Lapangan sekolah dipenuhi ratusan siswa baru beserta anggota OSIS sedang melaksanakan kegiatan MOS. Masing – masing siswa/siswi mendapat bagian memaki kostum sesuai perintah yang telah disebutkan sebelumnya. Januar sangat sial dikala itu, ia lupa tidak memakai kostum sesuai keinginan panitia. Regu dalam kelompok kebingungan, takut jika mereka akan dihukum. Januar melontarkan permintaan maaf dan langsung diterima. Salah satu orang dalam kelompok melepas kostum dokter miliknya. Anak itu memberikan kostum kepada Januar, ia bingung harus menerima atau menolak pemberian itu. Tangan Januar mengambil kostum dokter milik Kei kemudian memakai secepat mungkin. Panitia mulai keliling di masing – masing kelompok mencari siapa yang tidak memakai kostum. Kei ketahuan lalu menjelaskan agar hanya dia saja yang dihukum, sebab atas keteledoran dirinya sendiri tidak membaca informasi. Alhasil ia dihukum berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh kali.
Para peserta bergunjing mengenai fisik Kei yang jauh dari kata rupawan, tiba – tiba saja hati Januar kesal mendengar penuturan sekitar. Ia sangat berterima kasih dan malu karena Kei mau membantu orang tidak berguna sepertinya. Ketika Kei selesai menjalankan hukuman, tidak ada satupun orang dalam kelompok berterima kasih telah di bebaskan dari hukuman. Raut muka Kei sedikit turun kemudian tersenyum kembali ikut menyelesaikan kuis dari panitia. Januar memberikan minuman soda kepada Kei, ia tersenyum lepas sambil menerima. Diminumnya soda hingga tegukan terakhir, para wanita dalam kelompok menatap sinis kearahnya. Januar sangat bingung, orang – orang ini kenapa menatap bidadari tak bersayap sepertinya dengan tatapan benci. Apakah fisik se agung itu hingga di bangga – banggakan?.
Acara MOS dihari terakhir ini selesai, saatnya pembagian kelas. Januar masuk di kelas X IPS 3 bersama dengan Dian sahabat sejiwa dan Kei teman satu kelompoknya. Ketika hendak mengobrol dengan Kei, Januar dihadang oleh murid lain diajak berkenalan. Kei benar – benar terasingkan di bangku pojok kelas dekat jendela, ia menatap sendu melihat murid lain hanya mau berkenalan dengan manusia rupawan. Wali kelas memasuki ruangan membuat semua murid duduk di bangku masing – masing. Beliau mengumumkan hasil tes akademik terbaik, peringkat pertama diraih oleh Ravania Keiandra yang mewakili seluruh anak IPS kelas X. Januar memberikan tepuk tangan meriah, berbeda dengan murid lainnya. Mereka bertepuk tangan seperti pasrah dengan keadaan. Kei tetap tersenyum bahagia meskipun terlihat jelas titik kesedihan pada bola matanya.
Hari demi hari perlakuan murid lain menjadi semakin beringas terhadap Kei, entah itu buku tugas yang basah kuyup, meja penuh coretan, ataupun kata gunjingan setiap melewati koridor. Kei tetap tersenyum meskipun bukan senyuman tulus, bahkan ia selalu meraih peringkat satu di setiap semester. Januar ingin sekali berteman dengan Kei namun takut jika orang lain semakin membencinya. Apalagi Januar pernah melihat sendiri ketika ia mengembalikan kostum dokter kepada Kei, penggemarnya melabrak Keiandra habis – habisan disangka ia telah tebar pesona terhadapnya. Semenjak saat itu Januar selalu ingin membalas kebaikan Kei tanpa diketahui orang lain. bahkan ia selalu mencoba berkomunikasi diam – diam agar Kei tidak mendapat timbal balik yang menyedihkan.
