Aku sadar sakit ini menjerit keras di pikiranku.
Kehilangan jati diriku yang sebenarnya.
Dalam suara kehancuran yang terbawa deruan angin.
Tapi tidak masalah, karena aku telah melupakan hidupku yang dulu.
Hidup yang tanpa perasaan dan kebahagiaan.
Dan hati ini, sudah kukunci rapat-rapat.
Dari suara tangisan yang terdengar.
Dan tanpa ragu, kuyakin tangisan itu adalah milikku yang terbuang untuk manusia yang tidak menginginkanku…
Mayang/ Black Rose
***
"Ben, sejak kapan Bos seperti itu? Tadi malam sebelum kita meninggalkan apartemen Bos, dia tidak seperti itu?" tanya Mark pada Ben. Mereka bertiga dari jarak yang tidak begitu jauh, memperhatikan gelagat Mayang yang duduk terdiam di pinggiran pantai.
Membiarkan kakinya hingga celana yang ia kenakan basah terkena ombak yang bergantian naik ke tepi.
"Aku tidak tahu. Bos kelihatan frustasi waktu aku menjemputnya dari lokasi syuting tadi. Dan Bos bilang, dia baru saja bertemu dengan lebah pengganggu," jawab Ben.
"What are you talking about? I do not understand!"
(Apa yang kalian bicarakan? Aku tidak faham!) omel Rick pada dua rekannya itu.
"Siapa yang suruh kau tidak mau belajar bahasa yang Bos pakai? Dasar payah!" gerutu Mark.
"Hey, Mark! What did you just say?
(Hai, Mark! Apa yang kau katakan?) tanya Rick pada Mark. Dan kemudian menoleh ke Ben di sebelahnya.
"Ben, what did he say? I know he swore at me!"
(Ben, apa yang dia katakan? Aku tahu dia mengumpat padaku!) tambahnya lagi.
"Never mind, why don't you just focus on the Boss? And what Mark told you was right, Rick! Quickly understand the language. We have trouble deciphering every sentence for you! It's not flexible, Rick!"
(Sudahlah, kenapa kalian tidak fokus saja pada Boss? Dan apa yang Mark katakan padamu benar, Rick! Cepat pahami Bahasanya. Kami kesulitan mengartikan setiap kalimat untukmu! Itu tidak fleksibel, Rick!) jawab Ben pada Rick.
"Yes, I understand, sorry!" jawab Rick agak murung. Satu tepukan di bahunya dari Mark membuatnya menoleh ke samping.
"Don't be sad! We will help you!" ucap Mark pada Rick sambil tersenyum. Dan setelah itu Mark beranjak dari tempatnya, menuju entah ke mana.
Tidak berselang lama, Mark kembali membawa kantung plastik berisi soft drink dan berjalan mendekati Mayang. Ben dan Rick yang melihatnya, ikut serta di belakangnya. Duduklah mereka sejajar dengan Mayang.
"Bos, minum dulu," ucap Mark pada Mayang sambil menyerahkan sekaleng minuman yang baru ia bawa. Sisanya ia bagikan pada dua temannya.
"Bos, sebenarnya apa yang membuat Bos hari ini berbeda?" Ben memberanikan dirinya untuk bertanya. Mayang meneguk minumannya, lalu menghembuskan nafas kasar sebelum ia bicara.
"Entahlah, aku juga tidak tahu! Entah kenapa hari ini moodku begitu jelek. Dan rasanya mataku pedih dan dadaku sesak seperti ingin menangis. Tapi pikiranku menolaknya," jawab Mayang tenang.
"Kami siap mendengarkan cerita Bos kalau Bos ingin berbagi," ucap Mark menoleh ke Mayang. Senyum simpul terukir di bibir Mayang.
"Kalian tahu, apa yang membuat Rose ada?" tanya Mayang pada mereka bertiga. Dan ketiganya menggeleng.
"Rose ada karena kehancuran Mayang," jawabnya sendiri. Kemudian ia kembali berucap, "Rose lahir, saat Mayang tidak berdaya. Rose berbeda dengan Mayang. Walau dia hebat dan tidak takut dunia, tapi Rose punya kelemahan. Dia tidak punya hati selembut Mayang," kalimatnya kembali terhenti.
Terdiam beberapa saat, menikmati deburan ombak yang menjilat kaki mereka, dan merasakan sambaran angin pantai di senja hari.
"Tapi Mayang terlalu lemah dan mudah dihancurkan. Itu yang membuatku bimbang. Kalimat 'wanita murahan' tadi mengingatkanku pada diriku dulu yang tidak mampu membalas perlakuan mereka yang selalu menghinaku. Tapi aku bisa apa? Mayang memang wanita lemah yang hanya bisa menangis," Mayang kembali berucap lalu ia tertunduk. Kesedihannya bisa dirasakan ketiga anak buah di sampingnya.
"Tapi, Mayang yang lemah sudah berganti menjadi Ros yang kuat. Jangan lagi disedihkan, Bos!" Ben berucap.
"Ya, kau benar, Ben. Jiwa lemahku sudah mati. Tapi itulah yang membuatku sakit dan bimbang seperti sekarang," jawab Mayang.
