Jam pelajaran matematika selalu terasa lama di siang hari, wajah kantuk seisi kelas hadir mendampingi kebosanan. Bu Tasya terlalu bersemangat menjelaskan materi di depan tanpa menghiraukan murid yang sudah lesu layaknya tak bernyawa. Dian sedari tadi terus menggerakkan kakinya di dibelakang kursi milik Yana. Januar sibuk membuat pesawat kertas lalu ia terbangkan kearah luar jendela, Kei memperhatikan pesawat tersebut terbang mulus hingga mendarat di lapangan hijau sekolah.
"Apakah ada pertanyaan? Jika tidak akan saya tunjuk untuk maju kedepan" Bu Tasya dengan sangat spontan melontarkan pertanyaan menakutkan dikala semua siswa tak memperhatikan. Seketika seluruh murid di dalam kelas tertunduk berharap agar nama mereka tidak disebut. Januar melirik kearah Kei sambil berkata bahwa ia harus maju. Kepala gadis itu menggeleng keras karena sama – sama tidak memperhatikan materi di depan.
"Apakah ada yang bersedia menawarkan diri untuk maju ke depan?" Yana sudah heboh terus menerus sebab ia takut jika namanya yang berada di absen paling atas akan dilontarkan.
"Baiklah kalau begitu Dian silahkan maju" Bagai disambar petir Dian terperanjak bukan main. Sedaritadi ia hanya memperhatikan pemandangan di luar jendela, lagipula Dian juga tak pernah memperhatikan pelajaran. Matanya langsung melotot sempurna, sekujur tubuh Dian mendadak membeku.
"Nasib" Dian mengutuk dalam hati sambil berjalan lunglai ke depan kelas, ia benar – benar sudah pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Aduh bu perut saya sakit..."
"Tidak usah alasan kamu, orang tadi baik – baik saja kok, cepat kerjakan" Seluruh penjuru kelas tengah menertawai tingkah bodoh Dian, mereka terlihat sangat puas karena troublemaker kelas akhirnya mendapat pelajaran setimpal.
Dian hanya bisa terdiam memandang soal trigonometri sambil memegang spidol pasrah. Keringat mulai bercucuran, tangan gemetar tidak beraturan.
"Ayo jawab hahaha"
"Ngapain lo keringetan? Lomba lari?"
"HAHAHAH"
"Semoga bentar lagi istirahat..semoga bentar lagi istirahat" Yana menggumamkan doa agar sebentar lagi jam pelajaran matematika usai.
Bel yang sangat di nanti – nanti, bel jam istirahat kedua akhirnya berbunyi. Yana menarik nafas lega serta penuh kebanggaan akibat doanya terkabul juga. Dian kembali ke kursinya sambil meregangkan tubuh, bu Tasya segera pamit undur diri disusul sorakan lega seisi kelas. Januar menepuk pundak Dian mengajak pergi ke kantin, namun Dian menggelengkan kepala dalam posisi tertunduk lesu. Januar mengusap kasar rambut Dian lalu pergi begitu saja menuju kantin.
Kelas sepi menyisakan Kei dan Dian, Kei tidak pergi ke kantin karena harus menyalin semua materi tadi. Ia sedikit aneh menatap tingkah laku tak biasa si bunga matahari kelas. Mungkin saja anak itu kelelahan sehabis bermain basket di jam istirahat pertama. Kei memasang earphone di telinga lalu memutar lagu klasik menemani menyalin materi. Suasana diluar sekolah berubah menjadi dingin oleh kesiur angin yang mengundang awan gelap. Hujan rintik – rintik mulai turun membasahi sekolah, Kei berdiri menyalakan lampu kelas karena dirasa terlalu suram.
Mata lelaki itu tengah menatap penuh kesedihan pada langit gelap penuh amarah diluar jendela, kilat mulai menyambar tapi tak membuat Dian berhenti menatap langit.
"Dian" yang dipanggil menoleh lembut kearah Kei, entah kenapa Kei merasa ikut sedih ketika melihat tatapan Dian.
