"Angie, pinjam ponselnya?"
"Untuk?"
"Menelpon Pak Aaron."
Deg.. Mendengar nama yang menguasai mimpinya tadi malam dan ingatan bibir orang yang melahap bibirnya di dinding rumahnya, langsung membuat pipinya memerah karenanya.
"Untuk apa?"tanya Angie gagap.
"Pak Aaron sejak izin siang tadi, tidak bisa dihubungi lagi. Ada yang mau aku tanyakan. Cepat Angie."
"Ponselmu sendiri?" Angie berusaha menolak permintaan Sinta. Angie takut Aaron berpikir macam-macam jika dirinya mencoba menelpon.
"Sudah berulang kali. Tidak diangkat."
"Memang kalau pakai ponselku pasti diangkat?" Angie mengangkat alis menatap Sinta dengan skeptis.
"Mungkin saja. Kan kamu orang spesial kedua setelah Lisa, pacarnya. He..he.." Sinta menyengir.
Angie berdecak kesal. "Astaga Sinta, sebutanmu itu kayak aku ini pelakor saja."
"Sudah jangan dibahas lagi. Cepat berikan ponselmu, Angie."
Angie memberikan ponselnya dengan tidak ikhlas dan Sinta segera menyambarnya. Diperhatikannya Sinta sedang memencet nomor ponsel bos dengan semangat dan menunggu sambungan ponsel dengan mengetuk-ngetuk jarinya di meja.
"Tidak diangkat juga,"keluh Sinta.
"Nah, teorimu tidak terbukti kan."
"Aku coba sekali lagi."
"Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif..,"
"Loh, kok malah tidak aktif?"
"Kembalikan ponselku."
"Sekali lagi Angie. Sekali lagi."
Sinta mencoba lagi dan hasilnya tetap nomer yang anda tuju tidak aktif. Dengan lesu, Sinta mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.
Angie belum meletakkan pantat nya di kursi dengan benar saat mendengar ponselnya berdering. Angie mendongak dan matanya bertemu dengan mata Sinta. Angie menggeleng, "Nomer lain."
"Pak Aaron?" Angie sedikit mengernyit mendengar suara yang familiar. Sinta langsung bergegas mendekati Angie.
"..."
"Bukan aku pak yang menelpon, tapi Sinta." Angie langsung memberikan telpon itu pada Sinta yang wajahnya langsung berbinar karena masalahnya akan segera teratasi.
Berbanding terbalik dengan Sinta yang ceria karena mendapat telpon dari Aaron. Angie merasa kecewa sekaligus lega karena Aaron izin hari ini. Sungguh tidak masuk akal jika hari ini dirinya bersikap gelisah tak ubahnya seperti remaja yang baru pertama kali menyukai lawan jenis.
Keesokan paginya, saat bertemu Aaron di lift, Angie langsung panik. Seperti gadis abege, wajah Angie sontak memerah, tidak berani membalas tatapan Aaron yang diarahkan begitu lembut padanya. Angie masuk dalam lift dan berdiri sejauh mungkin dari Aaron yang di depan tombol lift.
Aaron tertawa dalam hati. Melihat sikap Angie yang panik dan menghindari tatapannya. Itu berarti Angie terpengaruh dengan ciumannya dua hari yang lalu. "Yes,"soraknya dalam hati. "Beberapa rayuan lagi, pasti Angie jatuh ke pelukanku."
Aaron mengangkat sebelah alisnya melihat Angie yang berusaha tidak mau berdekatan dengannya. Contoh rapat pagi ini. Posisi duduk Angie sangat jauh dari kursinya, padahal biasanya duduk dengan bersenggolan tangan. Juga ini, biasanya Angie tidak ada masalah berjalan bersamanya saat kembali ke ruangan legal sambil membahas berbagai hal. Tapi hari ini, Angie kabur, membuat alasan konyol untuk tidak berbicara berduaan dengannya.
Lain lagi ceritanya waktu Aaron sedang membawa beberapa lembar kertas untuk difotokopi. Bibirnya tersenyum miring saat mendapati Angie sedang berkutat dengan mesin fotokopi.
"Angie, kebetulan sekali ada disini." Aaron memanggil dengan santai, kemudian berdiri sambil pura-pura membaca kertas yang dipegangnya, di sebelah Angie seakan menunggu antrian untuk fotokopi.
"Pak Aaron, kenapa kemari?" tanya Angie dengan sedikit gugup karena harus berduaan dengan si bos di tempat yang tidak banyak orang lalu lalang.
"Aku ingin memfotokopi dokumen ini."
Angie memanjangkan lehernya untuk melihat dokumen yang dibawa Aaron dan mengangkat alisnya. "Ini sudah aku fotokopi kan, pak. Ada di meja bapak, mungkin tertindih dokumen lain,"kata Angie menjelaskan, lalu bergeser sedikit menjauh karena posisi tubuh Aaron dirasanya terlalu dekat.
"Oya? Berarti aku belum lihat."
"Betul pak,"jawab Angie sambil mengangguk mantap.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita menikmati secangkir kopi?"
