"Sudah berapa kali ku ingatkan padamu Quin, jangan melakukan hal seperti itu sembarangan? Dan lagi kau melakukannya disekolah?" Pria paruh baya itu mulai bertanya dengan suara rendah setelah 2 menit yang lalu meneriaki aku karena melihat penampilanku.
Kurasa penampilan ku tidak terlalu mencolok. Hanya saja noda merah—yang bahkan orang bodoh pun tau itu darah, membuat penampilanku langsung dinilai salah oleh Pak Satrio. Dan benar saja, dia bahkan langsung tau apa yang baru saja kulakukan.
"Dad tidak mau mendengar alasanku melakukan itu?" Aku menanyakan hal yang sangat ingin aku jelaskan padanya. Dad seharusnya tau aku bukan tipe manusia yang melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas.
Dad? Tentu saja dia adalah ayahku. Kami menyandang nama belakang yang sama, Pradipta.
Terlihat ia mengurut dahinya sebentar dan menghela nafas. Dad kemudian menanyakan apa alasanku melakukan hal itu pada Alex. Aku jawab saja yang sebenarnya. Dia melecehkanku.
Dan sudah kuduga, reaksi Dad saat mendengarkan itu dariku akan seperti ini.
"Dimana putra keluarga Wilson itu? Bawakan dia kemari." Nada suaranya berubah dingin.
Lihat? Aku sudah menebak ini sejak awal. Kalau bukan aku yang melakukan itu pada Alex tadi, maka dia sudah akan langsung dikirim Dad ke neraka sebelum 1 detik berlalu.
"Sudahlah, Dad. Tidak usah diperpanjang lagi. Quin sudah menyelesaikan semuanya. Dad tidak perlu turun tangan." Sebenarnya aku paham benar maksud kalimat Ars. 'Tidak perlu dibahas lagi, atau aku akan kehilangan kendali dan membunuhnya dengan tanganku sendiri.' Ya kira-kira begitu.
Siapa Ars? Dia kakak kembarku, Arseon Pradipta. Kalian ingat dia? Lelaki yang kemarin mentertawakan Geo bersamaku di koridor menuju kelas XI MIPA A. Dia juga yang tadi mecegahku membunuh Alex. Tentu tidak heran dia bisa mengecup pipiku dan mengangkat ku seperti karung beras sesuka hatinya. Ya karena dia memang kakak ku.
Kali ini giliran Geo yang bersuara. "Dad, sepulang dari sini, aku akan pergi mengantarkan bocah itu ke pemakaman. Dad mau ikut?" Kalimat itu diucapkan Geo dengan nada sinis yang kental. Ditambah seringai yang muncul diwajahnya. Dia terlihat buas(?)
Geo, lengkapnya Argeon Pradipta, putra bungsu dari tiga bersaudara kembar keluarga Pradipta. Adik kembarku dan Ars.
"Kalau Paman pergi dengan Geo, aku ikut!" Zea memang masih disini, menemani kami menghadap Dad—maksudku kepala sekolah.
Dad memandang Zea bingung. 'Untuk apa Zea ikut?' Kira kira itulah yang tergambar jelas di ekspresinya.
"Dia juga melecehkanku Paman! Hanya saja aku tidak sedang dalam keadaan kesal seperti Quin. Makanya aku hanya membiarkan Quin dan mendukungnya tanpa ikut campur."
Ekspresi Dad terlihat terkejut—sepertinya Dad merasa semakin kesal. Zea adalah anak keluarga Malik. Keluarga jauh Mom. Tak heran jika kami menganggap Zea seperti keluarga sendiri.
Aku sebenarnya tak mau mempermasalahkan ini lebih jauh. Toh masalah ini sudah ku selesaikan. Tapi aku jamin 100% kalau Dad serta Ars dan Geo tidak akan diam saja setelah ini. Jadi kuputuskan untuk memberitahu mereka apa yang sudah Sky lakukan atas perintahku.
Aku mengambil Ipad dimeja Dad, Ipad lama yang ku pakai untuk merekam 9 tahun yang lalu. Aku memanggil Sky yang masih memantau rumah keluarga Wilson lewat 'pengantar paket'. Aku memintanya menunjukkan apa yang baru saja terjadi dirumah keluarga Wilson melalui Ipad lama ini.
