Chereads / This is me, Quin / Chapter 8 - A Little Job (3)

Chapter 8 - A Little Job (3)

PERINGATAN!

Bagi kalian yang mudah membayangkan sebuah adegan (mem-visualisasi-kan adegan) dari tulisan, merasa ngeri dengan adegan yang berdarah-darah dan sedikit kejam, diharapkan berhati-hati pada pertarungan Quin dan Gery. Terima kasih.

=======

Setelah hening yang cukup lama, Ars memulai percakapan. "Dad, kita akan langsung ke bandara kan? Pulang?" Kami diperjalanan pulang saat ini—dengan 1 mobil, SUV ungu favorit Mom. Audi putihku sedang dalam perjalanan bersama truk derek yang sudah dipanggil sebelumnya. Pekerjaan itu sudah selesai beberapa menit yang lalu. Misi sukses tanpa luka berat. Hanya(?) sayatan-sayatan ringan yang sedikit terasa pedih.

"Tidak, kita akan kembali ke mansion dulu." Aku yang mendengar jawaban Dad juga ikut bingung—sama seperti Ars.

"Untuk apa, Dad? Ini sudah hampir pukul 1 dini hari. Dad tau kan MOS tahun ini akan diadakan hari ini?" Ars masih melanjutkan pertanyaannya. Dad mengangguk merespon pertanyaan itu. Dad lalu memberi jawaban yang kemudian membuat Ars mengerti.

"Kenapa buru-buru begitu, Ars. Kau lihat dirimu dengan luka dan lebam itu. Juga kau lihat keadaan adikmu itu, bukankah terlihat darah masih mengalir dari bekas lukanya 1 jam lalu? Tidakkah itu terlihat menyakitkan?" Oh, Aku? Luka terbuka di beberapa bagian tubuhku memang terasa pedih sedari tadi, tapi ku pikir tidak separah itu.

"Kau seperti tidak mengenal Quin, sayang. Kau lupa dia itu anakmu? Dia bahkan sama seperti mu waktu itu, seolah tidak merasakan rasa sakit." Mom yang duduk di kursi sebelah Dad menggeleng. Ars yang dibelakangnya juga menggeleng. Dad tertawa, dan Aku hanya tersenyum tipis.

"Apa kau tidak merasakan apapun Quin? Dari tadi aku terus menekan lukamu, berharap kau meringis dan menyadari luka-luka ini adalah luka yang cukup serius." Geo disampingku memasang raut cemas. Tapi, setelah ku perhatikan, ada sorot senang dimatanya saat dia kembali menekan luka-lukaku.

Aku menggeleng menyadari itu. Dia memang mengkhawatirkan aku dengan keadaan luka seperti ini, tapi dia sekaligus senang bisa 'menyiksaku' dengan menekan lukaku yang masih basah.

"Kalau begitu baiklah Dad, kita kembali ke mansion sebentar untuk mengobati lukaku dan Quin. Tapi, setelah itu kita akan langsung kebandara dan menempuh 2 jam perjalanan dengan menumpang Harley kesayangan Quin, tanpa singgah kemanapun lagi. Setuju Dad?" Aku tersenyum setelah melihat Dad mengangguk setuju. Aku tidak berkata apapun sedari tadi—masih memikirkan kata-kata orang itu. Ars mengatakan segalanya mewakiliku.

Harley adalah salah satu jet pribadi milikku pemberian Dad. Aku Quin, maka aku memberinya nama Harley. Dan jet kesayanganku itu akan membawaku terbang kembali ke kota kami dalam waktu cepat meninggalkan semua yang tersisa disini—sesegera mungkin.

◽♨◽

Author's POV

2 Jam lalu (Pukul 10.10 pm waktu London)

"Dan usahakan bawakan otaknya padaku untuk makanan anjing di jalanan kota." Lelaki yang diajak berbicara itu terkekeh geli mendengar suara perempuan disampingnya, tapi lelaki tinggi itu tetap mengangguk.

Nada suara perempuan—yang tak lain adalah adik kembarnya itu berubah dingin saat mengatakan, "Maju Ars. Habisi dia."

Tanpa membuang waktu sedetikpun, lelaki yang dipanggil Ars itu langsung melesat ke arah lelaki lain didepannya dan mengayunkan pedang tanpa ampun. Tapi ternyata orang yang diserangnya itu—Frans—juga membawa senjata. Mirip dengan tombak, dalam ukuran lebih pendek. Teknik menangkis yang dilakukan Frans bukan hanya bentuk perlindungan diri atas serangan yang datang, tapi itu juga menegaskan dia siap bertarung hingga salah satu dari mereka berdua mati.

