Pemandangan cerah terlukis indah diluar jendela kamar Nita, suasana sejuk tengah mengelilingi pagi indah. Burung berkicau merdu diatas pohon pinus sambil menari riang gembira. Nita meraih obat penenang yang berada pada nakas sebelah tempat tidurnya. Semenjak kejadian kelam itu, Nita sudah mengonsumsi obat penenang selama hampir 10 bulan. Ia terkadang cemas, gelisah, ketakutan secara tiba - tiba layaknya seorang depresi. Kejadian yang benar – benar merenggut seluruh kebahagiaan hidupnya.
Jalan pikiran Nita sempat berlabuh pada kejadian 10 bulan yang lalu. Dimana ia ditarik paksa oleh Ayden menuju gudang dan diperlakukan tidak senonoh. Xandra memvideo adegan tersebut sebab ia sakit hati melihat Martin selalu curi – curi pandang terhadap Nita. Pulang kerumah kepalanya hanya bisa tertunduk lesu kemudian menangis di dalam kamar. Hal itu merupakan masa paling kelam yang pernah ia alami.
Nita merasa menjadi wanita paling rendah dan hina, ditariknya selimut berwarna biru muda untuk menutupi sebagian tubuh, lalu merebahkan diri. Dilihatnya langit cerah sekali lagi. Bayangan wajah Martin seketika terlintas dibenaknya, senyum, tawa, segala hal tentang Martinlah yang membentuk senyum kecil diwajah Nita. Ya, Nita memang tertarik pada lelaki tersebut. Kurang lebih semenjak masuk di SMA NARA, Nita sudah mencintai sosok Martin. Satu momen indah yang ia ingat adalah ketika Martin dengan senang hati membantu Nita dalam mengerjakan kuis pada saat MOS berlangsung. Tidak hanya itu, Nita juga sangat menyukai suara indah milik Martin ketika bernyanyi.
"Mana mungkin wanita rendah sepertiku dapat menggapai lelaki berharga sepertimu" Nita bergumam menyadarkan diri sendiri agar tidak menghayal terlalu jauh menggapai pria impian.
Tidak ada seorangpun kecuali geng Xandra yang mengetahui kejadian amat kelam itu. itulah mengapa Nita selalu menjadi anak pemalu setiap akan mendekati orang lain. satu minggu lalu ia sangat beruntung karena dapat berkenalan dekat dengan Ina dan Kei. Sebenarnya Nita sudah tidak asing dengan seorang anak bernama Kei, bahkan ia hafal nama panjang wanita baik hati tersebut. Keiandra selalu bersikap baik – baik saja dihadapan para perisak saat disekolah. Padahal ia kerap menemui Kei menangis sesegukan di dalam toilet wanita berharap agar bisa diterima publik. Nita juga sering melihat Kei duduk menyendiri di bawah pohon sakura taman belakang sekolah. Rasa bersemangat kerap timbul saat ia melihat sosok Ravania Keiandra, meskipun banyak beban tertumpu pada kehidupan, sempat – sempatnya ia menyebarkan aura positif di sekitar.
Secara tidak langsung Kei mencoba memberitahu bahwa seburuk apapun keadaan yang dihadapi bukan berarti kehidupan seseorang harus berhenti saat itu juga. Waktu terus berlalu menciptakan momen – momen beragam pengisi cerita. Jika saja Nita berani mengajak berbicara Kei, mungkin ia sudah berteman sejak lama. Akhirnya takdir membantu Nita mengenal sosok pemberani serta tangguh seperti Keiandra. Rasa ingin mencurahkan masalah di dada kepada mereka meluap – luap. Di sisi lain, ia juga takut jika mereka perlahan menjauh karena memandang Nita sebagai wanita murahan.
Handphone Nita berdering, ternyata Ina yang sedang menelpon. Tanpa pikir panjang, Nita langsung mengangkat telepon tersebut.
"JINAMENTARI"
"Halo nit, kemarin lo gak liat lomba seni di sekolah?"
"Enggak in, gue ada jadwal latihan dance di sanggar"
"Makanya pas dicariin kaga ada. Gue buka stan makanan bareng Dian sama Januar, niatnya sih mau ngajak lo juga"
"Kei mana?"
