17 menit yang lalu kami tiba di Bandara Internasional Heathrow (LHR) London. Turun dari pesawat berbadan besar itu, mataku langsung tertuju pada 2 mobil yang sudah terparkir rapi di pintu keluar bandara. Yang satu BMW jenis SUV, dan satu nya lagi Maserati GT hitam yang terlihat menawan. Di sekitar 2 mobil itu, ada 3 org pria berbadan besar dengan jas hitam berdiri seolah menunggu kami menghampiri mereka. Aku kenal salah satu diantaranya yang berkacamata hitam itu. Sekarang mungkin dia sudah berumur hampir kepala 4.
"Harris!" Aku berlari menghampirinya dan bersiap melompat—memintanya menggendongku. Tapi saat sampai di depannya, dia malah membungkukkan badannya 30 derajat menghadapku, seolah menolakku secara halus.
Ah ya, salahku sendiri memang karena tidak ingat umur. Aku terbawa kebiasaan lama saat kecil.
Aku pura-pura cemberut dan bertanya kesal padanya, "Harris, kau tidak mau menggendongku lagi? Aku sudah lama sekali tidak main kesini dan kau mengabaikanku begitu saja?" Dia menunduk dan meraih sesuatu dari balik jas hitamnya. Aku reflek mengangkat dua sudut bibirku saat melihat apa yang di sodorkan Harris padaku. Lolipop karamel kesukaanku.
"Nona memang sudah lama sekali tidak datang ke sini. Nona bahkan sudah sebesar ini. Tapi Nona masih suka permen ini kan?" Harris tersenyum—yang dapat kupastikan matanya menyipit dibalik kacamata hitamnya itu. Aku menganggukkan kepalaku kuat seraya tersenyum senang. Tentu saja aku masih suka permen ini. Kecintaanku terhadap sesuatu yang manis belum berubah.
"Terima kasih Harris. Ternyata kau tidak melupakanku ya." Aku senang karena hal kecil ini. Harris sudah kuanggap Ayahku sendiri—setelah Dad tentunya. Dia adalah salah satu dari dua adik Mom.
Harris Zard Hanston, anak kedua keluarga Hanston. Selain Dad, aku paling dekat dengannya. Sejak kecil, aku sering bermain bersama Harris. Saat Dad sedang tidak dirumah, Harris yang akan bermain denganku.
"Nona, ayo ikut aku. Aku masih punya hadiah kecil untukmu." Harris mengulurkan lengan kirinya yang tertekuk kepadaku. Aku menyambutnya dengan mengalungkan lenganku disana. Dulu saat aku kecil, dia akan mengulurkan dua tangannya padaku atau menghadapkan punggungnya padaku saat akan menunjukkanku sesuatu. Beberapa tahun lalu—terakhir kali aku kesini, dia menggantinya seperti ini. Ala ala bangsawan eropa katanya.
Aku baru akan bertanya apa hadiah yang dia maksud saat kami sampaj di depan sebuah mobil box yang baru saja parkir didepan kami. Aku menoleh ke arah Harris saat dia memerintahkan 2 orang yang ikut dengannya menjemputku membuka pintu mobil box itu dengan gerakan tangannya.
Aku tidak berharap hal yang 'wah' akan keluar dari mobil box itu. Tapi tanpa sadar aku malah berkata "woah" saat melihat isi didalamnya.
"Harris, ini ..."
◽♨◽
Sekarang kami sedang diperjalanan menuju salah satu mansion milik Dad yang ada di pusat kota London.
Dad disebelahku sedang menyetir dengan fokus lewat kacamata hitam favoritnya. Maserati hitam yg kami naiki membawa kami kepusat kota London dengan kecepatan sedang dijalan bebas hambatan. Aku bosan, kecepatan maksimun mobil ini bahkan sekitar 300km/jam. Tapi Dad hanya mengendarainya dengan kecepatan sedang. Aish!
