Pagi – pagi buta suara gaduh memenuhi dapur. Pecahan piring, gelas, dan alat dapur lainnya sedang berlangsung. Percekcokan selalu mengisi kehidupan, mau itu pagi, siang, sore, ataupun malam. Mata yang seharusnya masih terpejam kini terbuka lebar akibat kegaduhan tak berujung tenang. Karena sudah terbiasa, ia hanya bisa menutup pintu kamar rapat – rapat. Kembali diatas tempat tidur dengan menyelimuti diri menggunakan selimut. Pintu kamar diketuk keras yang mungkin bisa saja mendobrak pintu hingga terbuka. Dian masih tetap menutup dirinya rapat – rapat di dalam selimut berharap bahwa semua ini segera berlalu. Selama kurang lebih dua tahun pertengkaran ini terjadi tak henti – henti.
Banyak cara sudah Dian lakukan untuk percobaan bunuh diri namun selalu gagal. Seorang lelaki periang saat diluar rumah menjadi seorang pendiam di dalam rumah. Ia juga tak luput dari siksaan sang ayah akibat terluap amarah. Banyak sekali luka disekujur tubuh Dian, akan tetapi menutupi hanya jalan satu – satunya. Keributan telah surut, mereka pasti sudah tidak ada di dalam rumah. Dian bergegas mandi segera berangkat ke sekolah.
Ketika hendak berangkat, ia harus menunggu sang ayah pergi bekerja dan langsung bergegas keluar kamar. Dengan begitu potensi bertatap muka dapat dihindari dengan mulus, kunci sepeda motor segera diambil pada nakas ruang tamu. Foto keluarga harmonis pada pigora terlhat pecah tidak beraturan selayaknya keadaan yang ada. Mama Dian pergi entah kemana meninggalkan anak semata wayang menderita seorang diri.
Dilajukannya motor dalam kecepatan sedang menikmati suasana pagi hari penuh kepedihan. Mati hari inipun ia rela asalkan rasa sesak di dada serta kebencian bisa hilang seketika. Bayang – baying Kei sekilas terlintas di pikiran sang mentari. Ada alasan selama ini ia masih hidup dengan penuh semangat, sumber motivasi terbaih demi menghangatkan matahari yang hampir mendingin.
Sampai disekolah Dian sudah siap dengan wajah ceria demi menutupi segala permasalahan kehidupan. Bukannya langsung masuk ke dalam kelas, Dian nongkrong sebentar di kantin bersama gerombolan seperti biasa. Terlihat Teo, Teddy, Martin, dan Rendy sedang bermain game online di handphone masing – masing.
"Eyyo Haerdian!" sapa Teo melihat sanga penghibur datang.
"Eyyo!" Dian duduk disebelah Rendy, ia kira bahwa temannya ini sedang bermain game online. Ternayta Rendy sedang menggambar hal menarik membuat Dian terfokus pada objek. Wajah pada lukisan Rendy sangat bisa ditebak, Dian melirik secara tajam kearah Rendy.
"Siapa Ren?" Rendy tetap fokus pada gambarnya, ia tak memperdulikan perkataan Dian.
"Gue pengen ngomong sesuatu sama lo" Rendy menghentikan kegiatan menggambar lalu menuntun Dian menuju taman belakang sekolah. Perlahan rubah jantan ini memberikan opini jika Kei adalah wanita unik yang pernah ia temui sepanjang bersekolah di SMA NARA. Tentu saja Dian merasa keberatan sebab Rendy pasti hanya tertarik sesaat kemudian akan menghempaskan sang dandelion hingga hancur lebur tak tersisa.
"Lo ga akan pernah bisa dapetin dia"
"Kenapa?"
"Karena bunga sepertinya selalu mekar sempurna berkat bantuan alam, bukan hama kayak lo!" Dian menatap penuh intimidasi pada kedua iris lelaki dihadapannya.
"Siapa bilang gue hama? Gue adalah hal yang sama sepertinya"
"Stop deket – deket Kei, karena kelakuan lo dia dibully satu sekolah!"