"Lo kenapa?" ia hanya menggeleng kemudian menatap langit kembali.
Kejadian itu membuat Kei teringat momen dimana ia sedang berada di taman dengan Rendy. Ketika manusia kejam sepertinya melontarkan kata – kata manis namun berujung pahit. Setelah mengusap kepala Kei, Rendy langsung mengeluarkan smirk khas mengejek miliknya. Tak hanya itu, Rendy juga mengeluarkan kata sarkas seperti biasa.
"Candu apanya? Lebih ke jijik yang jelas! Lo gak spesial ! Lo cuman bunga dandelion rapuh yang akan hancur ditengah jalan!"
Bukan hanya kesal, ia juga merasa terhina akibat kalimat penuh sarkas dari lelaki gila. Tangannya menampar pipi Rendy sangat keras hingga membuat suara. Jika mengingat kejadian itu Kei ingin sekali meluapkan segala emosinya. Dian duduk disebelah Kei sambil memasang satu earphone di telinganya, tatapan bingung terlihat jelas ketika mata sang dandelion menatap lekat sang mentari.
"Setiap orang memiliki badai riuh dikehidupan masing – masing, disitulah peluang mereka memilih untuk tetap bertahan melawan badai atau berhenti serta ikut terhempas oleh angin"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Langkah kaki ringan mengiringi setiap perjalanan Ina, perasaannya tengah berbunga – bunga. Desain logo brand outfit yang merupakan tugas minggu lalu mendapat nilai sangat memuaskan. Kerja kerasnya selama ini tidak sia – sia, mulai dari begadang siang hingga malam sampai kelelahan memikirkan model menarik hati pembeli. Ina sedang menuju ruang kelas MIPA 3 menyusul Nita lalu menjemput Kei dan segera pergi ke kantin. Saat sampai di kelas Nita, Ina melihat temannya sedang asyik mendengarkan earphone disaat suasana dingin oleh hujan. Entah kenapa saat melihat Nita, hati Ina selalu mengatakan bahwa ada sesuatu tersembunyi dibalik tingkah laku wanita pendiam ini. Jarang sekali ia ia melihat Nita berinteraksi bebas dengan banyak orang. Dibilang pemalu juga tidak, dibilang mudah bergaul juga tidak. Mata Nita selalu berhati – hati ketika akan berdekatan dengan orang baru, layaknya mengintimidasi lawan. Ina menarik earphone dari telinga Nita dan mendapat respon mengejutkan, wanita itu melonjak kaget serta melindungi diri seperti orang hendak disakiti.
"Hei, ini gue Nit. Lo gapapa?"
"Ah Ina, hehehe gapapa kok" Nita segera memperlihatkan gerak – gerik normal dan sedikit senyum palsu.
"Ke kantin yuk, tapi jemput Kei dulu"
"oke" Nita berdiri lalu berjalan meninggalkan Ina menuju ke ruang kelas XI IPS 3. Ina semakin bingung dengan tingkah laku aneh Nita, ia sempat berfikir mungkin temannya satu ini sedang mengalami masalah beruntun. Tetapi mukanya menampilkan raut lebih dari sekedar masalah, lebih tepatnya sesuatu yang disembunyikan. Warnanya pekat dan gelap sehingga disimpan rapat – rapat agar tak merusak warna indah di sekitar.
Cara berjalan Nita juga selalu menunduk hampir sama seperti Kei saat berjalan di koridor, namun bedanya wanita ini jelas seperti orang ketakutan. Perlahan Ina menepuk pelan pundak Nita sebab langkahnya terlalu cepat hingga meninggalkan Ina dibelakang.
"Buru – buru banget sih, tunggu dong. Kaki gue pendek ga kayak lo"
"Hehehe sorry, gue laper soalnya" mata Nita selalu turun kebawah ketika berbicara dengan orang lain. Ina merangkul pundak Nita berusaha mengajaknya berjalan santai serta mengusir ketakutan. Perilaku Ini menandakan bahwa ia akan baik – baik saja sebab seorang teman ada didekatnya.
