'Aku mengikhlaskanmu. Ikhlas itu sangat berat. Namun, ada ganjarannya. Aku rapuh tanpamu, tapi aku lebih rapuh ketika hatiku jauh dariNya. Aku ingin membaca semua surat-surat cintamu. Yang menandakan, bahwa kita dalam mencintai tidak boleh berlebihan,' batin Adiba ketika menatap bukunya.
"Lho, di mana Sabrina? Dasar tuh bocah," gumam Akmal yang lalu menggelar sajadah nya. "Aku yakin kamu pasti sangat merindukan ini. Saat salat, itulah cara kita berbincang dengan Allah subhanahu wa ta'ala. Tiba-tiba hatiku bergetar, aku merasa sangat istimewa. Terima kasih Adiba."
Keinginan Adiba teralihkan ketika pemuda itu membaca niat kemudian takbir.
'Hatiku lebih bergetar, aku juga merasa sangat istimewa. Diberi kesempatan yang sangat luar biasa. Terima kasih kamu sudah mengenalkan ku lagi, Allah memberimu untuk membuatku mengerti. Semoga aku tidak pernah tersesat lagi,' ucap Adiba dalam hati sambil terus memandang Akmal yang sedang salat dhuha.
Mata Adiba tetap tertuju kepada pria itu, begitu sangat ingin melakukan. Apa yang dilakukan Akmal. Kalimat takbir membuat Adiba menikmatinya. Merasakan perasaan indah seperti jatuh cinta. Jantungnya terus berdegup kencang ketika Akmal bertakbir.
"Allahu Akbar."
Setelah selesai empat salaman kemudian berdoa. Akmal menoleh dan tersenyum kepada Adiba. Pria tampan itu melipat sajadahnya kemudian menghampiri Adiba.
Akmal terlihat bingung dan canggung ketika berada di hadapan Adiba. Seakan waktu terhenti untuk sejenak.
'Apa yang harus aku lakukan? Rasanya aneh seperti ini? Apa mungkin ini kali pertamanya pasienku wanita? Akmal ... anggaplah dia, adikmu. Oke ... huft ....' Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori pria itu, dia segera mengusap kening dan telapak tangannya yang basah.
'Waduh tatapannya ... jantungku ... ayo hindari perasaanmu. Si Sab-sab ke mana pula,' batin Akmal yang semakin gundah gulana dengan perasaannya. Akmal terus menggerakkan kakinya.
"Mau belajar salat?" Akhirnya dia bertanya memecah keheningan.
'Aku sangat ingin. Harus bagaimana ku katakan, jika aku sangat bersyukur dan ingin mengucapkan ribuan terima kasih. Kamu siapa? Kenapa sangat peduli kepadaku?' batin Adiba bertanya-tanya sedangkan Akmal fokus ke ponselnya.
"Untuk pertama kali aku harus mengajarimu wudhu. Jadi tidak perlu menggunakan ponsel. Oke? Cus Bismillahirohmanirohim." Akmal meletakkan ponselnya kemudian mendorong kursi roda Adiba.
"Wudlu itu adalah salah satu cara menyucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim diwajibkan bersuci dari hadas kecil setiap akan melaksanakan salat. Kalau menyandang hadas besar ya mandi wajib. Oke, kita mulai," ujar Akmal yang lalu melinting lengan baju sampai sikut atas.
Perhatian dengan cara-cara yang ditunjukkan Akmal, membuat Adiba memperhatikan dengan seksama rukun dan sunnahnya whudlu.
Dia memejamkan mata teringat saat dia melakukan hal yang sama dengan yang di contohkan Akmal. Gadis itu membuka mata, dia berusaha menurunkan kakinya, mengerahkan tenaganya.
'Ya Allah hamba ingin kembali menghadap bersimpuh kepada Engkau, mudahkan, tolong mudahkan,' pintanya.
'A_k. A_ku.'
Bruggg!
"Astagfirullah Adiba." Akmal refleks menolong Adiba, gadis itu tersungkur dan tertimpa kursi rodanya. Akmal segera menyingkirkan kursi roda dan membopong Adiba. Sabrina datang dan segera membenarkan kursi roda itu.
Akmal menurunkan Adiba perlahan.
"Ya Allah ... huft ... kamu ingin berwudlu. Syaratnya kamu makan yang banyak agar kuat ya, jadi makan lagi oke. Kamu pasti sangat rindukan dengan segala hal? Jadi kuatkan fisik dulu barulah, lakukan. Tenang saja, aku ada di sini, untukmu."