"Terus sampai kapan lo bakal ngebiarin hal itu terjadi padanya? Diam gak akan merubah apapun!" Rendy mempertegas setiap kalimat yang ia lontarkan.
"Ucapin itu ke diri lo sendiri dasar anak manja!"
"Lo harus ngaca karena anak broken home selalu berakhir sia – sia!"
Sudah tak tahan, Dian menarik kerah Rendy kuat – kuat. Tangannya sudah mengepal sempurna dan siap diluncurkan. Bel masuk sekolah berbunyi, Dian melepaskan genggaman dari kerah Rendy. Mata mereka beradu satu sama lain, mengisyaratkan kalau masalah belum selesai sampai disini.
"Suatu tindakan kecil dapat merubah keadaan hingga ke masa depan"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ruangan mendadak hening seketika akibat ungkapan menenangkan dari lelaki sarkas yang sedang memeluknya erat. Air mata kembali berlinang tertusuk oleh kalimat kebenaran, Rendy terus mengelus lembut kepala Kei agar menjadi lebih tenang. Pulang sekolah ia mengantarkan gadis itu pulang sampai tujuan, Rendy bahkan membelikan seragam baru agar tidak menimbulkan pertanyaan dari orang tua Kei. Itupun juga atas permintaan Kei untuk menutupi hal buruk yang telah menimpanya. Sesampai dirumah, Kei mempersilahkan Rendy masuk ke dalam dan menawarkan sedikit kebaikan. Mama Kei mempersilahkan Rendy agar duduk santai seperti rumah sendiri.
"Mau minum apa?"
"Capuccino kalau ada"
"Ini rumah gue, bukan café"
"Yaudah air es"
Ia segera ke dapur kemudian kembali ke ruang tamu sambil membawa minuman pesanan Rendy dan juga sedikit camilan pendamping. Sedari tadi mama bertanya apakah itu pacar Kei, tentu saja ia menjawab dengan lantang bahwa Rendy hanya teman satu sekolah. Meskipun ia tau bahwa Rendy pasti mendengar pembicaraan itu, namun lelaki angkuh sepertinya bersikap normal seperti tidak mendengar apapun. Kei bilang akan pergi ke kamar untuk berganti pakaian, mama Kei setia menemani Rendy membawa sang lelaki pada obrolan ringan.
Kei menghela nafas panjang di dalam kamar, dilepasnya seluruh pakaian. Outfitnya kali ini aadalah kaos kuning cerah dipadukan dengan celana hitam yang menampilkan kesan casual. Begitulah kostum keseharian Kei, memang tidak bernilai fashion sama sekali. Saat membuka pintu kamar ia terkejut pada sosok Rendy tersenyum lebar melihat isi kamarnya. Mama memang sangat jail mengizinkan lelaki gila sepertinya datang ke ruangan pribadi milik Kei.
Rendy melihat meja belajar miliknya sambil berkomentar jika Kei benar – benar tidak tahu menahu soal seni. Kei hanya memutar bola mata malas tidak menginginkan opini dari mulut busuk Rendy. Diliriknya jam tangan yang menunjukkan pukul jam lima sore, Rendy berjalan kearah jendela kamar Kei kemudian menutupnya. Mama Kei datang menawarkan agar ia bersedia makan malam di rumah ini, tentu saja ia mengangguk dan dibalas tawa tidak ikhlas dari Kei.
Tulisan motivasi pada dinding kamar Kei menarik perhatian lelaki penggemar seni hingga menampilkan senyum indah. Ravania Keiandra yang melihat pemandangan langka sempat terkesima beberapa detik kemudian tersadarkan bahwa momen dihadapannya hanya akan bertahan sebentar.
"Lo ngumpulin motivasi darimana?"
"Diri sendiri"
"Kalau gitu besok gue kasih kata – kata bagus biar lo pajang disini"
"Ogah banget kalau karya lo"
"Terserah, kalaupun lo tolak bakal gue tempel sendiri disini"
"Lo siapa woy, ngatur – ngatur lagi" secara spontan Rendy mendekatkan wajah miliknya kearah Kei lalu mengusap lembut pucuk kepala gadis itu.