Satu-satunya perempuan yang ada di situ mengalihkan pandangannya kearah Gery—asisten Frans yang berdiri agak jauh didepannya. Lawan gadis itu sudah memasang posisi siaga. Lelaki itu terlihat menggeram rendah.

Dari sorot matanya, perempuan bernama Quin itu ingin menikmati permainannya malam ini, jadi dia mengawalinya dengan berjalan santai ke arah lawan di depannya sambil menyeret sebilah pedang di atas lantai semen bangunan ini.

Terlihat lelaki bernama Gery itu masih memasang posisi siaga. Posisi itu menyiratkan bahwa dia menunggu perempuan didepannya menyerang lebih dulu. Melihat itu, Quin tersenyum penuh arti, bahkan tanpa sadar dia memiringkan kepalanya sedikit.

"Hai Gery, sudah 7 tahun kita tidak bertemu. Apa kau mengingatku? Si Gadis Permen?" Quin sontak tertawa melihat reaksi lawannya itu—terkejut dan sedikit takut.

Gery Fernand, 20 tahun. Lelaki berparas tampan itu ternyata adalah bagian dari masa lalu Quin.

'Dia adalah salah satu orang yang sangat ingin ku miliki kepalanya.' Batin gadis itu dingin.

Tentu bukan masa lalu seperti yang kalian pikirkan. Di kehidupan gadis itu lebih sering di jumpai hal gila yang sangat jelas berbeda dari orang kebanyakan. Bahkan salah satu kejadian gila yang pernah terjadi di kehidupan gadis itu muncul disaat usia gadis itu baru memasuki angka 8.

"Aku tidak mengenalmu. Jangan mencoba memecah konsentrasiku. Sekarang majulah. Walau kau perempuan, aku tidak akan berbelas kasih. Di pertarungan kita ini, tidak ada laki-laki dan perempuan. Hanya ada 2 orang yang akan bertarung hingga salah satunya mati."

Quin tertawa lagi. Gadis itu merasa lucu sekali mendengar pernyataan lawannya barusan. Bahkan menurut gadis itu, Gery seolah meremehkannya.

'Dia lupa siapa yang dilawannya 7 tahun lalu?' Gadis itu kembali membatin dingin.

Gadis itu menyudahi tawanya dan menggantinya dengan senyum meremehkan. "Kau bilang apa? Tidak mengenalku? Oh ayolah tidak usah berpura-pura lupa. Sejak hari itu, aku bahkan tidak pernah melupakan wajahmu dan Dia. Sejak hari itu aku bersumpah, aku akan membuatmu melihat wajahku didetik terakhir hidupmu."

Gery hanya mendengarkan perkataan gadis itu dengan wajah datar. "Lagipula, aku tidak berniat memecah konsentrasimu—karena kita bahkan belum memulai bertarung."

Quin mengalihkan pandangannya. Dia melihat Ars dan Frans yang sedang bertarung. Gadis itu secara tidak langsung meremehkan lawannya dengan mengundur waktu bertarung—seolah menunggu lawannya siap mental. Gadis itu berdiri sambil menjadikan pedangnya tumpuan.

"Lihat, seru sekali sepertinya pertarungan mere-" Tapi lawan di depannya sadar akan hal itu. Gery mengayunkan pedangnya ke arah Quin dengan cepat. "Aku belum selesai bicara, Gery Fernand." Gadis itu mengakhiri kalimatnya dengan nada yang sangat datar. Dia sempat mendecih kesal karena lawannya ingin maju menyerang saat dia masih berbicara.

Gadis itu melanjutkan kalimatnya—masih dengan nada datarnya. "Dan ya, aku tidak mengharapkan belas kasihanmu itu. Simpan saja untuk dirimu sendiri. Kau akan lebih membutuhkannya di saat terakhir hidupmu nanti. Karena setelah pertarungan kita dimulai, nyawamu ada di tanganku. Aku yang akan menentukan; kau akan kubiarkan hidup atau ku kembalikan nyawamu kepada yang diatas." Tak ada senyum sedikitpun saat Quin mengatakan kalimat itu. Bahkan jika kalian menyaksikan mereka langsung saat ini, kalian tak akan bisa berkutik termasuk bergeser 1 inchi pun. Aura gadis itu saat berbicara begitu mendominasi.