Secara tidak langsung Kei adalah sumber motivasi Januar, ia selalu ceria dan bertindak baik – baik saja meskipun badai menerpa hingga ke ujung dunia. Dimata Januar, Kei adalah malaikat tak bersayap yang menyebarkan kebaikan disekitar. Tanpa Kei, Januar tidak akan pernah tau arti dari sebuah ketulusan. Perkataan Tristan sempat terbayang di pikiran Januar, bahwa Kei memang bunga dandelion pemberani yang melewati ganasnya angin topan. Meskipun pendaratannya tidak memungkinkan untuk tumbuh, tetapi dengan tekad kuat ia mampu bertahan sampai sejauh ini.
Kesempatan berbuat baik akhirnya dapat dilaksanakan, Januar mengantar Kei pulang dengan selamat. Selama perjalanan ia berbincang mengenai ucapan terima kasih karena kebaikan seorang Ravania Keiandra. Wanita itu hanya mengangguk dan berkata jika apa yang ia lakukan semata – mata ingin menjadi seorang teman bukan menerima pujian ataupun terima kasih. Ketika hendak pulang, Januar menatap kearah Kei lamat – lamat.
"Secara tidak langsung sumber memotivasi kau salurkan di dalam aura kehidupan, sinar itu menerangi kegelapan dalam hidupku, jadi kebaikan akan selalu dibalas oleh kebaikan"
"Hahaha penilaian lo bisa aja salah"
"Gue harap kedepannya kita bisa berteman" Kei tertawa kecil sambil menganggukkan kepala.
"Pasti"
Januar hendak pergi pulang kerumah, namun ia teringat satu kalimat penting yang harus ia katakan pada Kei.
"Oh ya, gue lupa" Kei yang sudah melangkah hampir satu meter berhenti dan menoleh akibat panggilan dari Januar.
"Apaan?"
"Semangat! Meskipun lingkungan sekitar menentang kehadiranmu tetaplah tersenyum dan terbang bebas!"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Terik matahari menyengat di cuaca cerah siang ini, pemandangan langit biru dari rooftop sekolah menambah ketenangan hati. Januar tengah tidur bersantai menikmati angin sepoi – sepoi mengusir kegerahan di dalam kelas. pintu rooftop terbuka menampakkan Dian membawa minuman dingin dan langsung dilempar kepada Januar. Dengan sigap Januar menerima minuman itu kemudian berjalan ke tepi pagar rooftop. Lapangan sepak bola luas serta taman belakang sekolah terlihat jelas dari atas, mata Januar terpaku pada sosok wanita sedang meniup bunga dandelion di taman belakang. Senyuman kecil menghiasi muka Januar karena melihat kebahagiaan sedang merekah.
Dian yang menyadari hal itu mencari objek yang membuat temannya tiba – tiba tersenyum. Ternyata Januar sedang memperhatikan Kei, Dian sempat tidak percaya namun ia juga sangat takut jika Januar juga menyukai Kei. Sulit untuk jujur dengan perasaan jika Dian sebenarnya sudah menggemari Kei sejak lama. Waktu itu ia bertemu Kei saat masih duduk di bangku kelas X, dimana waktu itu Dian sedang dalam keadaan tidak baik – baik saja. Perut Dian tengah menahan lapar sedari kemarin karena tidak ada makanan apapun di meja makan. Bahkan ia tidak memiliki uang lebih untuk membeli makanan di luar, jadi Dian menahan hingga keesokan harinya. Setiap berangkat sekolah, Dian selalu bersamaan datang dengan Kei. Dian selalu berjalan di belakangnya dan melihat orang – orang bergunjing menertawai penampilan wanita dandelion di depan. Kei juga kerap memakai earphone tanpa memperhatikan sekitar, tak tanggung – tanggung ia juga dilempari gumpalan kertas.