Dibelakang kami, Ars dan Geo sedang berduel game simulator pesawat terbang. Aku tak tau harus melakukan apa. Jalanan di sini sama saja dengan jalanan yg sering kulihat. Tidak ada yg bagus untuk diperhatikan. Aku kembali menghela nafas sambil tetap mengemut lolipop karamel ku.
Ngomong-ngomong, dari bandara kami berpisah dengan Harris dan 2 bawahannya. Aku, Dad, Ars dan Geo menaiki Maserati GT ini menuju mansion Dad dan Harris serta 2 bawahannya itu pergi dengan BMW SUV itu menemui Louis—adik Mom dan Harris yang tiba-tiba memerlukan bantuan. Entahlah, semoga bukan hal yang mengkhawatirkan.
"Quin, Dad belum memberitahukan ini padamu. Target kita bukan orang biasa, dia membuat salah satu pimpinan tertinggi negeri ini koma, hanya karena dia kesal disuruh membayar pajak. Dan kau tau senjata apa yg dipakai? Penggaris besi yang dia temukan di tempat sampah."
Tunggu, apa? Penggaris? Sepertinya akan menarik.
"Oho~ Apa Dad lupa kita pernah melawan orang lain yang lebih berbahaya?" Kulihat Dad tersenyum, mungkin dia mengingat kembali masa itu. Masa dimana kami hampir mati hanya karena sebuah pena berlaser yang nyaris memutus leher kami. Kapan-kapan akan ku ceritakan itu pada kalian.
"Kali ini siapa yang akan melawannya? Apakah Dad sudah punya rencana?" Pertanyaan Ars membuatku berpikir; orang itu bagusnya diapakan ya?
Dad terlihat berpikir sejenak, lalu kembali tersenyum. "Geo, bagaimana kalau urusan kali ini Dad serahkan padamu? Pikirkan lah apa yang mau kau lakukan padanya. Peralatanmu di mansion masih lengkap kan?"
Geo menghentikan permainan di ponselnya. Dia menoleh ke depan dan tersenyum menantang. "Aku akan lakukan Dad. Tapi saat liburan itu nanti, aku mau sekamar dengan Qu-"
"Hell! Big no! Aku tidak mau! Dad, jangan biarkan aku sekamar dengan Geo. Aku tidak mau dia terus terusan menggangguku dengan memainkan rambutku. Argh, cukup terakhir kali aku sekamar dengan Geo waktu itu. Aku memilih botak dari pada harus tidur sekamar dengan Geo untuk di ganggu seperti itu. Tolong aku Dad~" Gila, aku tidak akan mau sekamar dengan Geo. Tidak mau! Sampai kapanpun—ya setidaknya sampai dia berubah. Oh God, terakhir kali aku tidur sekamar dengan Geo, rambutku kusut sekali hingga aku harus meminta Mom membantu memperbaikinya.
Dan saat itu Geo hanya bilang: 'Aku tidak melakukan apapun Quin, saat itu aku ingin mengikat rambutmu dengan mengepangnya. Tapi karena kau sedang tidur dengan lelap dan aku tidak tega membangunkanmu, jadi ku kepang saja saat kau tidur. Aku tidak bisa menunggu besok. Jika aku memintanya besok padamu, kau tidak akan pernah mau, jadi kulakukan saja saat kau sedang tidur.'
Dan saat kutanyakan apakah dia ingin melakukan itu hanya pada saat itu saja, jawabannya membuatku terdiam membatu. 'Tidak, hehe. Aku sudah ingin mengepang rambutmu sejak kita kecil tapi Mom selalu melarangnya, katanya kau tidak akan suka. Jadi saat aku punya kesempatan, aku tidak menyia-nyiakannya. Dan kemarin ku pikir dengan memilih sekamar dengan mu, aku bisa mengepangnya saat kau tidur. Kalau tidak sekamar dengan mu kau akan mengunci pintu dan menyimpan kunci cadangannya. Tidak mungkin kan aku mendobraknya?'