Mereka berdua lalu terdiam lama, saling mengamati wajah lawannya. Raut wajah Quin masih datar. Tapi dari sorot matanya tersirat keinginan membunuh yang sangat besar.

Sedangkan wajah Gery, sekilas memperlihatkan raut tanpa ekspresi. Tapi jika diperhatikan lebih, sorot matanya menandakan kegelisahan. Apakah dia terintimidasi oleh aura membunuh yang dikeluarkan lawan didepannya?

'Keheningan akan terus berlanjut jika tidak segera diakhiri. Atmosfer ketegangan ini akan sia-sia jika tak ada pertarungan yang seimbang.' Batin Quin menimbang situasi.

Setelahnya, gadis itu memutuskan mengangkat pedangnya dan meletakkannya dipundak kanan.

Dia tersenyum meremehkan. "Kau takut Gery? Serang saja aku, tidak usah pedulikan genderku dan siapa aku. Lawan aku. Buat aku menyerah jika kau bisa."

Gadis itu menolehkan lagi pandangannya pada Ars dan Frans. Pertarungan mereka masih berlanjut. Kali ini mereka sedang beradu kepalan tangan. Beberapa detik sebelumnya, Ars berhasil membuang jauh tombak pendek Frans. Tapi di detik berikutnya, Frans menendang tangan Ars sehingga pedangnya ikut terlepas dan terlempar jauh dari jangkauan Ars.

Pertarungan antara dua lelaki itu kini berlangsung tanpa senjata apapun. Mereka bertarung dengan tangan kosong. Dan pertarungan mereka sudah berjalan sedari tadi. Tapi disini, Quin dan Gery bahkan belum memulai serangan serius apapun untuk mengawali pertarungan.

Gadis itu masih menyaksikan pertarungan seru dua lelaki itu seolah menonton pertandingan kick boxing dari balik arena.

Gadis itu sempat tersenyum kecil saat membatin lucu, 'Ars terlihat semakin tampan dengan wajah berkeringat seperti itu. Setiap aku berhadapan dengannya dan Geo, aku seolah bercermin dan melihat diriku sendiri dalam gender yang berbeda. Aku tanpa sadar memuji diriku sendiri tampan. Haha'

Keasyikan menyaksikan pertarungan dua lelaki itu, sebilah pedang hampir menebas leher Quin dari arah kiri jika dia tak berhasil menghindar. Gadis itu tersenyum lebar melihat Gery sudah ada dihadapannya memulai serangan.

Reflek gadis itu membantunya menghindari serangan fatal yang akan menebas lehernya—tanpa perlu peringatan dari siapapun. "Oho~ Terima kasih Geo. Tapi aku sudah tau serangan ini akan datang. Serangan yang diharapkan mampu menebas leherku di saat aku lengah."

Gadis itu memang sudah tau Gery akan menargetkan lehernya. Bahkan sebelum Geo—adik kembarnya memberinya peringatan lewat alat komunikasi mereka. Tapi dia tetap harus berterima kasih bukan?

Quin mendorong pedang Gery menjauh dengan pedang miliknya sendiri. Gery terdorong mundur 2 langkah.

Gadis itu mengacungkan pedangnya kedepan dengan angkuh. "Ayo kita selesaikan ini Gery. Bertarung sampai salah satu dari kita mati. Tidak ada kata mengalah dalam pertarungan ini. Bunuh aku, atau aku yang akan membunuhmu."

Dan sedetik setelahnya, hanya ada suara pedang yang beradu diantara mereka. Bunyi pertarungan sengit dua bilah pedang tajam dengan niat membunuh segera memecah keheningan malam—mengalahkan suara tinjuan dari pertarungan sebelah.

◽♨◽

1 Jam lalu (Pukul 11.19 waktu London)

Menurut Quin, Gery masih sama seperti dulu saat menyerang gadis kecil berumur 10 tahun. Caranya mengayunkan pedang, caranya menghindar dari tebasan dan caranya menahan serangan lawan.

Itu hal yang mengesankan mengetahui Gery sudah menguasai teknik bertarung itu sejak lama. Tapi itu sekaligus menunjukkan bahwa Gery tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan dari cara bertarungnya setelah sekian lama.

'Dia tak berubah. Payah seperti dulu.' Batin gadis itu.