Dian hendak membantu tetapi takut memperburuk suasana, para penggemarnya pasti akan merisak Kei habis – habisan. Perihal itu membuat Dian kebingungan ketika hendak membantu ataupun berinteraksi dengannya. Ketika jam pelajaran olahraga Dian tidak ikut dan diam menyendiri di dalam kelas, kala itu Kei sedang mengambil botol minum karena kelelahan mengikuti penilaian lari. Ia melihat Dian diam menunduk sambil memegang perut. Berhubung kelas sepi Kei mendekati Dian dan menanyakan keadaannya. Dian hanya berkata bahwa ia sedang tidak enak badan, Kei mencoba mengecek suhu tubuhnya. Benar saja, Dian demam membuat wajah dan bibir nampak pucat. Kei membantu Dian berdiri menuju ke ruang UKS. Dengan memperhatikan sekitar, Kei memberanikan diri karena koridor tengah sepi tanpa seorangpun. Sesampai di UKS, Kei menunggu hingga Dian diberi obat oleh guru disana.
"Perut kamu kosong Dian" Bu Eni memberikan vitamin kemudian berkata pada Kei agar membelikan makanan. Dengan cepat Kei kembali ke kelas membawa bekal makanan miliknya dan memberikannya pada Dian. Bu Eni izin meninggalkan UKS sebab harus mengajar di kelas XI, Kei mengangguk akan menjaga Dian hingga benar – benar sembuh.
"Tapi ini kan bekal lo"
"Dan gue lebih sehat dibandingin lo, udah makan aja"
Kei membantu Dian duduk, ketika hendak menyendok makanan Dian mendadak ingin muntah. Kei berusaha secepat mungkin mencari kantung plastik, beruntung ada banyak kantong plastik di rak UKS. Dian memuntahkan seluruh isi perut tetapi tidak ada yang keluar. Tentu saja karena isi perut Dian kosong tanpa terisi makanan sedikitpun. Alhasil Kei menyuapinya perlahan meskipun ia menolak karena perut tidak bisa diajak berkompromi.
"Mau gak mau, lo harus tetep makan"
Tidak disadari jika bekal Kei perlahan habis dimakan olehnya, pada suapan terakhir ia sudah tidak kuat. Keipun menyerah lalu memberikan minum, tak lupa Kei juga menyuruh Dian meminum vitamin pemberian bu Eni.
"Udah lo tidur aja, bentar lagi juga istirahat"
"Lo disini, tungguin gue"
"Tapi penggemar lo-"
"Cuman sampe jam istirahat"
Kei mengangguk karena keinginan Dian, ia duduk santai sambil memainkan handphone menunggu hingga Dian perlahan tertidur. Suara dengkuran halus mengalun mengisi ruangan, Dian sudah terlelap. Dengan hati – hati Kei meninggalkan ruang UKS tanpa membuat suara sedikitpun.
Mengingat momen itu membuat Dian tersipu malu , sekarang pikirannya kembali beralih pada peristiwa dimana ia diselamatkan Kei dari hantaman bola basket. Kala itu Dian sehabis bermain bersama dengan teman lainnya, geng Rudy memang sedang panas – panasnya iri terhadap gerombolannya. Dian tengah berinteraksi dengan penggemar yang memberikan botol minum, sedari tadi Brian menatap kesal kearah Dian sebab kekasih Brian memberikan minuman kepadanya.
Akibat itu, sebuah hantaman bola basket kencang hampir mengenai Dian. Beruntung Kei langsung menghadang dengan menutupi Dian menggunakan punggung miliknya. Orang – orang bukannya menyakan keadaan Kei justru khawatir dengan Dian. Kei buru – buru pergi dari tempat kejadian dengan menahan rasa sakit dipunggungnya. Dian hendak berlari menyusul Kei namun terlalu banyak penggemar berkerumun di sekitar. Semenjak kejadian itu, Dian sering melihat Kei termenung menatap langit kadang juga tersenyum hangat kearahnya ketika mengucap selamat pagi.
Lambat laun Dian memang harus mengakui jika ia sudah jatuh kedalam pesona Kei, dia memang cantik luar dalam. Balasan kebaikan selalu terlintas namun sulit ketika akan dilaksanakan, rasanya Dian ingin menjadi siswa biasa saja agar bisa berinteraksi dengan baik kepada Kei. Januar membuyarkan lamunannya yang sedari tadi tersenyum dan tersipu – sipu sendiri.
"Mikirin apa lo?"