Sampai di ruang kelas XI IPS 3, terlihat dua bunga indah sedang mendengarkan earphone pada suasana sendu di siang hari. Ina mengetuk pelan pintu kelas kemudian tersenyum menggoda melihat Dian, lelaki itu mengalihkan pandangan agar tidak terlihat salah tingkah di dekat Keiandra. Nita duduk di bangku depan Kei sambil memperhatikan temannya sibuk menyalin materi.
"Tumben gak ke kantin sama si buaya darat?"
"Kepo lu sukija" Dian melontarkan jawaban ketus sambil menampilkan wajah acuh tak acuh. ekspresi Ina menampakkan bibir bergumam mengejek lalu duduk di sebelah gadis pemalu. Nita tertawa renyah menyaksikan canda receh yang dibuat alami dari kelakuan masing – masing karakter.
Hujan diluar kelas semakin deras membuat suasana menjadi sedikit dingin serta suram, padahal semua lampu telah dinyalakan. Seorang perempuan berpakaian olahraga mengetuk masuk ke dalam kelas dan langsung menarik tubuh Kei dengan paksa. Dian menahan tangan Kei hingga ikut berdiri, kedua kubu saling menatap tajam.
"Lepasin"
"Kei dipanggil pak Setiawan ke kantor, lo yang lepasin" perempuan itu berujar tidak kalah ketus dari Dian. Ina sedikit curiga melihat respon dari Hana.
"Lo gak lagi sandiwara kan Han?" Ina bertanya sambil memberikan tatapan maut mencoba meneliti apakah kebohongan terdapat dalam diri Hana.
"Dia beneran di panggil, ini tentang olimpiadenya"
"Beneran Kei lo ikut olim?" Ina memastikan jika Hana tidak omong kosong.
"Iya kok, udahlah ayok han"
Kei meninggalkan mereka bertiga memandang cengo kepergiannya, Nita sedikit cemas jika saja Kei tidak kembali dalam keadaan utuh. Coretan yang ia lihat di meja Kei terlalu menggambarkan bahwa selama ini luka gadis tangguh itu terlalu perih. Dian bangkit dari kursi menyusul kearah mana Kei dibawa keluar, Nita dan Inapun mengikuti lelaki itu. Ketika sampai di ruang pak Setiawan, Dian mengetuk pintu kemudian membuka pelan.
"Silahkan masuk, ada apa Dian?"
"Loh Kei belum kesini pak?"
"Saya gak manggil Kei nak"
Mendengar hal itu Ina bergegas mencari Kei ke seluruh penjuru sekolahan, Nita dan Dian juga ikut mencari namun dengan berpencar. Hingga kebelakang sekolah Kei tak kunjung ditemukan, Ina kehabisan kesabaran ingin berteriak kencang dan langsung menjambak rambut Hana. Di sisi lain Kei tengah di kelilingi gerombolan Rissa serta Xandra yang membawa gunting dengan kertas. Tubuh Kei ditahan oleh anak lain sehingga Hana leluasa memotong kecil seragam sekolah miliknya. Keiandra berusaha melepaskan diri namun pegangan kuat para perisak tidak dapat ia lawan.
Rissa tertawa puas sambil mencaci maki mangsa di depannya, Xandra juga memvideo adegan seru yang selama ini ia nantikan. Tangan penuh dosa milik Rissa digerakkan dengan cepat mengirim foto tiga foto pengundang kebencian terhadap Kei. Foto pertama adalah ketika Januar mengantar pulang Kei saat berdalih akan mampir ke café baru. Foto kedua adalah Rendy yang mengusap lembut pucuk kepala Keiandra di taman saat sore hari, dan foto ketiga adalah Dian sedang mendengarkan earphone di kelas siang ini. Foto itu ia sebarkan menggunakan kata – kata pelontar kebencian agar Ravania Keiandra di permalukan satu sekolahan.
