Chereads / This is me, Quin / Chapter 3 - SMA Loyal I dan XI MIPA A

Chapter 3 - SMA Loyal I dan XI MIPA A

Kini aku sedang duduk disamping Zea dibarisan tengah kedua dari depan. 2 meter didepanku, berdiri Pak Satrio—yang tadi 'menyambut' ku di depan kelas. Pak Satrio sudah menyampaikan pesan nya untuk kami, yang sebenarnya hanya pengumuman singkat berisi pemberitahuan tentang perwakilan kelas ini yang akan menyambut siswa siswi baru nanti. Seperti tahun lalu.

"Baik, Bapak rasa hanya itu. Perwakilan kelas ini sama seperti tahun lalu. Sisanya tunjukkan bahwa kalian yang harus dicontoh oleh semua siswa siswi di SMA Loyal I. Kalian siap?!"

"Siap laksanakan, Pak!"

Kelas pun riuh dengan tepuk tangan—menyemangati seisi kelas. Setelahnya Pak Satrio pamit pergi dan menyerahkan kegiatan menyambut siswa siswi baru kepada kami alih-alih kepada OSIS.

SMA Loyal I punya aturan khusus yang berbeda dari sekolah lain. Diantaranya peraturan menyangkut MOS. Setiap tahun ajaran baru, keputusan pengadaan MOS diserahkan kepada kelas ber inisial A. Biasanya jika diadakan, akan dilaksanakan dihari ke-3 setelah masuk sekolah. Tata cara pelaksanaan MOS pun lebih seperti hukuman kepada siswa siswi baru yang dirasa kurang ber-etika. Tapi, kata MOS dan hukuman tidak boleh disebut alias dirahasiakan. Dengan catatan: Sekali hukum langsung jera. Karena Pak Satrio tidak menginginkan adanya Bullying di SMA Loyal.

Perlu diketahui, hukuman bagi para pem-bully di SMA Loyal (I, II, III) cukup berat. Sekali ketahuan mem-bully, hukumannya adalah skors seminggu. Dan untuk yang kedua dan terakhir kali adalah Drop Out tanpa jaminan bisa diterima disekolah lain.

Itu hukuman yang cukup berat mengingat SMA Loyal adalah SMA bergengsi, bersih tanpa suap, dan memiliki reputasi yang sangat baik. SMA loyal I bahkan terdiri dari siswa unggul dengan nilai tes tinggi—yang nilai tesnya akan diterima ketika rata-rata tes berjumlah di atas 85,00.

Ah, Aku hampir melupakan tugasku selanjutnya—memimpin diskusi sebagai ketua kelas. Aku bangkit dari kursiku dan berdiri di depan kelas—persis di posisi Pak Satrio berdiri sebelumnya.

"Attention please! Guys, kita buka diskusi pagi ini untuk MOS angkatan baru 3 hari mendatang. Galih, silahkan catat di papan tulis apa saja yang disebutkan dalam diskusi. Silahkan utarakan apapun hal yang memungkinkan dalam MOS kali ini. Apapun." Percaya lah, kata 'apapun' dariku memberi efek cukup besar dalam memacu semangat kami. Efek itu bahkan membuat teman-temanku berekspresi serupa saat mendengarnya—licik dan seringai.

Kelas kami masih menyandang gelar A sejak murid kelas XI Sastra A angkatan tahun lalu di pecah dan di pisah ke kelas yang berbeda. Aku berharap kelas XII nanti, kami masih sekelas dan menyandang gelar yang sama lagi.

"Sesi memberi pendapat dimulai! Silahkan ajukan pendapat masing masing berurut sesuai absen." Arahan Galih membuat Arc mengajukan tangan dengan semangat. Aku tersenyum sekilas. Tidak salah ku pilih Galih sebagai sekretaris kelas sejak pertama kali aku menemuinya di kelas ini tahun lalu.

"Bagaimana kalau kita menyamar jadi siswa baru juga? Kita bisa menyaksikan langsung bagaimana sikap mereka selama disekolah. Kita diberi hak untuk itu. Selanjutnya kita bisa tau seberapa jauh langkah yang perlu kita ambil untuk rencana ini." Arc ini, idenya lumayan juga.

Melihat galih merangkum pendapat Arc di papan tulis, aku mengangguk singkat lantas berseru, "Ada tambahan atau koreksi?"

Tak sampai 2 detik, Sarah mengangkat tangan dan berkomentar setelah aku mempersilahkan. "Saya kurang setuju, menurut saya penyamaran seperti ini terkesan curang. Terlebih rasanya kurang efektif kalau kita menilai mereka sebagai 'teman-baru-yang-belum-saling-terbuka'. Saran saya, kita bisa memikirkan cara yang lebih efisien untuk menilai mereka dengan memberikan mereka kesempatan menunjukkan sikap mereka secara langsung sebagai 'junior'. Terima kasih."