"Biasa, tugas Negara. Dia kan jadi panitia penyelenggara kegiatan, meskipun tugasnya cuman jaga pintu belakang"
"Hahaha bisa aja lo, pasti lancarkan acaranya"
"Lancar dong, oh ya senin pulang sekolah ke cafe yuk sama Kei juga"
"Boleh - boleh"
"Sampe jumpa hari senin, bye"
"Bye"
Nita menarik nafas panjang kemudian dihembuskan dengan berat. Pintu kamar Nita digedor oleh bunda tercintanya. Beliau membawakan sarapan pagi seperti biasa, tidak lupa bunda juga membawa camilan kesukaan putrinya. Pertama kali mendengar kabar jika putri kesayangan miliknya dilecehkan, bunda langsung lemas dan segera menelpon psikeater. Tentu saja trauma pasca kejadian kelam akan selalu datang menghantui kapanpun dimanapun. Melihat keceriaan di wajah putri kesayangan merupakan kebahagian tersendiri untuk seorang ibu.
Bunda merapikan rambut Nita agar lebih segar ketika dipandang, hal ini membuat flashback akan masa lalu saat bunda mengikat rambut gadis kecil berumur lima tahun. Nita masih sangat polos dan penuh energi, sekarang aura Nita mendadak luntur tergantikan kesedihan.
Nita tiba – tiba berteriak ketakutan, mencobamencari benda yang dapat melukai diri sendiri. Bunda langsung memeluk erattubuh mungil gadis kecilnya. Teriakan semakin kencang membuat suasana sejukberubah drastis menjadi mencekam. Tangan bunda sibuk mencari kontak teleponpsikeater agar segera bergegas menuju kerumah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kedua mata jernih tengah menatap fokus kanvas polos tepat dihadapannya. Tangan indah mulai menari - nari diatas kanvas, sebuah garis halus ia gambar secara detail. Tak butuh waktu lama lukisan bertema taman bunga dandelion jadi dalam sekejap. Rendy menggelengkan kepala seperti orang salah tingkah, tanpa disadari pipinya memerah. Ia teringat pidato kemenangan beberapa hari lalu, saat matanya menatap lembut kearah Kei. Rendy menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur sambil berguling - guling tidak jelas.
Rendy terjatuh lalu mengadu kesakitan, ia berdiri dan menertawakan tingkah diri sendiri. Dibukanya galeri foto yang menampakkan seorang gadis sedang meniup bunga dandelion. Wanita itu adalah Kei, Rendy memfotonya saat Kei berada di rooftop bersama Januar dan Dian. Ia tengah termenung sendiri, menatap langit indah dengan raut datar. Diambilnya setangkai bunga dandelion mungil lalu ditiup tepat kearah langit. Moment seperti itu langsung diabadikan oleh Rendy disaat ia membutuhkan sebuah inspirasi.
Entah mengapa Rendy selalu merasa bahwa Kei bukan wanita sembarangan pada umumnya, ada sesuatu yang spesial di dalam diri Kei. Rendy pernah bilang pada Kei bahwa ia jelek, sejujurnya Rendy mengatakan bahwa Kei cantik namun sulit mengakuinya. Kini ia meloncat - loncat tidak jelas diiringi berputar seperti anak kecil sehabis bertemu cinta pertama.
Pintu kamar Rendy dibuka keras hingga membuatnya terkejut bukan main, itu adalah papa Rendy. Raut muka papanya kini sedang dilanda penuh amarah tak terbendung, Rendy memasang muka sangat datar.
"Kamu ikut lomba apa kemarin!!?" papa Rendy membentak tak tanggung - tanggung mengundang mama serta para pembantu melihat pertengkaran mereka.
"KAMU IKUT LOMBA APA KEMARIN!!?" Rendy tetap tak menjawab, ia hanya menatap tajam mata lawan bicaranya. Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Rendy. Ia tetap tak bergeming atau merasa kesakitan sama sekali.
"PAPA KAN SUDAH BILANG!!! KAMU GAUSAH MENGGAMBAR LAGI!! GA ADA UNTUNGNYA!!!! MAU JADI APA KAMU HAH!!!? PELUKIS JALANAN?!!!"
"GAK SEMUANYA BISA PAPA ATUR! UDAH CUKUP RENDY TERKEKANG SAMA ATURAN GAK MASUK AKAL DARI PAPA! INI HIDUP REN-" satu tamparan kembali mendarat di pipi Rendy. Mama yang memperhatikan keributan sedari tadi kini ikut melerai, beliau membawa papa pergi dari kamar Rendy secepatnya.