Quin menangkis serangan lawannya yang hampir membuat lengan kanannya putus. Bunyi gesekan pedang setelahnya terdengar lantang saat Quin memutar jatuh pedang lawannya dan menarik goresan panjang dari perut kiri ke perut kanannya. Gery meringis, jatuh terduduk dengan kaos yang segera basah oleh darah.

Gery belum menyerah. Dengan posisi terduduk dia menyerang Quin dengan menyapukan kakinya untuk membuat Quin terjatuh.

Tapi Quin tidak jatuh. Gadis itu menghadapkan pedangnya ke bawah—menahan serangan yang akan menyentuh kakinya. Reflek yang sangat bagus diberikan oleh Gery untuk menghindari pedang Quin sebelum pedang itu memutus kakinya.

Sepersekian detik yang berharga memberikan Gery kesempatan untuk meraih kembali pedangnya. Dengan rasa sakit tertahan, Gery berdiri dan menempelkan pedangnya ke leher Quin. Sayangnya, gadis itu belum sempat bereaksi saat Gery menempelkan pedang itu ke lehernya.

"Menyerahlah, atau lehermu ku tebas sekarang juga." Gery mengatakan itu dengan intonasi angkuh.

Quin menggeram, tapi dia malah berkata rendah sambil berbisik. Bukan untuk Gery, tapi untuk adik kembarnya dibelakang yang sedang membidik Gery.

"Ini pertarunganku Geo. Aku tidak akan mati semudah itu. Jangan ganggu aku." Terlihat dibelakang gadis itu lelaki bernama Geo menurunkan bidikannya dan menembak lantai dekat kaki Gery. Gery yang terkejut mendapat serangan lain yang bukan dari lawan didepannya reflek melompat mundur dan membuat posisi pedangnya dileher Quin melonggar. Quin mendecih kesal, walau di akhiri dengan ucapan terima kasih atas bantuan kecil adiknya.

Pertarungan kembali berlanjut. Serangan berikutnya menjadi lebih sengit dari sebelumnya.

Slash! Bahu kiri hingga lengan Quin tergores bilah pedang lawannya secara vertikal. Quin meringis pedih merasakan cairan yang berbau anyir itu mulai mengalir turun menuju punggung tangannya.

'Aku hanya perlu mengulur waktu sedikit lagi dan dia akan segera kehabisan tenaga.' Quin menggumam pelan saat menyadari Gery selalu meringis setiap menyerangnya. Luka panjang dan dalam di perutnya itu menguras cukup banyak tenaga dalam waktu singkat.

Mengabaikan luka di lengan kirinya yg terus mengeluarkan darah, Quin maju dan menghunuskan pedangnya ke dada Gery. Reflek yang terlatih membuat Gery sempat menangkis serangan itu walau perutnya terluka.

Quin mengangkat kakinya dan menendang perut Gery yang terluka sekuat yang dia bisa. Gery kembali jatuh terduduk—bahkan kali ini nyaris berbaring lemah di lantai semen yang dingin ini. Dia sempat batuk darah di posisinya. Mungkin 1 atau 2 tulang rusuknya patah.

Menyadari kesempatan menyerang terbuka lebar, Quin bergegas lari dan bersiap menusukkan pedangnya ke dada Gery. Tapi, sepersekian detik sebelum pedang itu menyentuh tubuh Gery, lelaki itu berguling ke samping dan sigap langsung bangkit berdiri. Tapi malang nasibnya saat perutnya semakin terasa sakit dan membuatnya kembali jatuh dalam posisi berlutut.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, Quin menendang pinggang Gery sampai lelaki itu terlempar dan jatuh dalam posisi tengkurap.

Kondisi Gery mengenaskan. Perutnya terluka dan masih mengeluarkan darah, beberapa tulang rusuknya patah, luka sayatan yang terbuka masih mengeluarkan darah dan kini posisinya terpojok dengan kaki Quin menginjak kencang punggungnya—memberikan tekanan cukup besar untuk membuat luka diperutnya semakin parah.

Sebenarnya kondisi Quin juga tidak jauh dari kata 'mengenaskan' walaupun memang masih jauh lebih baik dari kondisi Gery. Lengan kirinya terluka dan belum berhenti mengalirkan darah segar, sayatan-sayatan terbuka yang serupa dengan milik Gery pun masih mengeluarkan darah. Nafasnya sedikit terengah-engah dan rambut yang sebelumnya terikat rapi kini terlihat lepek karena keringat. Ya, selebihnya dia baik-baik saja.