"Hehehe enggak kok, bukan apa – apa"
"Kirain udah gila"
"Oh ya Jan, lo suka Kei?" Januar menatap Dian sebentar kemudian tertawa renyah sambil memukul pelan pundak temannya.
"Hahaha, enggak lah, gue cuman nganggep dia temen aja, lagian kalau gue suka Kei dia ga akan suka balik ke gue meskipun penampilan gue oke. Karena bukan sosok seperti gue yang dia cari"
"Oh kirain lo suka sama dia"
"Gue penasaran siapa lelaki yang bakalan beruntung dapetin dia"
"Semoga aja gue" Januar tersenyum faham jika temannya memang menyukai gadis itu. Pancaran cinta selalu terlihat ketika Dian menatap kearah Kei.
"Omong – omong, Dandelion emang udah memikat banyak orang ya meskipun penampilannya jauh dari kata indah"
Sebuah suara tidak terduga muncul secara tiba – tiba dibalik tumpukan meja usang dekat tandon air. Rendy berjalan mendekati Januar dan Dian, ia menatap kedua temannya secara bergantian kemudian memberikan smirk ciri khasnya. Januar menatap tajam mata Rendy berusaha memperingatkan agar ia tidak berbuat macam – macam.
"Sehebat apa dia hingga menjadi inspirasi kalian?"
"Lebih dari apa yang lo bayangkan" Dian berucap sambil terus memperhatikan Kei yang sedang menatap langit dengan damai sambil terus memetik bunga dandelion dan meniupnya.
Rendy mengeluarkan handphone dari saku celana, kemudian memfoto momen dimana Kei meniup dandelion penuh kebahagiaan. Setelah itu Rendy berbalik, berjalan menuju pintu keluar rooftop. Januar memanggil nama Rendy mencoba memperingatkan sesuatu.
"Dia sama seperti lo, tapi dia gak seburuk kelakuan lo"
"Gue gak pernah berkelakuan buruk, hanya saja mengikuti alur yang sudah dibentuk"
"Lo pengecut Ren"
"Bukankah itu yang orang tua gue inginkan, anak yang selalu patuh terhadap orang tua"
"Lo punya hak untuk bersuara, bukan dengan cara menghancurkan semangat orang lain agar bernasib sama seperti lo!" Dian ikut bersuara sebab Kei hanya punya dirinya sendiri untuk mekar lebih indah dari sebelumnya.
"Bukankah masalah keluarga lo lebih rumit dari keluarga gue? Gausah ikut campur deh" Dian hendak marah langsung ditahan oleh Januar. Sejak kapan Rendy tau tentang masalah yang sedang terjadi dalam keluarganya. Padahal ia berusaha sebisa mungkin agar masalah itu tidak diketahui siapapun.
"Dan untuk lo, Januar. Lebih baik lo diam dan tunggu aja sampai semuanya terbongkar, lo pasti bernasib sama seperti Kei"
"Gue gapernah takut kalau semua itu terjadi, toh gue juga ga butuh popularitas"
Smirk Rendy kembali di berikan kepada kedua temannya. Januar tau jika Rendy memang butuh seseorang yang benar – benar mengerti keadaannya. Rendy hanya tersesat akan alur hidup tanpa satupun peta penentu tujuan. Meskipun terlihat cool di depan banyak orang, Rendy menyimpan kekesalan serta kekecewaan di hati terdalam. Berulang kali ia selalu mematahkan semangat orang sekitar dengan mulut pedas miliknya, berharap orang lain bisa bernasib dan berakhir seperti dirinya. Entah dia menyesal atau malu terhadap kehidupan atau dia memang haus akan perhatian. Rendy mengangguk pasrah, tangannya melambai pergi dari rooftop. Namun ketika sampai di depan pintu keluar, langkahnya berhenti dan mengucapkan satu kalimat pengakhir pertemuan.
"Jika memang dandelion sepertinya mampu tumbuh indah sampai akhir, apakah masih ada harapan bagi dandelion sepertiku yang sudah mati mengering?"