"Kayaknya aku hanya asap obat nyamuk, terlihat tapi tidak dianggap. Lagian aku ada tugas lain, Mbak Adiba, minta Kakak ku melakukan apa pun. Oke," ujar Sabrina, Akmal menatap adiknya horor. "Hi ... ada hantu, kabur," ujar Sabrina keluar ruangan dengan senyum-senyum sendiri.
Adiba menatap Akmal, Akmal menghapus air matanya.
"Allah." Suara Adiba berat.
"Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim." Akmal membenarkan jarum infus sambil berseru Asmaul Husna. Adiba menikmati suara merdu Akmal.
'Ya aku harus makan, agar aku kuat,' batin Adiba semakin bertekad. Adiba menggerakkan jari telunjuknya.
"Le_"
"Lepas?" tanya Akmal memandang mata gadis itu, Adiba berkedip. "Infusnya? Syaratnya kamu makan yang banyak oke?" pinta Akmal. Adiba menangguk pelan dan terus menatap manik elang itu.
"Alhamdulillah. Mau mengucapkan Alhamdulillah? Ayo pelan-pelan," ajak Akmal menggerakkan bibirnya untuk mengucap syukur. Adiba mengikuti gerak bibir dengan menatap bibir ranum Akmal.
'Sungguh bahagianya ... kamu, teruslah di sampingku,' batin Adiba yang merasa nyaman dan bahagia karena keberadaan Akmal.
"Oke ... ini akan sedikit sakit ya Adiba. Jadi ... pejamkan matamu, Bismillah." Akmal melepas jarum infus. "Sakit?" tanya Akmal menatap Adiba yang saat itu menatapnya.
'Ini kenapa jantungku seperti berperang? Gawat,' batin Akmal. 'Akmal kamu punya calon istri, jangan adakan lagi perasaan untuk Adiba,' batin Akmal yang segera mengalihkan pandangannya. 'Ini benar-benar diluar rencana, Ya Allah ... bantu hamba, agar tidak jatuh cinta lagi kepada Adiba,' imbuhnya dalam hati yang mulai salah tingkah.
"Ekhm. Mau makan apa? Buah? Atau bubur?" tanya Akmal tidak berani menatap mata indah Adiba.
'Coklat, dia memberiku coklat dan aku membuangnya? Aku acuh kepadanya, saat dia berusaha menjadi pahlawan karena membela Kak Ridwan saat Abi menolak Kak Ridwan? Karena dia Abi merestui hubungan aku dan Kak Ridwan.Apa dia ... tetanggaku yang tidak aku suka? Ya, dia ... yang dulu ada, saat aku patah hati, dia yang menghiburku dan aku tetap ilfil kepadanya. Dan sekarang, saat aku hancur, aku butuh dia. Ya Allah ....' Adiba ingat siapa Akmal.
Air mata penyesalan berlinang, ketika dia terbelenggu dengan memori beberapa tahun lalu.
"A_fwan." Suara Adiba dengan mata berkaca-kaca. Akmal menoleh saat Adiba menjatuhkan bulir bening dari kelopak matanya. "Af_wan." Adiba tak kuasa, dia merasa malu kepada Akmal.
"Syuttt. Untuk apa minta maaf, jangan menangis, nanti sesak napas, oke ... tenang. Jangan minta maaf." Akmal duduk di bawah dan mengusap air mata Adiba, dia kemudian meraih gelas lalu membuka tutup.
"Minum perlahan, dengan Bismillah," pinta Akmal lembut, meminumkan perlahan ke mulut Adiba, lalu membersihkan air yang tumpah dari bibir Adiba.
'Apa ini karma ku? Dulu aku sangat tidak suka. Ya Allah sesungguhnya semua adalah hambaMu dan ciptaanMu. Apa alasanku, hingga tidak suka, bahkan ilfil. Sombong sekali hamba. Astagfirullah ... semoga Engkau mengampuni dosa hamba yang begitu banyak. Mas Akmal Afwan ....' Adiba menyesali semua tingkahnya.
"Syuttt kok nangis lagi. Waduh ... aku tidak bisa komedi, karena aku bukan pelawak," ujar Akmal sambil menggaruk kepalanya. Akmal berdiri lalu meletakkan gelas lalu mendorong Adiba untuk melihat taman.
Akmal membuka tirai dan pintu. "Bunga-bunga ... kamu sangat suka bunga Adiba. Aku ingat, saat bolaku tidak sengaja memecahkan pot bunga mawar. Kamu marah, est ... jangan nangis lagi. Aku memaafkan tapi kamu tidak boleh menangis, oke. Tunggu ponselku bunyi," ujar Akmal lalu mengambil ponsel.
Bersambung.