Saat Rose berjalan, matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Bian yang ternyata juga memperhatikannya. Saling beradu pandang dalam diam kemudian dengan cepat Rose pergi berlalu. Ia percaya diri kalau Bian tidak akan mengenalinya karena wajahnya ia tutupi dengan masker.
Apakah itu benar? Tentu saja tidak.
Dari tadi Bian memperhatikan pertunjukan menarik dari seorang wanita misterius hingga dirinya terkagum. Di tempat berkumpulnya orang-orang kaya dan juga para bisnisman seperti dirinya, terdapat wanita muda dengan gayanya yang berbeda yang berani memperlakukan pria gendut yang berlagak sombong tadi dengan sangat berani.
Bian tidak melepaskan pandangannya sedikitpun sampai wanita tadi berjalan hendak melewatinya lagi. Kembali Bian memastikan aroma wewangian yang ia hirup sebelumya berasal dari tubuh yang sama seperti Mayang.
Saat mata mereka bertemu untuk sekian detik, Bian memiliki keyakinan kalau wanita itu adalah Mayang. Bibirnya tersenyum simpul setelah wanita itu berlalu diikuti dua orang lelaki yang sama.
Dan setelah satu lelaki tegap lainnya berjalan cepat menyusul wanita tadi, Bian juga berdiri dan mengikuti langkah pria tersebut yang nyatanya, langkah kakinya begitu cepat hingga Bian kehilangan jejak saat tiba di luar bangunan restoran.
Sebuah mobil sedan sederhana melintasi Bian yang berdiri. Mata Bian tertarik melihat kaca mobil barisan penumpang terbuka sedikit. Samar ia lihat, wajah wanita tadi seperti sosok yang ia kira.
"Mayang? Apa itu benar kamu?" ucap Bian pelan sambil memperhatikan sedan hitam tersebut menjauh dan hilang dari pandangannya.
Bian kembali menemui kliennya yang ia tinggalkan tadi. Karena pikirannya sedang kacau dengan sosok Mayang tadi, ia mengakhiri pertemuan mereka dan segera kembali ke rumah.
***
Sementara Mayang di dalam mobil menciptakan aura mematikan yang bisa sangat dirasakan oleh Mark, Ben, Dan Rick. Ketiganya tidak ada yang berani mengeluarkan suara mereka.
Pletak! Pletak! Pletak!
Tiga kali pukulan melayang di kepala Ben, Mark, dan Rick. Ketiganya mengaduh tanpa bersuara. Tidak disangka pria-pria gagah seperti mereka tidak berkutik di depan seorang wanita ramping seperti Mayang.
"Dasar Bodoh! Siapa yang menerima klien seperti itu, hah?" bentak Mayang pada ketiganya. Hening, tidak ada jawaban, bahkan suara garukan kepala mereka lebih mendominasi saat ini.
"Mark!" bentak Mayang lagi pada Mark.
"Bos Lion yang menelponku dan memberi perintah langsung, Bos!" jawabnya takut.
"Jadi karena dia yang menyuruhmu maka kau menerima klien bodoh seperti itu, hah?" tanya Mayang yang masih membentak. Mark tidak bisa menjawab. Posisinya serba salah kemarin.
Tidak mungkin dirinya menolak perintah Lion Black yang terkenal berdarah dingin. Tapi ia juga tidak berani mengatakan misi yang klien tadi inginkan. Jadi ia hanya berharap kebaikan hati bosnya sendiri agar dapat memaklumi ketidakberdayaannya. Karena ia tahu, Rose tidak akan larut menyalahkannya.
"Okey Mark, sepertinya kau terlalu santai kali ini, akan kukirim kau pada Kak Lily sekarang juga kalau kau mau," ucap Mayang bernada tenang sambil mengutak atik ponselnya.
"Jangan Bos!" ucap Mark dan Ben bersamaan. Sementara Rick yang mendengar nama Lily disebut langsung bergidik merinding.
"Kenapa? Bukannya kalian terlihat santai? Sementara Kak Lily kekurangan anak buah. Kenapa aku tidak berbakti pada Kakakku saja, kalau anak buahku di sini banyak yang menganggur? Mungkin salah satu dari kalian bisa menjadi tangan kanannya." Mayang menjawab mereka tanpa rasa bersalah.
Wajah ketiganya pucat mendengar ancaman dari bos mereka. Mungkin saja itu hanya candaan dan bualan kalau suasana hati bos mereka sedang baik-baik saja. Tapi tidak untuk sekarang. Sangat terlihat saat ini sisi Rose mendominasi sikap bos mereka.
"Kemarikan ponselmu Mark! Aku perlu menghubungi kakakku!" ucap Mayang pada Mark.
"Boss, please! Don't send us to Mr. Lily. We still want to live, Boss!"
(Bos, tolonglah! Jangan kirim kami pada Tuan Lily. Kami masih mau hidup, Bos!)
Pinta Rick yang sedikit mengerti apa yang dibicarakan bos mereka saat ini. Tentu saja, itu ancaman yang mengerikan bagi mereka. Lebih baik mati dari pada harus melayani Bos Lily di Dubai sana.