"Hahaha makanya jangan sok kecantikan, sadar diri lu tuh jelek tau gak!" Hana terus memotong kecil seragam Kei hingga membuatnya bolong – bolong memperlihatkan pakaian dalamnya.
"Stop..hiks..aku gaada apa – apa sama mereka..hiks" Kei mengadu penuh ampun agar perlakuan ini segera dihentikan.
"Ayo mohon terus, toh kita belum puas juga" Xandra memvideo penuh kemenangan.
"Nih sekarang pakek kertas ini sambil ujan – ujanan di lapangan oke!" Rissa menarik lengan Kei tanpa ampun hingga membuatnya berdiri sambil memakaikan Kertas dengan selogan 'Aku pecundang! Gak tau diri! Gak tau malu! Hina sesuka kalian'.
Kei sudah tidak sanggup melawan, mau pergipun tidak tahu harus kemana. Gerombolan ini terus merisaknya hingga tubuh besar terguyur oleh deras air kesedihan alam. Rissa memakai payung mencoba menarik Kei agar terus berjalan ke tengah lapangan. Sampai disana ia berlari ke tepi koridor kelas tertawa puas melihat mangsanya menjadi lemah seketika.
Notifikasi pesan pemberitahuan kepada seluruh murid berdering menampilkan foto yang Rissa kirim beberapa menit lalu. Mendadak seluruh orang berkumpul melihat Kei menangis dibawah hujan dalam keadaan memalukan. Sorakan mengejek bahagia terdengar riuh mengisi suasana ditengah lebatnya hujan siang ini. Ina yang melihat adegan itu hendak menarik Kei ke tepi lapangan namun ditahan oleh Rissa. Ina terus berontak tetapi ia kalah telak sebab lengannya langsung ditahan oleh Rudy, Nita juga ditahan dengan gerombolan lainnya. Dian sudah berada di tepi lapangan terus dihadang penggemar tidak tau diri yang semakin membuatnya muak ingin melampiaskan amarah.
"Lihat tuh! Si buruk rupa, udah ngedeketin Januar, Rendy, eh sekarang berusaha ngedeketin Dian. Jalang!!"
"Udah gapunya temen, sok bertahan hidup di padang savana kayak gini. Kalo adu keberanian ikut acara survival aja mbak!"
Semua orang tertawa bahagia akibat penuturan kasar dari Rissa dan Xandra, semua anak ikut bersorak mengejek Keiandra. Tubuh Kei basah kuyup menampakkan baju sobek layaknya gelandangan hingga pakaian dalam sedikit terlihat. Air mata Kei terus mengalir seiring derasnya air hujan mengguyur segala harga diri yang tersisa.
"Kei emang gasadar diri, udah tau buruk rupa kayak gitu, berani – beraninya ngedeketin bintang sekolah!"
"Udah jelek, sampah masyarakat, gaada untungnya dia disini"
"Kok bisa sih diterima jadi OSIS, gak salah tuh di Jhoseph?!"
"Merusak visual osis aja!"
"Kalau jelek gausah sok kuat!"
"Gabutuh punya temen wajah buruk kayak lo!"
"Nasib sial mati aja!"
Gunjingan ini akan terus berlanjut hingga mangsa benar – benar tumbang di tempat, untuk pertama kalinya Kei merasa gagal menjadi manusia berguna. ia merasa keuntungan dirinya dilahirkan tidak kunjung Nampak, justru masyarakat menolak keberadaan Kei mentah – mentah. Kepala ia tundukkan sedalam mungkin, tangan mengepal menguatkan diri sendiri. Tidak ada yang mampu menolong di keadaan seperti ini kecuali dia. Iya, Kei hanya punya dirinya sendiri, untuk kali ini. Rasa benci muncul sekelebat pada orang sekitar, Ia tidak bisa diam jika diperlakukan seperti orang bodoh.