"1 jam yang lalu setelah pengiriman tuan Alex, keluarga Wilson pergi meninggalkan kota dan menuju kota di sebelah barat daya. Kondisi saat ini rumah keluarga Wilson kosong, Nona."
Aku memperlihatkan layar IPad itu yang berisi pemandangan dari 'mata' lain Sky. Rumah itu kosong, bahkan tidak ada lampu yang menyala di sana.
"Lihat? Aku sudah memberi pelajaran langsung padanya. Dad tidak usah khawatir. Kalian berdua juga. Lagipula aku pastikan tidak ada yang melihatku melakukan hal itu pada Alex. Dad tau kan, ini Quin gila-nya Dad?" Aku mengatakannya dengan senyum yang sangat manis. Aku bahkan memeluk leher Dad dari belakang.
"Tetap saja, Baby. Kau tidak perlu mengotori tanganmu hanya demi orang seperti dia. Kau kan bisa memanggil Dad," Ars dan Geo mengangguk sependapat.
Aku memutar bola mataku malas, "Ya ya dan Dad akan langsung menghancurkan kepalanya."
Fakta bahwa kalimat itu bukan sekedar omong kosong belaka membuat kami berlima tertawa.
◽♨◽
Hari sudah semakin sore. Sekolah telah berakhir beberapa jam yang lalu. Tepatnya 2 jam yang lalu. Zea sudah pulang ke rumahnya 1 jam yang lalu—saat Dad masih disini menyelesaikan urusan sekolah yang tersisa. Aku dan dua saudara kembarku baru berniat pergi meninggalkan gerbang sekolah saat jarum jam menunjuk tepat pukul 4.40 sore.
Entah apa yang kami bertiga pikirkan saat sepakat berdiam diri disekolah 2 jam setelah bel pulang berbunyi. Bahkan saat apel pulang pun, kami bertiga (dan Zea) memutuskan pergi ke ruang musik menunggu seluruh siswa SMA Loyal I dibubarkan.
Saat kutanya apa yang mereka bertiga lakukan disini, mereka kompak menjawab 1 jawaban sederhana yang sama.
"Menemanimu."
Ah entahlah, aku bahkan tidak merasa perlu ditemani. Ya, kecuali jika mengingat berapa banyak nama yang berhasil ku kumpulkan untuk eksekusi besok—ku kira aku memang butuh teman.
Hari ini begitu melelahkan. Perjalanan dari sekolah ke rumah pun rasanya sangat menguras tenaga. Aku juga kehilangan mood ku sekarang. Menaiki salah satu seri Lexus bersama Geo dan Ars tetap tak merubah apapun. Ah ... Aku butuh sesuatu yang bisa mengembalikan mood ku. Sesuatu yang menyenangkan mungkin?
Aku menoleh ke kiri—ke arah Ars yang sedang mengemudi. Dia terlihat fokus melihat lurus ke depan jalan. Aku berpaling, melihat kebelakang dan menemukan Geo sedang bermain game di ponsel canggihnya. Aku menghela napas. Aku harus bagaimana? Aku ingin 'bersenang-senang'.
Seolah membaca pikiranku, Ars di sebelahku bersuara. "Ingin bersenang-senang, Quin?" Ars menolehkan kepalanya sesaat. Sepersekian detik kemudian, dia tersenyum penuh arti saat melihat wajahku yang begitu sumringah dengan mata berbinar penuh harap.
Bisa kulihat sekilas di belakangku pancaran wajah yang sama denganku juga tercetak jelas di wajah Geo.
Ars menyeringai lebar. "Katakan pada Dad, kita akan pulang terlambat." Setelah mengatakan itu, mobil ini melaju hingga 200 km/jam menuju Selatan kota.
◽♨◽
TING!
Suara itu mengalihkan atensiku dari pekerjaan yang baru saja kuselesaikan. Suara yang diiringi getaran singkat itu membuatku menoleh sesaat ke saku jaket yang kupakai. Aku memilih mengabaikannya, mungkin hanya permintaan permainan nyawa lagi. Tidak begitu penting.
Tapi untuk kedua kalinya suara dentingan pesan kembali terdengar.
TING!
