. Adiba mengangguk pelan. "Allahu Akbar. Ya Allah. Sukron kasirt. Ya Allah sukron kasirt. (Terima kasih banyak.)" Akmal terlihat sangat bahagia lebih dari Adiba. Air mata bahagia penuh takjub.
"Kamu harus banyak bahagia. Emmm. Mau belajar berjalan? Atau ... ingin dengar apa?" tanya Akmal yang lalu menatap bola mata Adiba.
'Aku sangat ingin mendengarmu mengaji seperti tadi malam.' Adiba yang belum bisa berbicara hanya bisa menangis.
"Waktunya salat dhuha. Masuk ya. Nanti aku bacakan ayat Al Qur'an. Aku yakin hatimu akan lebih tenang." Akmal meletakkan makanan di atas meja.
'Ya Allah terima kasih, Engkau membuat dia mengerti apa yang hamba inginkan,' batin Adiba yang kemudian di dorong Akmal untuk masuk.
Sabrina senyum-senyum sendiri melihat mereka, gadis cantik manis ini mengadah tangan lalu menghadap qiblat. 'Ya Allah. Hamba meminta Engkau tetap menyatukan mereka. Karena pernikahan mereka adalah ikatan suci. Aamiin,' Dia mengusap wajah.
"Sabrina, sepertinya akan hujan. Coba cek suhu kamar Adiba. Kalau terlalu dingin jangan nyalakan ace. Aku wudhu dulu," jelas Akmal yang kemudian pergi ke kamar mandi.
Bola mata gadis yang duduk di atas kursi roda terus ke arah Akmal. Sabrina melihat Adiba sangat membutuhkan Akmal.
"Mbak Adiba yang cantik. Ada aku, kita masuk kamar Mbak ya. Nanti aku bacakan buku-bukunya. Mbak."
'Tolong bacakan surat cinta Kak Ridwan ya. Agar aku ingat bagaimana dia menegurku, supaya mencintai dengan wajar dan ikhlas melepasnya,' pinta Adiba menaikan wajah hendak memandang Sabrina dari bawah namun tidak bisa.
'Emmm. Sepertinya aku akan sok sibuk. Agar Kak Akmal dan Mbak Adiba banyak meluangkan waktu bersama. Semoga usahaku berhasil. Walaupun status pernikahan siri tetap saja, status istri lebih tinggi daripada tunangan. Sabrina ... kamu konyol banget sih. Tapi semua mungkin jika Engkau menghendaki,' batin Sabrina yang memiliki ide agar Akmal gagal menikah.
"Ak_u."
Mendengar itu Sabrina menghentikan dorongannya dan segera ke depan Adiba.
"Ayo Mbak. Lagi ... katakan." Sabrina jongkok.
"I_i eh."
"Mbak ingin? Ayo katakan ingin apa?" tanya Sabrina. Adiba berusaha menggerakkan jarinya. Sabrina melihat Adiba menunjuk sesuatu dari tatapan Adiba pula.
Sabrina berdiri, berjalan menghampiri rak buku. "Mbak ingin aku baca yang mana? Aku tunjuk, Mbak berkedip ya kalau iya." Sabrina mulai menunjuk satu persatu buku Adiba.
Jari gadis remaja itu berhenti di buku kumpulan surat Ridwan.
'Apa mungkin yang diinginkan surat dari Almarhum? Bagaimana kalau Mbak Adiba terluka lagi dan sedih lagi? Tanya Kak Akmal sajalah,' batin gadis itu.
"Mbak bentar ya. Aku ambil minum untuk Mbak, kan ini jadwalnya minum obat," ujar Sabrina lalu keluar dari kamar Adiba.
Adiba menatap buku itu, dan ingin meluapkan rasa rindunya.
Bersambung.