"Maksud, Bos?" kali ini Mark yang bertanya. Sementara Rick hanya diam mendengarkan bahasa yang mereka gunakan yang tidak dapat ia pahami dengan baik.
"Aku juga ingin hidup normal. Mencintai seseorang dan memiliki keluarga. Hidup menua menghabiskan sisa usia, dan mati dengan tenang. Wajar, bukan?" Mayang berucap, dan hal itu membuat Ben dan Mark sedih untuk Bos mereka.
"Wajar untuk Mayang tapi mustahil untuk Rose, iya kan, Bos?" jawab Ben.
"That's right!" jawab Mayang singkat. Akhirnya Ben dan Mark mengerti apa yang dipikirkan oleh Bosnya sekarang. Mengingat dan memperhatikan kehidupan Bos mereka di sini yang terlalu erat berhubungan dengan banyak orang. Dan itu mengingatkan Bos mereka pada hidupnya dulu.
Berbeda dengan hidup Rose yang penuh tantangan dan bahaya yang tanpa mempedulikan perasaan. Hanya kepuasan yang ia raih setelah berhasil membunuh satu persatu sasarannya.
Dan saat ini bathinnya beradu dan menimbulkan keresahan. Dia ingin menjadi normal tanpa meninggalkan sosok Rose yang berani, tapi Rose dan Mayang saling bertolak belakang.
Kembali mereka berempat terdiam. Merasakan angin yang semakin menusuk setelah bulan menggantikan tempat matahari dan membuat langit temaram.
***
Rentetan suara notifikasi terdengar dari ponsel Bian. Dengan cepat ia menggeser layar pipih ponselnya karena ia yakin pesan tersebut berasal dari adiknya.
Belum lagi ia membuka isi pesan tersebut, dering panggilan terdengar, menampilkan foto seorang lelaki muda tampan yang sedikit mirip dengannya. Tentu saja wajah itu biasa saja bagi Bian.
"Apa lagi?" jawabnya langsung.
"Kakak, apa aku sudah bisa pulang?" tanya Trian terdengar cengengesan.
"Kuampuni kau malam ini, tapi jangan pulang. Ziel menangis hebat sampai sekarang gara-gara ulahmu! Kau akan jadi pelampiasanku kalau kau pulang!" jawab Bian bernada datar. Sementara orang yang di ujung sambungan telpon sudah bergidik mendengarnya.
"Baiklah, Kak! Lagipula aku ada urusan dengan teman baruku, mungkin dua malam ini aku tidak pulang, haha!" jawab Trian sambil tertawa senang.
"Dua hari? Apa kau mau bercinta sampai mati, hah? Kalau kau tidak datang ke kantorku besok, tamatlah riwayatmu!" ucap kesal Bian pada adiknya yang menjengkelkan.
"Wah wah wah, sepertinya ada yang cemburu di sini! Hahaha! Baiklah Kakakku yang tampan, silahkan pelajari laporanku barusan, dan aku akan berolahraga malam dulu, sampai jumpa dua hari lagi!" ledek Trian pada Bian sebelum memutuskan panggilan mereka.
"Ya Tuhan, aku bisa gila karena ulah anak itu! Semoga senjatamu tidak bisa berdiri malam ini!" Bian mengutuk adiknya dalam kekesalan. Bian kesal karena saat ia masih berusaha mendapatkan Mayang, sementara sang adik malah menyindirnya dengan kekonyolannya yang suka bergonta-ganti wanita untuk bercinta.
Kekesalannya berganti menjadi serius saat membaca data-data tentang Mayang. Dari sana ia tahu, kalau Mayang adalah putri keluarga Reksa lulusan California State University, dan tinggal di California selama lima tahu belakangan.
Mata Bian membulat, saat membaca laporan pada slide selanjutnya. Matanya tertarik pada nama Alden Rajasa dan Nathael Verlon sebagai mantan kekasihnya.
"Alden Rajasa, ceo muda dari keluarga Rajasa itu, kan? Sepertinya aku pernah beberapa kali bertemu dengannya. Dan Nathael Verlon, siapa dia? Namanya tidak asing, tapi aku tidak mengenalnya," Bian larut dalam pikirannya sendiri. Karena tidak menemukan jawabannya hingga kesal, kembali Bian menelpon adiknya yang tengah bersiap melakukan olahraga malamnya bersama wanita seksi berambut ikal di atasnya.
Ponsel Trian terus saja berdering dan menganggu konsentrasi dan pemanasan mereka.
"Apa lagi, Kak? Kenapa kau tidak bisa membiarkan hidupku tenang?" omel Trian kesal.
"Jadi kau berani mengeluhkan aku?" tanya Bian sambil tersenyum licik. Ia tahu kalau saat ini ia telah mengganggu adiknya yang sedang bercinta.
"Tidak tidak tidak, aku tidak berani. Jadi apa lagi yang Kakak mau?" tanya Trian kesal.
"Siapa Nathael Verlon?" Bian menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
"Tentu saja mantan kekasih Mayang! Artis baru yang sedang booming. Dan mengambil peran di Wing bersama Mayang. Apa sudah cukup? Baiklah aku matikan!" Trian menjelaskan, dan langsung mematikan ponselnya sebelum Bian kembali bicara.