Argh, Geo itu G-I-L-A!
"Sudahlah, biar aku saja kalau begitu. Tapi permintaanku sama dengan Geo, aku ingin sekamar dengan Quin." Ars mengedipkan sebelah mata saat selesai mengatakan itu. Aku tersenyum. Kalau Ars yang sekamar denganku, aku akan senang.
Hey, aku bukan pilih kasih pada kedua saudaraku. Hanya saja, tidur sekamar dengan Ars itu menyenangkan, dia akan memanjakanku seperti aku adalah anak kecil. Dia akan membacakan dongeng untukku (sejak umurku 12 tahun dia menggantinya dengan cerita kebangsawanan eropa), mengelus kepalaku agar aku tidur, mencium puncak kepalaku saat aku (pura-pura) terlelap baru setelah itu dia pergi ke kasur sebelah untuk tidur. Dia juga kadang akan membawakanku teh dipagi hari saat aku bangun. Dia benar benar memanjakanku. Kesannya kekanakan memang, tapi aku menyukai itu. Jadi aku tidak masalah menerimanya.
"Quin akan menolakmu juga, ya kan Quin?" Geo menanyakan itu dengan percaya diri. Tidak, lebih ke arah menyombongkan diri.
Aku menggeleng, "Tidak kok, aku tidak akan menolak Ars. Dad, biarkan aku sekamar dengan Ars kali ini." Dan dad hanya mengangguk saja.
Geo terlihat ingin protes, bibirnya maju satu setengah centi. Tapi aku memotong kalimat protes yang akan segera dilontarkannya. "No no Geo. Jangan protes, kau yang membuatku tidak mau sekamar denganmu. Kalau kau ingin sekamar denganku, kau harus janji tidak akan mengepang rambutku lagi tanpa seizinku. Kau benar benar merusak mood ku hari itu. Dan aku tidak mau itu terulang." Ekspresinya berubah, dia sedih. "Tidak Geo, aku tidak marah padamu, sungguh, hanya saja aku tidak suka caramu itu, jangan kau ulangi lagi oke?" Dia tersenyum, mengangguk mengiyakan perkataanku.
Geo itu bukan anak kecil lagi, usianya sama denganku, siswa SMA kelas XI. Tapi terkadang dia begitu imut dan menggemaskan seperti anak kecil—walaupun terkadang (lagi) dia bisa bersikap gila juga. Aku takkan pernah bisa benar benar marah padanya.
"Nah, kita sudah sampai. Sekarang sudah pukul 8, Dad akan cari info tentang keberadaan target kita. Kalian bersiap saja dulu, satu jam lagi kita berkumpul di ruang senjata dan memulai rencana. Dad serahkan masalah rencana padamu Ars, dan Geo siapkan segala yang diperlukan. Quin akan bersama Dad mengabari Mom." Ars dan Geo mengangguk dan turun dari mobil menuju kamar masing-masing, sedangkan aku dan Dad menuju kamar Dad dilantai 2.
Kalian tidak ingin bertanya padaku, mengapa kami membahas sekamar berdua? Tidakkah itu hadiah dan banyak kamar resort yg bisa digunakan? Apalagi dengan liburan khusus yg artinya disewakan hanya untuk kami?
Aku akan beritahu rahasia kecil. Keluarga Pradipta adalah salah satu pemilik kerajaan bisnis di 2 benua, Asia dan Eropa. Nama Pradipta juga di kenal dengan sebutan "King of Quick". Sebutan itu diperoleh dari orang-orang seperti keluarga Alex yang mendapat peringatan cepat setelah suatu kejadian, dan cepat pula mereka memutuskan pergi jauh dari jangkauan keluarga kami.
