Bel pulang sekolah berbunyi lantang, mengembalikan semangat sehabis kelelahan menatap ilmu. Tapi tidak berlaku kepada anggota OSIS SMA NARA, ada rapat penting yang harus dibahas untuk event kesenian. Satu minggu lagi acara tersebut akan diadakan pada gedung aula kesenian di SMA NARA, acara ini dibuat se artistik mungkin agar terasa layaknya galeri seni. Jhoseph sang Ketua OSIS membuka rapat dengan sangat mulus, beribu pertanyaan tentang persiapan ia lontarkan demi hasil maksimal.
"Untuk cewek – cewek sebagian membagikan hadiah diatas panggung, sebagian lagi menyambut tamu di pintu masuk, dan sebagian menjaga di area perlombaan serta juri. Kecuali Kei, kamu dapat bagian jaga di pintu keluar sama Ezar dan Hendra". Kei sudah biasa harus tampil dibelakang , itu juga demi menjaga face of group OSIS di sekolah. Bisa hancur jika wajah Kei terpampang nyata di atas apalagi di sejajarkan dengan anggota yang lain.
"Kita bertiga emang ditakdirkan berada pada balik layar.." Hendra memegang pundak Ezar dan Kei bergantian menguatkan hati jika mereka memang harus pasrah. Ezar dan Kei hanya bisa mengangguk setuju dengan muka prihatin.
"Oke hanya itu saja rapat hari ini, semoga acara kita berjalan dengan lancar" seluruh anggota OSIS berdoa bersama agar event kali ini sukses serta dapat menjalankan event selanjutnya. Rapat selesai, seluruh anggota OSIS dipersilahkan pulang.
"Eh Kei, lo kok pakek baju olahraga? Bukannya kelas XI IPS 3 jam olahraganya selasa ya?" Ezar sedari tadi sudah gemas ingin bertanya.
"Masa lo gatau sih? Kei abis perang di kantin" Sahut Hendra sambil memegang pundak Kei bermaksud memberi semangat.
"HAH?!!! LO DIBUL-MPHPHHH" dengan sigap Hendra menutup mulut besar Ezar agar tidak mengundang perhatian.
"Gausah teriak – teriak tolol!"
"Lo kalau tau kok gak bantuin sih ogeb!" kesal Ezar terhadap Hendra.
"Gue udah koar – koar biar mereka gak ngelempar woi!"
"Sante anjeng ngajak berantem?!"
"Ayok! Bisa apa lo pendek!"
"Udah – udah! Lagian gue gapapa kok" seketika Hendra dan Ezar menghentikan pertikaian mendengar suara lesu nan datar keluar dari mulut Kei.
"Gue pamit pulang duluan ya, takut ketinggalan bis"
"Ati – ati ya Kei, semoga besok bisa jadi hari yang menyenangkan" Kei harap ucapan Ezar bisa menjadi kenyataan. Nyatanya selama ini tidak ada hari menyenangkan sedikitpun di sekolah, selalu saja kejadian kelam menyelinap masuk melalui cela cela tertutup untuk kebahagiaan.
Kei berjalan santai menuju halte bis, disana berdiri dua orang wanita berseragam sama sepertinya. Mereka adalah Ina dan Nita yang sedang termenung oleh pikiran masing – masing. Kei duduk disebelah Ina sambil menoleh kearah kanan dan kiri. Ketiga wanita ini duduk dengan jarak tidak begitu jauh, sempat beberapa saat saling bertukar pandang kemudian tersenyum simpul. Suasana mendadak canggung tanpa adanya sepatah kata pembuka ataupun obrolan ringan. Bis yang ditunggu datang juga, Kei mempersilahkan Ina dan Nita naik ke bis terlebih dahulu. Saat mereka hendak membayar, wajah kebingungan terbentuk sempurna. Kei langsung mengeluarkan jumlah uang untuk tiga orang agar tidak membuat mereka ditendang keluar.
"Makasih ya, gue bener – bener lupa ga bawa dompet" Ucap Ina sambil berjalan menuju kursi belakang bersama Nita dan Kei.