"Maybe, boyfriend soon?"
"gila!"
Tawa puas terdengar lantang mengisi suasana ruangan berwarna lavender mengundang kekesalan. Kei memukul bahu Rendy keras membuat sang lelaki mengadu kesakitan. Mama datang ke kamar memanggil agar segera turun kebawah, waktunya makan malam. Papa Kei terlihat sedang membaca Koran serius kemudian pandangannya teralih pada sosok Rendy.
"Eh, siapa ini Kei?"
"Murid SMA NARA pa, gatau juga ngapain kesini" setelah penuturan itu mama Kei mencubit kecil pipi Kei. Papa menggelengkan kepala melihat kelakuan aneh dari putrinya.
"Saya Rendy pa, teman Kei di sekolah"
"Cuman teman?"
"Sementara"
Pras yang sedari tadi sudah duduk di depan papa tertawa terbahak – bahak sambil menggoda Kei dalam posisi penuh emosi. Rendy duduk di kursi sebelah Kei kemudian menyantap hidangan bersama. Mama bertanya basa – basi terhadap Rendy apakah ia menyukai hidangan yang mama sediakan. Rendy mengangguk dan menampakkan bahwa ia menikmati makanan dengan baik.
"Kamu udah izin ke orang tua kan main kesini?"
"Papa kerja diluar kota dan mama ga akan peduli" Rendy menjawab sambil melahap makanan di piring. Seketika papa, mama, Pras dan Kei menghentikan kegiatan makan mereka menatap terkejut kearah Rendy.
"Anggap aja mama dan papa disini orang tua kamu" mama menjawab penuh prihatin melihat Rendy layaknya burung yang ditinggal orang tua sendirian pada sangkar.
"Udah kok ma sejak awal ketemu"
Acara makan malam selesai, hari sudah gelap. Rendy pamit pulang kerumah diantar kedepan bersama Kei. Saat Rendy menaiki motor miliknya, ia menatap Kei sebentar kemudian memaki helm.
"Hati – hati"
"Fix lo mulai peduli sama gue"
"Pulang lo!"
Sebelum benar – benar melajukan motor kejalanan, Rendy kembali turun dari motor lalu mencubit gemas kedua pipi Kei. Perlakuanini ditolak mentah – mentah oleh Kei dan Rendy mendapat sebuah pukulan kecilpada kepalanya. Tawa kembali dilontarkan kemudian Rendy benar – benar pergidari pandangan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ina termenung akan lamunan penuh beban di kepalanya. Cuaca sangat terik membuat otak merasa sedikit panas ketika mengerjakan soal kimia. Tak mau pikir panjang, Ina izin pergi ke toilet berniat tak akan kembali ke kelas sampai jam pelajaran berakhir. Langkah Ina selalu ringan dan penuh kebahagiaan. Terlihat pemandangan aneh dibawah pohon rindang, Ray sedang mendengarkan musik lewat earphone sambil memejamkan mata. Beberapa detik Ina sempat terbawa arus pesona Ray, ia memang lelaki misterius dan juga cool di saat yang bersamaan. Tidak disangka jika Januar sudah berdiri dibelakang Ina ikut mengamati apa yang sedang dilihat.
"Ngapain lo?"
"Astaga kaget gue kirain siapa!"
"Hehehe.."
"Lo ngapain disini?"
"Lah lu sendiri ngapain?"
"Gue bolos pelajaran Kimia"
"Gue bolos pelajaran Sejarah"
"Ngikut aja sih lo bolos pelajaran!"
"Apa mungkin..." Januar sedikit mendekatkan wajahnya pada Ina. Tentu saja Ina terkejut lalu menjauhkan muka Januar dengan mendorong dahi Januar menggunakan telunjuk.
"Gausah aneh – aneh lo! Pergi sono!" Ina meninggalkan Januar penuh kekesalan. Bukannya pergi Januar malah menarik tangan Ina sambil berlari menuju rooftop sekolah. Ina melepaskan genggaman tangan Januar dan terpaku pada pemandangan dari atas sekolah. Angin berkesiur lembut menerpa wajah Ina, namun terik matahari tak kalah menyengat kulit mereka.