Malam terasa mencekam. Atmosfer pertarungan sengit itu masih belum turun walau salah satu petarungnya sudah dibawah kaki petarung lainnya. Quin terlalu sibuk dengan pertarungannya dan Gery sehingga gadis itu tidak mengetahui apa yang terjadi dengan pertarungan sebelah.

Tapi ternyata, pertarungan yang sudah dianggap sebagai kemenangannya itu membuat Quin lengah dan menyia-nyiakan kesempatan emas membunuh Gery dalam satu serangan fatal.

Quin yang saat itu tak sengaha melemahkan penjagaannya memberikan Gery kesempatan untuk memutar balik keadaan dengan sisa tenaga. Memang benar kata orang, tenaga laki-laki itu lebih besar dari tenaga perempuan—kecuali dalam kondisi tertentu.

Quin yang terlambat menyadari fakta itu membuat Gery mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk berguling dan membuat posisi berdiri Quin yang bertumpu pada punggungnya oleng seketika.

Baru saat itu Quin menyadari, niat Gery yang sebenarnya adalah mengambil kembali pedang miliknya dan memojokkan Quin. Proses itu berlangsung sangat cepat dengan akhir leher kiri mereka masing-masing di sentuh sebilah pedang.

Perbedaannya adalah pedang Quin masih menyisakan jarak 1 cm dari leher Gery, sedangkan pedang Gery sudah menempel di leher Quin tanpa jarak semili pun—membuat luka terbuka disana.

Quin kemudian mengernyitkan dahinya saat merasakan sesuatu yang kental mengalir dari sisi kiri lehernya bersamaan dengan rasa pedih yang muncul di luka itu.

Quin hanya tersenyum kecil, 'Dia melukai leherku.' Batin gadis itu. Quin tau itu hanyalah ketidaksengajaan karena Gery terburu-buru nenyambar pedangnya dan mengarahkan langsung ke leher Quin tanpa perhitungan pasti.

Dalam posisi itu nafas mereka berdua beradu. Mereka berdua berdiri berhadapan dengan jarak sekitar 130 cm. Quin menatap lelaki didepannya datar. Mau tau apa yang dipikirkannya?

'Tidak adil jika leherku terluka dan lehernya tidak. Aku membiarkannya melukai lenganku karena aku sudah melukai perutnya sebelum ini. Dia harus punya luka yang sama denganku. Lehernya juga harus terluka. Tapi harus dengan unsur ketidaksengajaan.' Gadis itu bahkan tanpa sadar terkikik geli saat memikirkan ini.

Mewujudkan pikirannya itu, Quin menggesekkan pedangnya yang ada di leher Gery sambil bertingkah seolah tangannya licin dan tak sengaja terdorong melukai leher lawan di depannya. Belum puas, Quin kembali menarik mundur pedangnya dalam sekali gesekan balik menciptakan kesan 'dia-hanya-mengembalikan-posisi-pedangnya-seperti-semula'.

Karena ulah Quin, Gery kontan menjerit keras dan pedangnya yang menempel dileher Quin terjatuh. Gery buru-buru menekan leher kirinya sendiri, menahan darah yang terus mengalir dari lehernya. Dia kembali terjatuh—membuat usahanya berdiri dengan sisa tenaga menjadi sia-sia.

Tawa puas gadis itu mengudara. Dia menikmati jeritan lawan didepannya saat menahan sakit di lehernya sendiri yang sudah di lukai sedemikian rupa.

Gery masih menjerit. Bahkan perlahan jeritannya yang sempat tertahan itu berubah jadi teriakan kencang. Quin bisa membayangkan rasanya. Panas, pedih, tersayat-sayat seolah disiksa tanpa akhir dan membuat rasa sakitnya lebih buruk daripada kematian.

Quin diam-diam membayangkan rasa sakit itu dilehernya sendiri dan menikmatinya. 'Rasa sakit itu terkadang menjadi rasa yang paling nikmat saat diresapi.' Batin gadis itu menggila hanya karena membayangkan rasa sakit lawannya.

'Tapi, sepertinya dia hampir mati?' Batin gadis itu kembali bertanya-tanya saat melihat perubahan respon lawan didepannya. Gery tak lagi berteriak kencang. Suara teriakannya itu perlahan menghilang. Mungkin Gery sudah diujung mautnya?