Secara langsung ya? Hmm, tanpa sadar aku tersenyum. Ada sesuatu yang muncul dipikiranku saat ini.

Derit kursi dari sudut belakang kelas membuyarkan pikiranku. Aku sontak menoleh, disana terlihat Zidan yang barusan berdiri sambil mengacungkan tangannya dengan tergesa-gesa. Aku hampir tertawa melihatnya, Zidan memang selalu begitu. Aku tebak dia akan mengajukan ide gila.

"Ya ya, Zidan. Tidak perlu terburu-buru. Semua tau ini giliranmu. Tidak akan ada yang berani merebutnya, ya kan teman-teman?" Seisi kelas menyambut kalimatku dengan tawa. Zidan selalu khawatir dengan urutan terakhir karena namanya Zidan. Padahal namanya adalah Azidan.

"Quin, aku--"

"No, no Zidan. Formal. Dan lagi, katakan pada Galih. Bukan pada Quin." Dalam beberapa hal, Zidan mirip dengan Zea ataupun Geo. Dia lebih dekat denganku dari pada teman yang lain. Ya, walaupun pertama kali aku bertemu dengannya dia hampir membuatku membunuhnya.

"Ya, Quin. Ehem, bagaimana jika kalian membiarkan orang suruhan saya menculik mereka satu persatu. Saya akan membuat mereka jera dengan mudah saat mereka dikumpulkan di satu tempat atas perintah saya. Saya akan menggunakan metode rahasia saya untuk itu."

Pfft, aku reflek membalikkan badan. Astaga, aku hampir saja tertawa kencang. Zidan memang agak kekanakan. Dia termasuk salah satu tipe manusia kaya yang dimanjakan harta.

Tapi tentu aku harus adil bukan? Walaupun mungkin pendapat Zidan tidak akan dipakai nanti, pendapatnya tetap harus diterima kan?

Aku berbalik menatap Zidan dan tersenyum kecil. Zidan mengangguk dan kembali duduk dengan tenang. Dia anak yang cukup manis.

"Baik, Galih catat dan lanjutkan."

Aku lupa memberitahukan satu hal kepada kalian. SMA Loyal I memulai upacara senin pagi pada pukul 7.30 dan memulai agenda belajar setiap harinya pada pukul 8 pagi. Walau begitu, gerbang sekolah akan ditutup pada pukul 6.50. Kata Pak Satrio, siswa siswi diberi waktu kurang lebih 1 jam setiap harinya untuk melakukan apa yang mereka suka sebelum memulai belajar agar proses belajar terasa lebih menyenangkan.

Dalam 1 jam itu, siswa siswi bebas melakukan apapun kegiatan di sekolah—selama itu kegiatan yang bukan termasuk pelanggaran—seperti; ke perpustakaan, sarapan di kantin, olahraga atau berdiam diri di kelas bersama teman-teman. Dan ini terbukti efektif mengingat jarang ada siswa yang menguap dan bertingkah selama proses belajar mengajar berlangsung.

Aku menoleh ke papan tulis putih yang sudah dipenuhi tulisan. Dari sekian banyak tulisan—rangkuman pendapat—yang ada, satu kalimat yang menjadi kesimpulan diskusi pagi ini di tandai dengan lingkaran spidol merah. Tanpa sadar aku tersenyum senang saat membacanya.

Berselang beberapa detik, bel tanda 10 menit sebelum upacara berbunyi nyaring. Itu artinya sekarang sudah pukul 7.20 dan sudah saatnya menutup diskusi dadakan ini.

"Alright, guys. Keputusan sudah di dapat dan persiapan akan dimulai saat jam makan siang. Pembagian tugas terkait akan diserahkan pada Galih dan Gerard. Teknis lapangan akan diserahkan pada Zea dan Geo. Dengan ini, diskusi pagi ini sudah selesai. Segera ke lapangan upacara."

◽♨◽

Tepuk tangan riuh menggema di lapangan upacara SMA Loyal I—menandakan upacara berakhir dan dimulainya sambutan untuk siswa siswi baru.

Aku, dan beberapa teman sekelas ku berdiri disekitar podium upacara untuk menyambut para siswa baru. Aku melangkah ke podium dan memulai sambutannya—seperti tahun lalu.

"Selamat pagi Adik-adik. Saya dan teman teman saya menyambut kalian di sini. Selamat datang di SMA Loyal I!"

Ucapan 'terima kasih kak' terdengar heboh setelahnya. Bersemangat sekali. Aku melirik ke kiri dan kanan—bertukar pandangan pada teman sekelas ku dan saling melempar senyum.