Sedikit info, Lily bukanlah nama asli saudara angkat Mayang yang sama-sama diasuh Black Jack. Nama asli saudaranya tersebut adalah Daw Khemkhaeng, seorang lelaki berdarah Thailand yang sedikit gemulai yang tidak menyukai wanita, bisa disebut seorang Gay. Lily adalah bunga kesukaannya, maka dirinya mengambil nama Lily Black sebagai nama mafianya. Bisa sedikit jelas bukan, kalau Mark, Ben, dan Rick merengek pada bos mereka untuk tidak dikirim ke tempat Lily.
Lily Black adalah anak angkat Black Jack kedua setelah Sky Black, anak angkat pertamanya. Sedangkan Lion dan Rose anak ketiga dan keempat.
Kalau Rose merupakan senjata pembunuh jarak jauh, Lily adalah petarung jarak dekat dengan keahlian Thai Boxing dan senjata tarung dari jarak dekat lainnya.
Kembali ke situasi di dalam mobil…
"Boss, please!" rengek Rick lagi.
"Diam kau! Kali ini kalian selamat," Mayang mengomel, namun akhirnya ia membatalkan keinginannya dan mengembalikan ponsel Mark.
"Ben, aku tidak mau pulang. Carikan aku pantai!" perintah Mayang.
"Roger!" jawab Ben senang. Ketiganya bernafas lega. Kali ini mereka selamat. Namun sejujurnya Mayang juga tidak tega membuang mereka, karena mereka bertiga sudah seperti keluarga yang dicintainya.
***
Kediaman Heldana…
"Kak, kenapa kau pulang begitu cepat?" tanya Trian pada Bian yang baru saja tiba di rumah mereka.
"Apa aku harus meminta izinmu dulu untuk pulang ke rumahku?" jawab Bian dengan nada datar. Wajahnya tampak rumit. Train mendekati sang Kakak yang duduk bersandar di sofa.
"Ada apa? Kenapa kau terlihat seperti kalah tender ratusan milyar? Kali ini siapa yang mengacaukanmu?" tanya Trian sambil menyodorkan sekaleng minuman dingin pada Bian. Bian menyesap cairan isotonic tersebut hingga tersisa separuh.
"Ratusan milyar tidak ada artinya kalau saja kau tahu apa yang kulihat hari ini!" ucap Bian tidak bersemangat. Sambil menoleh pada si kecil Ziel yang tengah mewarnai di ruangan lainnya bersama seorang pelayan wanita.
"Jangan sekarang, ada Ziel. Ngomong-ngomong, apa kau sudah tahu asal-usul Mayang?" tanya Bian ketika kembali menoleh ke Trian.
"Wow, apa aku tidak salah dengar, Kak? Apa kau benar-benar serius jatuh cinta pada gadis itu? Kalian baru kenal beberapa hari dan tadi mal-" Trian menggantungkan kalimatnya serta refleks menutup mulutnya saat menoleh ke arah Ziel yang sedang memperhatikan mereka.
"Jangan bilang kalian sudah melakukannya tadi malam, Kak! Jadi, di mana anak emas kalian tidurkan?" pertanyaan konyol yang dibisikkan Trian semakin membuat Bian sakit kepala.
Kraak!
Terdengar suara kaleng yang diremas Bian hingga sisa cairan isotonic di dalamnya tumpah membasahi celana sendiri.
"Sumpah! Aku tidak tahu kenapa Tuhan mengirimkan Ayah dan Ibu untuk memberiku adik sepertimu!" ucap Bian yang kesal sambil menatap adiknya yang konyol tersebut.
"Kau cari info tentang Mayang atau aku yang cari sendiri? Dan kalau infonya tidak kuterima malam ini, Wing akan kuserahkan ke badan amal! Setimpal?" ucap Bian lagi. Kali ini Trian membuka mulutnya lebar.
"Wah wah wah. Demi seorang gadis kau merelakan adikmu sendiri?" tanya Trian dengan wajah serius dan marah tepat beberapa senti di depan wajah Bian, lalu setelah beberapa detik, segera ia menarik wajahnya kembali sambil meringis teraniaya.
"Baiklah Tuan Bian yang agung. Ampunilah adikmu ini. Baiklah akan kucari info Mayang untukmu, asal jangan Wing-ku yang diambil, ya!" Trian kembali cengengesan memohon. Mana berani ia melawan perintah sang Kakak jika ancamannya seperti itu.
"Baiklah aku berangkat," pamitnya pada Bian yang malas memperhatikannya.
"Ziel! Paman kecil mau mencari Ibu Perimu, apa kau mau ikut?" Trian sedikit mengeraskan suaranya memanggil Ziel dengan sengaja dan kemudian berlari secepat kilat. Tentu saja Ziel langsung berdiri dan berlari mengejar Trian yang sudah terlebih dahulu menghilang.
Bian mau tidak mau mengejar si kecil yang ingin mengejar Trian yang sudah tidak nampak lagi.
"Triaaan! Awas kau pulang malam ini!" teriak Bian pada adiknya yang sudah melajukan mobilnya dan membuat si kecil menangis.
Sementara Trian tertawa terbahak melihat kakaknya berteriak dari kaca spion mobinya, "Rasakan! Dasar kakak durhaka! Hahaha!" tawanya puas.