"Makasih juga ya, gue lupa kalau uang saku udah habis" Nita tersenyum hangat menatapnya.
Mereka duduk di bagian belakang bis membuka obrolan ringan pemecah suasana. Ina membahas kejadian saat Kei membantunya agar tidak terjatuh saat di lapangan tadi siang. Kei hanya bisa mengangguk serta menanggapi obrolan sebaik mungkin. Para penumpang berseragam sekolah memperhatikan mereka dan menatap tajam Kei. Penumpang itu berbisik sambil memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Nita dan Ina asyik tertawa membahas idol kpop kesukaan mereka, perlahan Kei menjaga jarak agar lebih dekat dengan jendela bis. Earphone ia pasang menutup telinga, berusaha memfokuskan mata pada pemandangan langit cerah.
Bis berhenti di pemberhentian pertama, Kei berpamitan pada Nita dan Ina. ketika hendak melangkah turun Nita dan ina meminta nomor telepon Kei. jarinya gesit mengetik nomor telepon kemudian lekas keluar dari dalam bis. Nita dan Ina melambaikan tangan di jendela bis yang terbuka dengan tersenyum lepas.
"Besok ke kantin bareng oke!!" Ina berseru sambil memberikan jempol.
"Sampai jumpa besok!!" Nita tersenyum ceria diiringi bis melaju perlahan.
Kei melambaikan tangan ikut tersenyum bahagia, setelah sekian lama akhirnya ia bisa mengenal bidadari sesungguhnya di SMA NARA. Sungguh hari paling panjang yang Kei alami, ia telah lolos ujian kehidupan terberat yang pernah dirasakan. Sesampai dirumah, semerbak bau masakan Mama sudah tercium dari depan pintu. Kei yang memang sudah menahan lapar sejak siang langsung berlari menuju ke dapur. Dengan gesit tangan Kei mengambil piring lalu mengisinya dengan satu centong nasi.
"Heh! Ganti baju dulu! Cuci tangan! Cuci kaki! Perempuan kelakuannya yaa!!"
"Iya iya...." Kaki malas Kei membawa langkahnya menuju kamar untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Hanya butuh waktu lima menit ia sudah kembali ke dapur dengan sangat bergembira. Meja makan terasa hangat seperti biasa, Mama selalu bertanya bagaimana keseharian Kei dan Pras di sekolah. Kei menjawab bahwa harinya menyenangkan seperti biasa, memang penuh kebohongan tapi hanya itu ungkapan yang bisa ia bagi kepada Mama tercinta.
Mama juga bertanya mengapa Kei mengenakan pakaian olahraga padahal hari ini tidak ada jadwal pelajaran olahraga. Lagi – lagi ia berbohong bahwa pelajaran olahraga tambahan dilakukan mendadak hari ini, tidak mungkin ia menjawab jika seragam sekolahnya hancur akibat lemparan meriam makanan sisa. Ia tak tega jika melihat mama terluka karena gadisnya diperlakukan tidak adil seperti tadi. Air mata berusaha Kei tahan sekuat tenaga, kemudian bangkit membersihkan meja makan. Setelah selesai Kei kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas sekolah. Setidaknya berprestasi adalah bentuk menghormati serta menghargai perjuangan kedua orang tua yang telah berhasil menyekolahkannya.
Di kamar ia merenung menatap lembar tugas sambil terngiang – ngiang ucapan Rendy. Lelaki keras kepala penuh kelicikan memberi pertanyaan aneh penuh dugaan. Kei harap ia tidak mengagumi sesosok lelaki seperti Rendy namun tidak bisa, ia sudah terlanjur jatuh sejak enam bulan yang lalu.
Kei meraih ponselnya di dalam tas, jarinya fokus mencari data materi di dokumen. Tapi sebuah telepon tak terduga muncul dilayar hpnya, untuk apa Dian menelpon malam - malam begini.
(Haerdian)
"Halo Kei..."
"Ada apa?"
"Tadi dikantin ada rame – rame, bukan lo kan yang di bully?"
Untuk apa Dian bertanya seperti ini, mereka bahkan tidak dekat satu sama lain, hanya sekedar menyalin tugas.