"Kalau bolos mending kesini"
"Bagus sih pemandangannya, tapi gabisa ngisi perut gue yang kelaperan"
"Udahlah santai dulu disini, ntar baru ke kantin"
Januar menatap wajah Ina sebentar, aura yang dikeluarkan wanita ini sungguh penuh kepalsuan. Bahagia selalu ia tampakkan padahal masalah hidup sering datang membuatnya hampir menyerah pada keadaan. Mirip seperti Keiandra, tetapi Ina lebih rapuh disbanding sang dandelion.
"Lo satu – satunya cewek paling cuek pas gue gombalin"
"Terus gue harus heboh gitu?" Januar tidak menanggapi perkataan Ina. Ia terlalu asyik menatap pemandangan serta terlarut dalam pikiran. Setelah melihat hal menarik pada diri Ina, januar berkaca dengan diri sendiri. Semua yang ia tampakkan di sekolah sangat berbeda dengan kehidupan nyata. Seorang anak bukan dari keluarga terpandang tetapi digemari banyak wanita akibat penampilan sedikit membebani Januar. Ia telah telalu lama hidup dalam kebohongan serta menikmati keadaan. Bahkan hatinya tak pernah tertarik pada wanita meski sering menggoda siapa saja. Bisa dibilang jika keduanya hampir sama namun dalam konteks permsalahan berbeda.
"In, kalau gue bukan dari keluarga kaya lo kaget gak?"
"Sepenting itu apa?"
"Semua orang selalu menganggap gue sempurna dan gak punya kekurangan"
"Jangan samakan gue dengan semua orang"
Januar tediam akibat jawaban Ina, benar ia terlalu terpaku pada orang sekitar. Januar memang tak pernah mengeluh ataupun protes jika kedua orang tuanya hanya seorang pekerja tambal ban serta penjual sayur. Tapi hanya sedikit orang mampu mengerti dan memahami. Januar takut jika ia perlahan dibenci orang lain. Setidaknya ia ingin ada satu wanita yang mengerti keadaannya.
Kini Januar semakin yakin bahwa Ina berbeda dari wanita lain, ia merasa menemukan es membeku di panas matahari yang terik. Meskipun sedikit mustahil tapi Januar yakin bahwa Ina berbeda. Tangan Januar memegang pundak Ina lalu mengarahkan tubuh gadis itu agar menghadap kearahnya.
"Ya, lo emang beda dari yang lain"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bel pulang sekolah berbunyi, seluruh murid berhamburan bahagia keluar kelas. Nita bergegas memakai jaket biru favoritnya dan lekas pergi keluar kelas. Kali ini Nita ingin pulang sendiri demi menikmati perjalanan serta menikmati pemandangan penenang menuju rumah. Alhasil Ina pulang terlebih dahulu serta memastikan bahwa Nita baik - baik saja. Nita segera menuju halte bis sambil menundukkan kepala, ia memang belum terlalu kuat untuk percaya diri. duduk di halte bis sambil menatap anak SMA pulang sekolah adalah pemandangan indah, tetapi menjadi luka tersendiri bagi Nita. Ia masih tidak bisa melupakan aib terburuk serta menjengkelkan di hidupnya.
Tidak lupa jika Nita terus memikirkan raut keredupan terpancar pada cahaya wajah Kei sedari pagi. Ia merasa sangat bersalah telah berkhianat pada temannya senduiri. Penolakan terhadap hal keburukan selalu ia tolak namun menjadi lemah akibat ancaman. Kalau saja keberanian mampu mengisi jiwa maka Nita persilahkan agar berkembang biak di dalam. namun yang terjadi sebaliknya, rasa frustaasi penuh ketakutan semakin menjadi – jadi mengambil alih seluruh jiwanya.