Selain teriakannya yang perlahan menghilang, tak ada yang berubah darinya. Darah masih terus mengalir dari tubuhnya. Dari perut dan lehernya.

Melihat itu, Quin mendadak kesal. Batinnya kembali menjerit sebal, 'Aku kesal dia berhenti menjerit!'

Seperti kehilangan akal, Quin menusukkan pedangnya berkali-kali ke tangan Gery yang digunakan lelaki itu untuk bertumpu di lantai tempatnya bersimpuh menahan sakit.

Jeritan dan teriakan yang menghilang dari bibir lelaki itu kembali mengudara dan menggema di sunyinya malam. Quin semakin kehilangan akalnya, dia tak berhenti menusuk tangan Gery berulang-ulang hingga tangan itu sudah tidak terlihat jelas bentuknya. Tak bisa lagi dibedakan mana daging dan mana tulang. Seperti daging cincang.

Gery sudah tergeletak lemas sedari tadi—walau masih menjerit sesekali. Tapi dia tidak bisa berbuat apa apa. Quin menusuk tangannya dengan begitu cepat, tidak memberikan kesempatan Gery menarik mundur tangannya atau dia akan mengoyak tangannya sendiri. Dan saat ini tangan itu bahkan sudah tidak bisa lelaki itu rasakan keberadaannya.

Gadis gila itu (baca: Quin) masih tertawa. Percayalah, dia terlihat sangat sangat menikmati apa yang sedang dia lakukan saat ini. Setelah beberapa tusukan brutal berikutnya, Quin menghentikan aktivitasnya itu dan memandang Gery sedih—ralat, pura-pura sedih.

Kasihan? Tidak sama sekali. Tak ada sorot kasihan dimata gadis itu. 'Dia yang harus mengasihani dirinya sendiri, bukan aku.' Gadis itu kemudian cemberut kesal seolah mainan barunya sudah rusak.

Gadis itu menormalkan pandangannya dan menatap Gery—yang terlihat sangat mengenaskan—dengan semangat.

Gadis itu kemudian berjongkok di dekat Gery. Dia merapikan rambutnya sekilas dan menyeka keringat diwajahnya sendiri. Gadis itu benar-benar berusaha membuat Gery mengingat wajahnya di detik terakhir hidupnya.

Tapi tunggu, Gery terlihat seperti mengucapkan sesuatu. Dan Quin menyadarinya. Gadis itu kemudian mendekatkan telinganya ke bibir Gery—penasaran apa yang akan di ucapkan lelaki itu.

Saat kalimat itu selesai bersamaan dengan nafas Gery yang berhenti, tubuh gadis itu menegang. Gadis itu terlihat shock dan matanya berkaca-kaca.

Quin yang tertawa saat bisa menyiksa lawannya sedemikian rupa adalah Quin yang sama dengan yang saat ini sedang membeku di tempat dengan mata berkaca-kaca hanya karena mendengar satu kalimat terakhir lawan yang dibunuhnya.

Begitu besar efek kalimat itu sampai bisa membuat Quin memikirkannya berjam-jam kemudian.

◽♨◽

30 menit lalu (Pukul 11.53 waktu London)

Gadis itu terdiam lama setelah mendengar kalimat perpisahan dari lawan yang dibunuhnya. Gadis itu tidak tau bagaimana kondisi Frans yang bertarung bersama kakak kembarnya, Ars. Gadis itu hanya tau Ars baik baik saja saat kakaknya itu menghampirinya bersama Geo. Selebihnya gadis itu memutuskan untuk tidak peduli. Dia hanya menatap datar tubuh terbaring Gery yang sudah tak bernyawa.

Cukup lama gadis itu memandangnya tanpa ekspresi apapun hingga dia memutuskan melakukan sesuatu yang percuma.

Gadis itu meraih kembali pedangnya yang sudah berlumur darah dan menusukkannya secara acak ke seluruh tubuh Gery. Gadis itu seolah berteriak dalam diam, 'Bangun Gery! Jelaskan padaku apa maksudmu tadi! Cepat bangun atau aku akan memotong kepalamu! Bangun, Gery! Bangun!'

Gadis itu bahkan tanpa sadar sudah menunduk sambil menggigit bibirnya kasar. Tangannya tak berhenti menusuk brutal tubuh malang yang sudah tak bernyawa itu.