Aku berubah pikiran, mungkin ini pesan penting. Ku putuskan untuk membukanya. Tapi karena aku terlalu malas mengambil ponsel itu disaku, aku menyuruh Sky yang membukanya. "Katakan Sky, ada apa?" Aku mengaktifkan Sky dengan sensor suaraku. Terdengar suara "bzzt" sebentar sebelum jepit rambutku itu melapor.
"Tuan besar meminta Anda dan kedua Tuan muda pulang sekarang, Nona. Tuan juga mengirim pesan suara. Nona ingin mendengarnya?"
Aku tebak, Dad meneriaki ku dan menyuruhku pulang sekarang. "Putar pesannya, Sky."
Dan isi pesan itu ...
"Quin, Dad mendapat 'tugas' kecil di London. Kalau kau mau ikut, ajak Ars dan Geo pulang. Kita akan melakukannya bersama dan berangkat setengah jam lagi. Bayaran nya liburan khusus di Banwa Privat Island 4 malam. Kita bisa liburan bebas bersama Mom bulan depan. Dad akan tunggu kalian pulang setengah jam lagi. 5 menit sebelum itu dan kalian belum pulang, Dad akan tinggalkan kalian dan bersenang-senang sendirian."
Tebakanku salah, Dad malah mengajakku bersenang-senang dinegara orang. Aku tidak berniat menolaknya, itu tawaran yang bagus—walaupun sepertinya akan bertabrakan dengan jadwal eksekusi besok.
Karena itu aku melepas sarung tangan hitam yang ku pakai dan memanggil kedua saudara kembarku.
"Ars! Geo! Ayo pulang! Dad mendapatkan job kecil di London dan mengajak kita untuk ikut. Hadiahnya liburan khusus di Filipina. Di pulau Banwa. 4 malam."
Mereka menghampiriku. Jarak mereka denganku tidak terlalu jauh. Mereka juga baru saja menyelesaikan pekerjaan mereka beberapa meter di depanku.
Geo menghampiriku dengan antusias, dia bahkan mengangkat ku tinggi sambil berputar. Dia mulai lagi. Senang sekali bermanja denganku. Dasar Geo!
"Banwa Privat Island?! Kau tidak bercanda kan Quin? Hanya melakukan itu hadiahnya liburan kesana?" Aku mengangguk dan meminta Geo menurunkan ku. Aku bisa melihat Ars yang tersenyum kecil.
Geo masih terlihat sangat gembira hanya karena mendengar akan segera mendapat liburan ke pulau yang seperti surga itu. 4 malam pula. Gratis.
Tapi, bukan karena pulaunya, lebih karena itu adalah hadiah. Dasar Geo! Padahal tinggal minta disewakan saja pulau itu pada Dad, pasti Dad akan menyewakannya langsung saat itu juga.
Aku membuang sarung tangan hitamku dan melemparkannya asal ke lantai semen ini. Aku menoleh sekilas saat mendengar sarung tanganku jatuh ke dalam genangan cairan merah yang menimbulkan suara kecipak air. "Sky, cancel job yang tersisa. Katakan pada mereka, kami mendapat job yang lebih menguntungkan. Kirimkan orang untuk membereskan ini semua dan tagih bayarannya segera."
Kami ber-3 berjalan beriringan dengan Ars dan Geo yang berada di kedua sisiku. Hari melelahkan ini belum berakhir. Aku akan melanjutkan hari ini sampai pagi menjelang dan matahari terbit dari timur negara lain.
Laporan singkat dari Sky tentang perintahku tadi muncul saat kami bertiga akan memasuki Lexus LS yang sama yang membawa kami ke sini. Kami bergegas kembali ke arah Utara kota dengan kecepatan 240 km/jam, meninggalkan bangunan kosong yang sedang dalam masa pembangunan itu dengan mood ku yang membaik.
Bangunan setengah jadi itu lengang saat kami mulai menjauh dengan kecepatan tinggi. Kami pergi membiarkan angin malam mengisi ruang kosong bangunan itu juga meninggalkan 10 mayat yang sudah tak dikenali bentuknya lagi.
=======
Makasih yang udah mau baca :)
Tetap ya, kalau ada salah atau apapun yang kurang silahkan tinggalkan komentar
Kritik dan saran diterima dengan baik^^
See you next time~
Up : Selasa, 15 Desember 2020
Revisi : -