Pintu ditutup dengan keras, Rendy mengambil jaket denim dari gantungan, bergegas keluar. Mama yang melihat hal itu mencoba melarang Rendy namun sia - sia. Rendy pergi sambil membawa motor tanpa tujuan. Intinya Rendy ingin pergi sejauh mungkin agar tak bertemu papa, dia akan lebih senang jika papanya pergi berbisnis dan tidak pulang.
Rendy melajukan motor sangat kencang, ia benar - benar tanpa tujuan. Terbesit sesaat di pikiran bahwa menuju ke taman bukan hal buruk, lagipula di sore hari ini taman pasti sepi. Tanpa pikir panjang Rendy langsung bergegas kesana.
Sampai di taman Rendy berjalan santai mencari view nyaman agar berusaha menenangkan pikiran. beberapa detik lalu ia sempat memikirkan gadis dandelion yang amat sangat ia kagumi. Jika saja hidup Rendy adalah hidup milik Kei, mungkin ia akan menjadi lebih bahagia. Dimana kebahagiaan dapat diukir sendiri serta dapat mengukir masa depan sesuai keinginan. Tanpa ia sadari seorang wanita tengah berjalan ringan menikmati pemandangan indah guna mencari udara segar.
Kei memilih duduk di bangku dekat tanaman bunga dandelion dengan view sunset menakjubkan. Senyuman perlahan terukir di bibir Kei, ia merasa sangat tenang saat melihat sunset. Pikirannya berlabuh kemana - mana, Kei mengingat kata makian yang dilontarkan padanya karena fisik tak memadai. Ia tetap tersenyum, bahkan hampir tak pernah menangis. Sejujurnya Kei lelah dan butuh semangat dari orang - orang terdekat, namun ia takut memperlihatkan kelemahan pada mereka.
"Hanya dengan rintangan seperti itu manusia lemah, bagaimana akan menghadapi rintangan lebih berat lainnya?"
Mata Kei kini tertuju pada sosok lelaki berjaket denim sedang menatap sendu langit sore. Kei yakin bahwa ia kenal dengan sesosok lelaki itu. Sampailah pada moment dimana mereka saling bertatapan dan terkejut satu sama lain. Rendy menatapnya dengan raut datar, baru pertama kali ini ia melihat lelaki itu dalam versi berbeda. Kei bingung mengapa Rendy bisa menangis, adakah hal sedih tengah melanda hatinya?. Rendy perlahan duduk mendekat di samping Kei menyisakan jarak dua meter antar keduanya.
"Lo kenapa?" Kei melontarkan pertanyaan kepada Rendy. Yang ditanya hanya menggeleng kuat tetap dengan memadang langit dalam raut muka datar. Mata Kei tetap terpaku pada wajah Rendy, seketika ia teringat lukisan wanita meniup dandelion. Rendy menoleh kearah Kei lalu mendekatkan wajah sampai Kei sedikit tersentak.
"Jangan dilihat terus, ntar suka" ucap Rendy masih tetap dengan raut muka datar, bahkan sangat datar. Kei menjauhkan muka Rendy, ia menatapnya jijik.
"Terkadang gue iri sama burung yang terbang bebas, dia tumbuh dengan mandiri tanpa adanya kekangan dari pihak manapun" Rendy menggumam sendu, kedua bola matanya menatap burung di atas pohon cemara.
"Daripada iri dengan yang lain, kenapa gak langsung diwujudin sendiri aja, buktiin kalo lo beneran mampu menjadi sesuatu luar biasa tanpa kekangan dari pihak manapun"
"Gak semudah apa kata lo"
"Ya karena lo belum pernah mencoba, diam dan lari tidak akan mengubah apapun"
Rendy berdiri mendekatkan dirinya kearah Kei, ia memetik setangkai bunga dandelion di sebelah bangku taman. Perlahan Rendy meniup kelopak bunga tersebut kearah langit sore kemudian tersenyum penuh arti menatap Kei. Tangan Rendy mengelus lembut pucuk kepalanya.
"Kata – katamu selalu memberi perubahan dalam setiap momen keseharianku, apakah ini yang disebut candu?"