"Enggak, kalaupun itu gue apa urusannya sama lo?"
"Ya kan cuma tanya doang. Lo lagi ngapain?"
"Gue lagi sibuk, kalau gaada hal penting gausah telpon . Bye"
Kei mematikan telepon tidak jelas dari Dian, ia berusaha membatasi diri agar tidak terlalu dekat dengan para bintang sekolah. Karena timbal balik yang diberikan amat sangat mengerikan. Kei kembali fokus pada tugas sekolah agar bisa selesai pada malam ini juga. Tubuhnya perlu beristirahat sebentar menenangkan pikiran dan beban. Andai saja jika ia terlahir cantik seperti kebanyakan orang, mungkin ia akan menjadi bunga mawar rupawan kecintaan sang pemandang. Bukan malah menjadi bunga dandelion rapuh yang dapat terbang kemana saja terhempas oleh angin riuh.
Tapi garis kehidupan telah menentukan bahwa ia menjadi bunga dandelion dengan kisah perjalanan hidup yang dapat diukir dengan indah. Kei merebahkan kepala diatas meja belajar menatap sebuah kotak berwarna ungu polkadot terletak rapi diatas rak. Kei membaca sebuah surat terlipat rapi di dalamnya, ini adalah secarik surat perpisahan dari kedua sahabatnya saat duduk di bangku SMP.
Setitik air mata perlahan jatuh ketika membaca kalimat pertama pembuka surat, sebuah kalimat penyemangat yang selama ini ia lupakan. Kei telah melupakan dirinya dimasa lalu, ia terlalu membenci keadaan hingga menutup diri dengan tembok setebal baja. Perlahan ia harus menghancurkannya sekuat tenaga. Dimana dandelion pemberani pecinta petualangan selama ini? Apa sudah hancur lebur tidak tersisa? Atau tengah melakukan perjalanan indah?.
"Tunjukkan siapa dirimu sebenarnya, jangan terlalu ditutupi hingga menjadi lupa dengan diri sendiri, tidak ada perjuangan mudah maupun sia – sia. Semua mengarah pada tujuan cerah tanpa cacat cela kekecewaan"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Siang ini Kei menonton pertandingan basket bersama dengan Ina dan Nita, mereka sudah semakin dekat hari demi hari. Walaupun seringkali setiap mereka bersama ada saja manusia memakinya akibat tidak cocok berteman dengan Ina dan Nita. Namun Nita tetaplah Nita dan Ina tetaplah Ina, justru mereka menyerang balik perkataan manusia tadi. Kei merasa bersyukur akhirnya dipertemukan bidadari baik hati di sekolah ini, setidaknya hanya mereka sudah cukup mengobati beban yang selama ini ia tumpuk.
Mereka juga kerap mengerjakan tugas bersama mau itu dirumah, di perpustakaan ataupun di taman belakang sekolah, tempat dimana Kei melampiaskan segala amarah. Pergi ke kantin tidak lagi membosankan, sekarang menjadi lebih berwarna, makananpun terasa menjadi lebih lezat. Rissa dan Xandra berjalan penuh tebar pesona menuju meja Kei. Rissa mengetuk pelan meja di depan Nita sambil tersenyum penuh keangkuhan.
"Eh ada si tukang penjual sayur lagi berkumpul dengan manusia buruk rupa dan cewek lonte disini"
Ina menendang kasar meja makan kemudian menatap penuh amarah pada sorot mata Rissa. Riuh kantin sedikit menghening memperhatikan adegan sengit antara Ina dan Rissa. Nita mencoba mendamaikan suasana namun dicegah Xandra dengan kalimat sarkas.
"Makanya jangan temenan sama si buruk rupa, dapet sial kan lo?"
"Wajah aja buruk rupa gimana kehidupannya aduh..."
"Pembawa hawa suram bagi sekitar"
"Jadi eneg mau makan pas liat kehadirannya"
"Pergi napa sih! Ganggu pemandangan!"
Seruan itu membuat Kei merasa merugikan kedua teman barunya, Kei memberanikan diri berdiri dihadapan Rissa. Ia berseru lantang agar semua orang mendengar dengan baik bagaimana si buruk rupa berkata.