Itu keadaan sebelum Dad menikah dengan Mom. Setelah Dad menikah dengan Mom, kerajaan bisnis itu semakin kuat. Keluarga Mom, Keluarga Hanston adalah pemilik kerajaan bisnis kedua setelah keluarga Dad. Saat Dad dan Mom menikah, dua pemilik kerajaan bisnis ini bersatu (aku akan ceritakan pertemuan pertama mereka berdua kapan-kapan). Dengan bersatunya dua keluarga pemilik kerajaan bisnis di 2 benua ini, banyak orang yang ingin merebut posisi keluarga kami.
Bagi Dad dan Mom saat itu, perebutan posisi bukan masalah besar. Mereka bisa mengatasinya dengan mudah. Apalagi latar belakang mereka berdua yang adalah pewaris kerajaan bisnis, pastinya kemampuan bela diri dan perlindungan untuk mereka tak bisa diremehkan.
Tapi, sejak Dad dan Mom memiliki kami ber-3, itu bukan lagi masalah yang bisa dianggap sepele. Orang-orang itu tak lagi mengejar pemiliknya, melainkan pewarisnya. Dad dan Mom sadar, mereka tidak bisa benar-benar selalu ada disisi kami dan melindungi kami ber-3 seharian penuh—sejak umur kami 7 tahun. Itu juga salah satu alasan Harris dekat denganku sejak kecil. Dia menawarkan diri membantu kakak dan kakak iparnya menjaga kami bertiga saat mereka berdua sedang tidak bisa melakukannya.
Karena itu, Dad meminimalisir jarak diantara kami saat bepergian keluar rumah, juga menyembunyikan jadwal kami dari siapapun. Dad lebih melindungiku, katanya karena aku perempuan. Jadi Dad selalu waspada dan meminta ku sekamar dengan salah satu diantara dua saudara kembarku saat bepergian. Walaupun aku sendiri sebenarnya juga tidak bisa diremehkan sebagai lawan saat menghadapi bahaya. Tapi, yang Dad dan Mom ingin lakukan tidak salah, jadi ku ikuti saja perintah mereka. Ini juga demi kebaikanku kan?
"Quin, Dad akan mandi dulu, kau juga bisa mandi dulu kalau mau. Ars dan Geo akan menyiapkan segalanya." Aku menggeleng merespon tawaran Dad. Aku sudah membersihkan badanku saat dipesawat tadi, lalu mengangguk untuk kalimat terakhirnya.
Aku memilih menuju balkon saat Dad sedang mandi. Aku baru saja menikmati semilir angin yang menerpa wajahku sambil melihat pemandangan malam dari balkon lantai 2, saat ponsel milikku di atas kasur berdering. Kulihat nama yang tertera di layar, 'Queen Zea'.
Oke, bukan aku yang memberi nama itu diponselku. Itu Zea-nya sendiri yang memberi nama. Aku sudah akan merubah itu saat pertama kali melihat namanya di smartphone ku tapi Zea melarang keras dengan menunjukkan namaku yang ada diponselnya, 'Queen Ella'. Jadi ya sudah, kubiarkan saja. Toh ada atau tidaknya nama itu tidak akan membuat masalah berarti kan?
Aku menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau dilayar lantas mendekatkan smartphone itu ke telinga. "Halo, Ze. Ada apa?"
"Aku ingin menginap dirumahmu, Quin. Aku akan datang 20 menit lagi."
Aku mengerutkan keningku secara tidak sadar. "Menginap? Ada apa tiba-tiba? Aku sedang keluar Ze."
"Kau diluar? Okelah tidak masalah, aku akan tunggu kau pulang saja. Ars dan Geo ada dirumah kan?"
Dia mengabaikan pertanyaanku—hanya merespon kalimat terakhir, kebiasaan. "Tidak Ze, aku sedang ada di London sekarang, aku mendapat job pentin-"
"Astaga Quin! Apa yang kau lakukan di London sekarang?! Job katamu? Oh ayolah Quin, besok hari penting, apa kau lupa besok ada apa? Itu butuh banyak persiapan Quin. Itu kenapa tadinya aku ingin menginap dan membahas ini denganmu. Tapi kau di mana? London! Astaga."