Kini mata Nita terpaku pada Martin yang sedang membonceng Miranda penuh canda tawa bahagia. Bohong jika Nita tidak sakit hati, justru dirinya sudah bagai disambar petir siang hari dengan matahari sepanas sekarang. Bis yang ia tunggu datang, bergegaslah kaki Nita melangkah lalu duduk di bagian belakang dekat jendela. Pikiran Nita mulai sedikit kacau, sesak nafas mulai menghampiri dan ia kendalikan sekuat tenaga. Untung saja Nita selalu membawa alat darurat ketika asmanya kambuh pada saku seragam sekolah. Demi mengalihkan pikiran negatif pengaruh utama luka hati, Nita menatap rilex kearah pemandangan menuju rumah. Memang di tempat seindah ini pasti ada saja hal buruk menghiasi. Remaja kacau tanpa keberanian tengah bertahan menjalani hidup penuh liku. Memilih terus mengalir layaknya sungai hingga menuju ke laut lepas atau berlari masuk kehutan kemudian tersesat hingga jatuh kedasar jurang.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dian paling benci dimana dia harus pulang kerumah, harus susah payah lewat pintu masuk agar tidak ketahuan. Ia berganti pakaian kemudian bergegas pergi ke tempat kerja. Dian memang bekerja di sebuah café baru menjadi seorang kasir, kurang lebih sudah satu minggu ia bekerja disini. Semua ia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup miliknya. Orang tua Dian mana peduli ketika anak mereka susah payah mencari kasih sayang serta berjuang agar tetap hidup.
Dian bekerja mulai pulang sekolah hingga jam 12 malam, itulah saat yang tepat jika akan pulang kerumah. Butuh banyak tenaga untuk melakukan hal sebanyak ini. Sebenarnya cita – cita Dian ingin menjadi penyanyi. Namun tidak ada biaya untuk ikut les vokal, oleh sebab itu ia berusaha mendapatkan uang dengan bekerja.
Semakin malam café semakin ramai anak muda, Dian selalu memakai masker agar tidak ada seorangpun dari sekolahnya yang tau bahwa Dian bekerja disini. Sudah hidup dengan penuh perdebatan kemudian bekerja keras layaknya di jajah sekarang ia juga harus hidup dalam kerahasiaan.
Malam – malam di perjalanan pulang selalu menjadi moment penyegaran otak bagi Dian. Pemandangan kota sedikit menyejukkan mata. Dihilangkannya semua keluh kesah dalam kehidupan agar terasa ringan sedikit di pundak. Dian jadi teringat Kei saat ini, ia ingin sekali menelponnya namun sudah terlalu larut.
Dian mampir menuju betamart terlebih dahulu membeli makan serta cemilan, hari ini dia belum mengisi perutnya sama sekali. Matanya terus menatap layar handphone dengan tampilan nomor telepon Kei. Tidak disangka jika Kei sedang membayar camilan di kasir. Dian dan Kei saling bertatapan dengan raut muka terkejut bukan main.
"Kok lo bisa disini?" Tanya Kei bertanya penuh keingin tahuan.
"Lah lo sendiri ngapain?" Dian balik bertanya.
"Gue beli cemilan"
"Sama"
Mereka duduk santai di depan betamart sambil memakan camilan masing – masing. Dian mengomel tidak jelas sebab Kei keluar larut malam hanya untuk membeli camilan.
"Rumah gue tu deket banget dari sini, biasa aja kalik"
"Hah? rumah lu deket sini ternyata"
"Iya, kalau mau mampir besok aja. Kalau sekarang takut di samperin pak RT" Dian tertawa akibat penuturan lelucon dari mulut Kei.
"Maaf gue ga nolongin lo waktu-"
"Sttt udah, ga seharusnya lo minta maaf. Gue aja yang terlalu pede deket bintang sekolah"
"Bintang sekolah apanya" ucap Dian sambil meneguk minuman bersoda.
Kei bangkit dari tempat duduk kemudian berpamitan untuk pulang kerumah. Dian mengucapkan selamat tinggal dengan tatapan terus melihat kepergian sang gadis. Tba – tiba Kei berhenti ditengah perjalan lalu menoleh ke tempat Dian. Kei memberikan senyum sulit diartikan membut Dian menciptakan tanda tanya di otak.
"Manusia memang ahli dalam menutupi segala pecahan kaca demi membuat orang lain bahagia"