"Sudah, Quin. Cukup. Dia sudah mati." Geo memeluk leher kakak kembarnya itu dari belakang. Dia tau, Quin tidak mau terlihat sedang menahan tangis di depan kedua saudara kembarnya. Ars juga tau itu, karena itu mereka berdua tidak menanyakan apapun atau membahasnya lebih lanjut. Terlebih mereka juga mendengar apa yang dikatakan Gery pada Quin.

Quin masih terdiam memandang tubuh semi hancur Gery sambil menunduk. Gadis itu seakan tidak peduli dengan keberadaan dua saudaranya di dekatnya. Gadis itu bahkan akan mencoba menusuk Gery lagi entah sampai kapan.

Dipikirannya bahkan terlintas berbagai macam cara gila untuk membangunkan Gery—seolah Gery hanya sedang tertidur karena lelah. Gadis itu benar-benar berharap lelaki yang terbaring di depannya hanya tertidur biasa.

Dari semua serangan acak yang dilakukannya, tak satupun serangan itu melukai wajah. Gadis itu berpikir akan terjadi masalah jika Gery bangun tapi tidak bisa memandangnya atau tidak bisa berbicara dengannya lagi.

Penampakan jasad Gery sebenarnya tak layak disebut jasad manusia—hanya karena kepalanya masih utuh. Tubuhnya benar-benar terlihat hancur seperti daging cincang.

Quin benar-benar menahan tangisnya. Gadis itu menggigit bibirnya semakin kasar sampai tidak sadar bibirnya sudah terluka dan berdarah.

"Cukup Quin! Sudah cukup. Kumohon, lepaskan dia." Kakak mana yang akan membiarkan adik yang disayanginya menderita dan menyiksa dirinya sendiri? Yang jelas, Ars bukan jenis kakak yang seperti itu.

Ars tidak tau harus melakukan apa, tapi yang pasti dia tidak mau Quin membencinya hanya karena melihat wajah gadis itu yang sedang bersusah payah menahan tangis. Jadi Ars hanya memeluk kepala Quin dan mencium pucuk kepalanya sayang. Percayalah, dua saudara kembar itu ikut merasakan sakit yang Quin rasakan. Bahkan lebih sakit lagi rasanya saat tidak tau apa yang harus mereka lakukan untuk menyembuhkan rasa sakit saudara perempuannya saat ini.

"Mom, Dad. Please ... come here now."

◽♨◽

10 menit lalu (Pukul 00.14 waktu London)

Orang tua 3 saudara kembar itu datang menaiki SUV favorit sang ibu. Ars bergerak masuk lebih dulu, lalu Geo menyusul dan terakhir Quin. Setelahnya, sang ayah yang berada dibalik kemudi mulai membawa SUV ungu gelap itu menjauh dengan kecepatan sedang.

Selama 5 menit setelah SUV ungu itu melaju meninggalkan gedung terbengkalai itu, semua sunyi—hanya suara derum halus mesin yang terdengar. Wajar saja mengingat waktu sudah menunjukkan hampir pukul 1 dini hari.

Tapi menurut Quin, kesunyian ini terasa aneh—seolah orang tua dan kedua saudaranya memberikan ruang dan waktu untuk menenangkan diri. Jika benar seperti itu, maka itu keputusan bijak yang diambil keluarga gadis itu—tanpa diskusi sekalipun. Membuat mereka yang sedang terluka merasa nyaman adalah hal penting.

Gadis itu hanya terdiam lama. Mulutnya seolah terkunci rapat tak ingin mengeluarkan suara apapun. Dia sempat bertanya-tanya heran tentang alasan kesunyian yang sedang terjadi ini. Tapi nyatanya, dia bahkan hanya bisa menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya.

Dia sibuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja.

'Aku ... baik-baik saja. Tidak perlu mencemaskan apapun, benar kan ... ?'

Author's POV end

=======

Hai hai lagi :)

Ini pertama kalinya ada live action di cerita yang pernah aku buat—termasuk untuk keperluan ekskul dulu. Semoga hasilnya ngga mengecewakan ya :)

Makasih yang udah mau baca^^

Kalau ada jumpa typo atau salah apapun komen aja, biar aku tau salahnya dimana dan bisa kuperbaiki kedepannya.

Dan ... sepertinya bab selanjutnya akan sedikit lama :") Tapi akan kuusahain secepatnya :)

Sampai jumpa di lain waktu~

Up : Sabtu, 19 Desember 2020

Revisi : -