Aku menghela nafas. Tentu saja aku tidak melupakan itu, aku bahkan sudah membahas ini dengan Galih dan Gerard, sekretaris dan wakilku. "Tenang saja Ze. Aku tidak lupa ada apa dengan besok. Aku bahkan sudah membahas ini bersama Galih dan Gerard. Aku suruh mereka menghubungimu jika ada yang kurang dan melaporkannya padaku. Tidak akan ada masalah."
"Tetap saja Quin. Ini sudah hampir jam 9 malam kan disana? Sekolah akan dimulai kurang dari 8 jam lagi disini. Kau akan selesai dalam waktu sesempit itu? Tidurmu? Perjalanan pulang? Persiapan eksekusi? Astaga Quin!"
Zea ini, reaksinya seolah tidak mengenalku. "Sudahlah Ze, tenang saja. Aku pastikan sebelum gerbang sekolah ditutup besok aku sudah bersama kalian untuk persiapan eksekusi. Lagipula, firasatku mengatakan semua akan lebih mudah dari yang kita Rencanakan, Ze. Kau tau kan, firasatku tak pernah salah?" Bisa ku dengar helaan nafas Zea dari seberang sana. "Oke Ze, aku harus segera bersiap. Kami akan pergi beberapa menit lagi. Semua akan terkendali, percaya padaku. Ku tutup ya, aku harus bersiap. Good night Ze, have a nice dream."
Bersamaan dengan itu Dad keluar dari kamar mandi. Dad mulai bertanya, "Siapa Quin? Cicilia?" Aku menggeleng. "Bukan Mom yang menelpon Dad, tapi Zea." Dad hanya ber-oh ria. Dad duduk di sampingku dan memintaku menelpon Mom via skype. Nada sambung terdengar, di nada ke dua telepon diangkat.
"Hai, Baby. Apa kabarmu? Makan dengan baik?" Terlihat dari layar Mom tersenyum di sana.
"Aku baik Mom, makanku juga. Aku ingin diet tapi tidak diberi izin 3 lelaki dirumah kita." Dad di sebelahku tertawa.
"Hai sayang, merindukanku? Kami datang menjemputmu." Dad tertawa lagi, dan Mom terlihat bingung. Mom memang sedang berada di London, pekerjaan. Kebetulan yang menyenangkan.
"Menjemputku? Kau dimana? Di London? Untuk apa menjemputku, Rio? Lalu Ars, Geo? Oh tunggu, apakah ada pekerjaan disini? Jangan tertawa, Rio."
Aku hanya menyimak percakapan Mom dan Dad dalam diam.
"Satu-satu pertanyaan nya sayang. Tidak secara langsung tujuanku menjemputmu. Ya, kami di London, bersama si kembar 3. Menjemputmu sih, bukan tujuan utamanya. Dan kau benar sayang, ada job penting disini." Dad mengakhirnya dengan tawa (lagi)
Mom menghela nafas sejenak lalu kembali bersuara. "Kau di mansion utama Rio? Tunggu aku 30 menit, aku akan datang kesana."
"Kami akan pergi sebentar lagi Mom, saat Mom tiba mungkin kami sudah pergi. Jika Mom ingin ikut, kami bisa menunggu 15 menit." Ini aku yang menjawab, disertai senyuman.
"Kalau begitu baiklah, Mom akan datang 15 menit lagi. Mulailah hitungan mundurmu baby, Mom akan segera tiba" Dan telepon via skype itu ditutup oleh Mom.
Aku tersenyum kecil dan Dad membalasnya.
Well, sepertinya misi malam ini akan dijalankan dengan personel lengkap.
=======
Hai hai again^^
Buat yang udah baca, makasih buat kalian :) Tetap ya, kalau ada typo atau bagian yang kurang jelas dan kurang apapun, komen aja kasih tau aku biar bisa kuperbaiki :)
See you~
Up : Sabtu, 19 Desember 2020
Revisi : -