"Kalian kekurangan bahan bullyan kan? Silahkan lempar makanan kalian lagi, babi hutan seperti kalian ga akan pernah berhenti beringas! Pembawa kesialan sesungguhnya itu adalah pola hidup toxic diri sendiri, bukan karena betapa buruknya wajah! Kalian ini bodoh atau dungu sih? Susah banget bedainnya. Oh iya lupa, kalian kan cuman bisa mengandalkan wajah, isi otak aja gapunya gimana bisa diajak berfikir logis?!"
Nita dan Ina tertawa kecil melihat keberanian Kei menghadapi orang banyak hanya dengan permainan kata. Meskipun efeknya hanya bertahan sebentar, tapi itu cukup menunjukkan bahwa ia tak selemah apa yang orang lain pikirkan. Meja kerumunan bintang sekolah serius menatap pertikaian, terutama Dian dan Rendy.
"Lo pikir ungkapan kayak gitu bisa mengubah pola pikir orang lain? coba diingat kembali, sekolah kita hanya untuk orang – orang visual terpilih, bukan debu kotor kaya lo!"
"Terus gimana caranya aku bisa sampai sekarang ini jika bukan karena sebuah tekad keberhasilan? Apa mungkin, hasil uang suap orang tua? Kekuatan orang dalam memang tidak ada tandingnya, tapi kecerdasan dan ketekunan tidak akan pernah kalah oleh hal tabu"
"Denger gak?! Apa perlu diulang? Lo kan gapunya otak, gimana bisa mencerna kata – kata?" Ina berseru mencaci penuh senyum smirk menyakitkan ketika dilihat.
Xandra sudah menahan emosi sampai dipuncak, ia menarik kerah baju Kei dan langsung memukuli tanpa ampun. Ina menarik Xandra agar menjauh dari Kei namun Rissa juga ikut memukuli. Nita mendorong keras tubuh Xandra agar menjauh, kemudian ia juga berusaha menjauhkan tubuh Rissa. Kei tidak selemah itu, ia menarik paksa rambut Rissa hingga rontok lalu menampar keras pipi mulus dihadapannya. Rissa berhenti bertindak, menarik nafas dalam – dalam.
Kerumunan tiba - tiba merenggang karena kedatangan geng yang salah satu ketua geng itu adalah kekasih Rissa. Rudy mendekati Kei menariknya mendekat, ia menaikkan dagu Kei kasar sambil menatap matanya tajam.
"Beraninya lo nampar pacar gue! Sok jagoan lo!" Kei sedikit terkejut akan sentakan Rudy, hampir saja ia menangis namun ditahan sekuat tenaga.
"Apaan sih!! Minggirrr woii!!" Nita dan Ina ditahan oleh teman - teman Rudy agar tidak ikut campur.
"Hahahaha....kenapa? pacar lo takut ngadepin cewek jelek kayak gue? Pakek bawa pawang segala" Rudy menampar pelan pipi Kei kemudian sedikit keras.
"Heh, jelek! Yang lu tampar tu wajah cantik tau gak, gak sebanding sama wajah jelek kaya lo"
"Percuma cantik kalau otaknya kosong!"
PLAK....
Rudy memukul keras pipi Kei hingga membuat semua orang terdiam, bibir kei mulai dialiri darah segar. Kei masih menatap kosong lantai yang ia pijak, tangannya sedikit mengepal, ia mencoba menahan tangis. Dian berdiri tidak terima atas perlakuan kasar Rudy terhadap Kei. Ditatapnya tajam mata Rudy, satu pukulan keras mendarat tepat mengenai sasaran. Tanpa menunggu jeda Kei menarik lengan Rudy lalu membantingnya ke lantai. Semua orang semakin terkejut, bahkan teman - teman Rudy sedikit mundur kebelakang tak berani membantu.