Angie cemberut mendengar si bos mengajaknya ngopi. "Apa bos tidak menyadari jika itu bisa menambah gosip bertambah sip?"tanyanya kecut dalam hati. "Tidak pak. Aku tidak mau ngopi sama bapak. Masih banyak pekerjaan,"tolaknya sopan, terus menyibukkan diri dengan melihat-lihat mana yang belum dicopy.
"Masih banyakkah yang perlu dicopy?" Aaron memperhatikan Angie yang sibuk dengan kertas-kertas itu.
"Bapak duluan saja, masih kurang beberapa lembar lagi,"elak Angie.
"Kalau begitu aku tunggu, sekalian kita balik bareng ke ruangan."
"Jangan, bapak duluan saja."
"Sama-sama saja."
"Kalau begitu aku pergi dulu, pak. Mau ke WC dulu pak." Angie langsung kabur.
Aaron melongo melihat Angie yang kabur secepat kilat, meninggalkannya bengong di dekat mesin fotokopi. "Tadi katanya masih ada yang perlu dicopy?"
Ada lagi, dua kali Aaron memanggil Angie lewat interkom untuk ke ruangannya, dua kali juga Angie mengelak dari panggilannya, dengan alasan yang membuat Aaron garuk-garuk kepala.
"Sinta, mana Angie?"tanya Aaron ketiga kalinya hari itu. Dilihatnya tempat duduk Angie kosong dan mejanya sudah rapi. "Apa sudah pulang? Jam berapa ini? Masih kurang lima belas menit dari jam pulang."
Sinta mengangkat bahu. "Tidak tahu pak. Sudah satu jam menghilang."
"Satu jam menghilang,"gumamnya sambil merenung. "Toilet lagi?"
"Tidak mungkin pak,"sahut Sinta sambil menunjuk ke arah meja Angie, dengan tangan yang memegang pen. "Tadi saat dia pergi, aku melihatnya membawa beberapa tumpukan dokumen dan alat tulis."
"Kemana dia?" Aaron berkacak pinggang di depan Sinta, sekretarisnya.
"Asal bapak tahu, hari ini Angie bersikap sangat aneh. Selalu gelisah sepanjang hari." Sinta mengomentari sikap Angie yang tidak seperti biasanya, tenang dan anggun. Hari ini, Angie juga seperti cacing kepanasan, menggeliat terus.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Angie serius menghindari aku. Aku harus mencarinya,"katanya lirih sambil keluar dari ruang legal.
Sementara itu, Angie sedang sibuk mengerjakan laporan bulanan di meja ruang rapat. Angie bersembunyi dari Aaron yang terus menerus mencari kesempatan untuk berduaan dengannya. Seharusnya Angie merasa senang jika Aaron berusaha keras mencari perhatiannya tapi masih ada yang mengganjal.
Larut dalam pikirannya, Angie tidak menyadari jika pintu ruang rapat yang tadinya terbuka kini telah tertutup rapat. Dan seseorang sedang berjalan mendekatinya dan duduk di sebelahnya, mengamati raut wajah Angie.
"Aku tidak bisa begini terus. Baiklah. Aku harus muka tembok menghadapi ini. Ayo semangat. Lagian aku kan tidak mengharapkan dia, mengapa sekarang aku tersipu malu dengan perbuatannya?"ungkap Angie dalam pikirannya.
Aaron yang duduk disebelah Angie, terpana melihat ekspresi Angie yang berubah-ubah. Terkadang tersenyum malu, terkadang lesu, menghembuskan napas dan memukul dahinya, terkadang juga bersemangat sambil mengepalkan tangan ke udara.
"Kamu baik-baik saja?"tanya Aaron tiba-tiba membuat Angie menjerit ketakutan dan langsung berdiri panik hingga kursi yang didudukinya terjengkang ke belakang.
"Huuaaahh.... Bapak mengagetkan aku,"seru Angie mengelus dada yang berdebar kencang. "Jangan begitu lagi, pak. Aku ketakutan tadi."
"Maaf. Aku tidak tahu kalau kamu begitu terhanyut. By the way, melihatmu tadi, aku seperti menonton pertunjukan pantomim,"jawab Aaron serius sambil memperagakan gerak gerik Angie selama melamun. Di akhir gerakan, dengan tertawa geli, Aaron menambahkan kedua jempolnya pada Angie yang dibalas dengan wajah cemberut.
"Permisi, aku pergi dulu." Angie membereskan barangnya dan melewati Aaron.
"Tunggu." Aaron menyentuh lengan Angie yang melewatinya. Angie berhenti dan bergeser menjauh sehingga tangan Aaron yang menyentuhnya, terlepas.
"Apa kamu marah padamu?"
Angie tertegun mendengar pertanyaan yang terdengar memelas. "Tidak."
"Angie, please, jangan menghindari aku lagi. Aku tahu semalam aku kelewatan. Aku minta maaf bertindak kasar dan memaksamu. Kita teman?"tawar nya ragu-ragu.
Bersambung...