"Agar lebih akrab, saya akan menggunakan panggilan yang nyaman saja. Kakak dan teman-teman kakak di sini ingin memperjelas tentang salah satu aturan di SMA Loyal I, yaitu ditiadakannya MOS untuk kalian. Tapi sebagai gantinya, akan diadakan games antara kami kelas XI dan kalian kelas X, maaf kakak senior, kalian tidak bisa ikut kami bermain~"

Suara tawa terdengar dibarisan kelas XII. Mereka ikut menyambut dan membuat suasana tidak tegang. Contohnya, Kak Mega yang sedang mengacungkan tangan dan bertanya senang, "Kalau begitu, kami mau mendukung kelas X saja, boleh tidak Quin?" Aku terkekeh kecil—membuat beberapa baris siswi kelas X tersenyum sinis. Mungkin mereka ingat, aku adalah orang yang tadi mereka berikan tatapan sinis dan merendahkan.

"Boleh dong. Tapi apa tidak ada yang mau mendukung kami kelas XI?" Pertanyaan ku kembali membuat seisi lapangan tertawa. Tapi dibarisan belakang khusus PMR dan UKS, terlihat seseorang mengacungkan tangan antusias. "Pendukung kelas XI mana suaranya?!" tepuk tangan beserta sorakan ramai terdengar setelah Kak Ega selesai berseru.

"Baik-baik, tidak ada larangan untuk mendukung siapapun. Tapi untuk yang mendukung kelas XI, kami ucapkan terima kasih!"

Aku cukup terkejut saat melihat ada seorang siswa kelas X yang begitu antusias dengan game ini dan langsung menanyakannya dengan tak sabar. "Kak, ayo beritahu kami, apa game nya dan apa yang harus kami lakukan agar dapat mengalahkan kakak dalam game ini"

Aku dan teman teman ku sontak berkata 'Wah' tanpa suara. Anak ini begitu berani tanpa tau apapun tentang kami.

"Wah, wah tidak sabar rupanya. Baiklah, kakak akan menjelaskan sedikit tentang game nya. Game dari kami ini bernama 'Ayo bertukar peran!' Game nya tentu mudah, jadi tenang saja. Semua siswa siswi kelas XI akan bertukar peran sehari dengan kalian. Kalian akan berperan sebagai kakak kelas kami dan menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan kakak kelas kepada adik kelasnya. Kami juga akan bersikap seperti adik kelas menurut pandangan kami. Kalian bebas melakukan apapun yang seharusnya dilakukan kakak kelas kepada adik kelasnya dan kami juga begitu. Tapi ingat ini hanya berlaku sehari dan itu artinya besok. Lusa akan ada penentuan hadiah dan hukuman. Games ini akan berlaku sejak gerbang ditutup besok pagi."

Aku menambahkan dalam hati, 'lusa juga adalah hari kalian di eksekusi' dan itu membuatku tenpa sadar tersenyum tipis.

"Dapat dipahami kelas X?"

Sudah kuduga mereka akan seantusias ini hingga rasanya suara mereka mengalahkan suara mic.

"Baiklah, setelah ini segera masuk ke kelas masing-masing dan persiapkan rencana kalian besok. Sekali lagi kami ucapkan, selamat bergabung di keluarga Loyal I!"

Perintah untuk bubar pun diberikan. Seluruh siswa siswi SMA Loyal I bergegas ke kelas masing-masing. Tapi, baru saja aku ingin menyapa teman teman ku, Kak Egi—kembaran Kak Ega memanggil, "Quin, Aku tidak tau apa rencanamu, tapi sepertinya game itu bentuk MOS dari kalian untuk murid baru, benar?" Aku tidak terkejut karena aku tau, Kak Egi memang pandai menebak. Aku hanya tersenyum dan melambai pada nya. Dia ikut tersenyum—yang kuanggap sebagai persetujuan dari kelas XII.

Saat sampai di kelas dan menunggu jam pertama pelajaran hari ini dimulai, aku berseru riang dari depan kelas.

"Guys, Let's do it tomorrow. Karena besok kita akan menemukan apa yang kita cari. Dan lusa adalah hari kita mengeksekusi. Bersikap sesuai rencana dan kontrol diri untuk hasil yang sempurna. Kita tunjukkan siapa kita dan peran apakah kita disini."

Inilah yang ku suka dari mereka. Mereka bisa mengimbangi diriku.

Semangat mereka harus dipacu. Aku mengepalkan tanganku dan mengangkatnya tinggi. "Done it all, guys!!"

"Yeaah!!"

Inilah kami, XI MIPA A. Bagian terpenting dari SMA Loyal I.

=======

Hai hai makasih yang udah mau baca :)

Kalau ada typo atau salah apapun bentuknya, bantu aku perbaiki ya :)

See you next time~

Up : Senin 14 Desember 2020

Revisi : -