Dian yang menyaksikan hal itu sedikit terkejut karena Kei tidak selemah yang dipikirkan. Pak setiawan datang membubarkan keributan membawa seluruh pelaku menuju ruang BK. Orang tua Rudy, Rissa, dan Xandra telah datang akibat panggilan dari pak Setiawan. Orang tua Rissa dan Xandra tidak terima jika anak merekalah yang membuat keributan terlebih dahulu, mereka justru menyalahkan segala masalah terhadap Kei. Pak Setiawan akhirnya memberikan video bukti saat pertama kali Rissa dan Xandra membullynya dan video bukti hari ini. Mereka terdiam kemudian menyuruh Kei tutup mulut atau beasiswa Kei akan ditarik.
"Oh ya om dan tante, mohon maaf sekali saya harus mengatakan ini. Tolong rajinlah bersedekah, dosa kalian pasti numpuk buat nyogok sana sini" orang tua Rissa dan Xandra hanya bisa diam kemudian pamit pergi. Kini giliran orang tua Rudy.
"Saya tau jika Rudy hanya berpura – pura patah tulang, tapi saya tidak terima jika itu dilakukan akibat seorang gadis buruk rupa didepan saya. Prestasinya luar biasa, tapi bukankah cover juga dilihat pada setiap pekerjaan?"
Kei terdiam mendengar celotehan menusuk dari mulut ibu Rudy. Ludah ia telan susah payah karena gugup oleh argumen penuh penekanan. Ibu Rudy berdiri lalu memberikan amplop berwarna putih kepada pak Setiawan namun ditolak secara halus.
"Jika saya memang tidak bisa diterima dalam pekerjaan berbasis cover artinya saya diselamatkan dari orang – orang berpendidikan licik seperti kalian. Kalau memang terpelajar tidak mungkin mendidik anak secara brutal, bukankah begitu?"
"Buktikan kalau dirimu bisa sukses tanpa adanya uang penunjang, tidak ada orang baik didunia ini"
"Tentu saja tidak ada orang baik di dunia ini sebab mayoritas penghuni adalah orang – orang lemah seperti kalian"
Ibu Rudy terdiam kemudian berpamitan meninggalkan ruangan. Keluarlah Ibu Rudy dengan kepala diangkat keatas layaknya orang berwibawa, namun terkesan sombong. Kei ikut keluar melihat kedua temannya serta Dian menunggu cemas. Ibu Rudy mendekat kearah Kei sambil membisikkan sesuatu.
"Ingat ya, kamu itu hanya punya kemampuan dan keberanian, meskipun penting tapi tidak bertahan selamanya. Dunia ini kejam, kalau cover kamu tidak bagus, maka dalamnya akan terlihat buruk juga. Perbaiki dulu sana muka kamu, baru berlagak kuat"
"Saya harap orang berpendidikan tinggi seperti anda tidak takut dengan apa yang saya katakan, tapi mengapa terlihat jelas jika anda sudah kalah telak?"
"Bunga bangkai akan selamanya menjadi bunga bangkai" setelah berbisik seperti itu, tangan Ibu Rudy memegang dagu Kei diiringi senyum smirk menakutkan, lalu pergi dengan gestur bahagia.
Kei memandang beliau berjalan di koridor, jangan sampai perkataan ibu Rudy berdampak buruk padanya. Kei menarik nafas berat menatap Nita, Ina, dan Dian.
"Maaf, gara – gara aku kalian jadi terlibat"
"Jangan menyalahkan diri sendiri, sikap lo dalam membela diri benar. Yang salah adalah sikap orang lain memperlakukan lo" Ina menjawab penuh ketulusan memegang pundak Kei sambil menatap dalam sorot mata dandelion.
"Kalau memang sedih bilang aja, jangan dipendam sendiri, aku tau kok rasanya pura – pura bahagia" Nita bergantian menguatkan kembali akar dandelion yang hampir tercabut dari tanah.
Dian sedikit mendekat kearah Kei lalu mengusap lembut puncak kepala gadis itu. Tak lupa sang mentari tersenyum cerah menatap dandelion demi menyebarkan semangat kebangkitan.
"Saatnya tumbuh menjadi lebih kuat, perjuangan kali ini akan lebih sulit dari sebelumnya. Kuatkan pijakanmu, maka batang, daun serta bungamu akan mekar sempurna"