Tiba – tiba tas miliknya dilempar tepat pada kepala sehingga buku pelajaran berserak kemana – mana. Dengan cekatan, ia memunguti semua buku layaknya orang bodoh di usir oleh sang majikan. Ketika Dian hendak meraih tangan Keiandra, wanita itu bersuara lantang melawan seribu pasukan seperti di medan perang.
"AYO HINA LAGI! MEMANG ITU KEAHLIAN KALIAN! DIBALIK WAJAH SEMPURNA YANG KALIAN MILIKI ITU GAADA ARTINYA SAMA SEKALI SELAMA PRIBADI KALIAN TIDAK SAMA BAIKNYA DENGAN WAJAH!" Kei berteriak penuh luapan emosi, Dian tertegun mendengar ucapan Kei. Januar segera menarik lengan Dian agar kembali ke tepi lapangan.
"Lepasin! Lo gak liat Kei lagi di hina habis – habisan!!"
"Semakin lo lindungi, semakin memperburuk suasana"
"SUKA KAN KALIAN DENGAN TONTONAN SEPERTI INI?! AYO HINA LAGI! KALIAN PIKIR GUE BAKAL MEMOHON GITU BIAR GAK DIPERLAKUKAN SEPERTI INI? AYO HINA SAMPAI PUAS!!!" Kei berteriak lantang membuat semua orang disekitarnya tersenyum meremehkan. Penonton melempari Kei dengan kertas tanda bahwa mereka memang suka dengan peristiwa di depannya.
Nita dan Ina prihatin melihat Kei menjadi tontonan bodoh oleh orang – orang kejam seperti mereka. Ina sudah bersusah payah untuk menolong Kei namun terus ditahan Rudy sekuat tenaga. Seorang lelaki menerobos hujan sambil membawa payung transparan besar menuju ke tengah lapangan. Ia memayungi Kei lalu memaksanya agar mau berteduh.
"Sudah cukup lo diperlakukan bodoh seperti ini, perempuan istimewa seperti lo gak layak dapet perlakuan dari blis seperti mereka. Mana dandelion yang gue kenal? Apa udah mati di tengah jalan?"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kei ditarik paksa oleh Rendy ke gedung olahraga, hanya disana tempat tenang tanpa manusia periuh suasana. suara isak tangis memenuhi ruangan, Kei terduduk pilu sambil menelungkupkan tangannya. Rendy masih berdiri menatap gadis rapuh namun bertahan agar tetap kuat disetiap rintangan. dilepasnya jaket berwarna kuning cerah demi menghangatkan tubuh gadis dandelion didepannya. Rendy mengusap lembut pucuk kepala Kei, namun ditolak mentah - mentah dan dibalas tatapan tajam.
"NGAPAIN LO BANTUIN GUE?! KALAU LO EMANG BENCI GAUSAH SOK CARE! GUE GABUTUH PERLAKUAN MANIS IBLIS KAYAK LO!"
Kata makian yang keluar dari mulut Kei tidak di dengar oleh Rendy, justru ia malah membenarkan jaket pada tubuh gadis ini agar lebih hangat. Keiandra masih setia menatap tajam Rendy berharap agar semua perlakuan manis itu segera usai, ia lelah dengan sikap plin - plan lelaki rubah dihadapannya.
"Cukup...GUE BILANG CUKUP!!" Rendy mulai mendengar perkataan Kei dan bahkan sedikit tersentak. Mereka saling bertatapan, menampilkan kesan penuh emosional pada setiap moment yang terputar. Mata Kei mengisyaratkan bahwa ia bukan wanita mudah jatuh hati karena suatu perlakuan yang dibuat - buat. Ia memang mengagumi Rendy tapi bukan dalam sisi seperti ini. Rendy menarik tubuh Kei hingga jatuh pada pelukan lembut seorang Rendy Juniantara. Kei terkejut, langsung menolak pelukan itu namun kalah kuat dengan eratnya pelukan Rendy.
"Bertahan dan bangkit seorang diri memang sulit, tapi siapa yang mau membantumu jika bukan diri sendiri?"