Saat aku masuk ke dalam aula tersebut, suasana sudah kembali normal. Murid murid di tengah sedang memperhatikan seseorang yang sedang berpidato di atas panggung, sedangkan aku berdiri di barisan paling belakang, paling ujung, bersama para OSIS, dan petugas lainnya.
Lalu aku melihat beberapa orang sepertinya sedang berjalan ke atas panggung, lalu kemudian satu persatu murid kembali di panggil dan mereka berdiri di atas panggung, total 5 murid yang sudah di panggil. Setelah itu murid ke enam pun dipanggil, dan saat aku mendengar namanya, aku cukup terkejut, Dino Mahendra.
Nama yang benar-benar tak asing, dan setelah beberapa menit di panggil, orang yang bersangkutan tidak kunjung naik ke atas panggung. Aku semakin yakin jika nama yang baru saja di panggil tersebut adalah orang yang sebelumnya bermasalah denganku di luar sekolah.
Lalu, saat murid ke 7 di panggil, tiba-tiba suasana kembali menjadi hening seketika.
Red Scarlett.
Semua pandangan tertuju kepada satu orang yang sama, Red Scarlett. Dari tengah barisan dia berjalan menuju panggung, saat dia menaiki tangga, dan disaat aku benar-benar bisa melihatnya, entah kenapa aku seperti pernah melihat wajahnya disuatu tempat.
Lalu kemudian, orang berikutnya pun di panggil.
"Dan terakhir … Rey Kusuma," ucap seseorang yang beridiri di atas panggung.
Rey… Kusuma?
Tunggu, tu-tu-tunggu, tunggu, tunggu! Bukankah itu namaku?!!!! Kenapa aku di panggil?! Ada apa?! Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tidak-tidak! Pasti kesalahan, atau mungkin ada orang lain yang namanya mirip denganku? Aku akan coba menunggunya.
…
"Rey Kusuma?" Tiba-tiba aku merasa jika orang yang memanggilku sedang melihat ke arahku, aku yakin sekali jika panggilan itu benar-benar tertuju kepadaku, sial. Apa aku harus benar-benar naik ke panggung?!!! Dengan pakaian seperti ini?!
Saat aku melangkahkan satu langkah kaki kananku—
"Tunggu, mau kemana kau?" Tanya seorang perempuan anggota OSIS yang sebelumnya menyergapku.
"A-aku Rey Kusuma, aku di panggil," jawabku sedikit gugup.
"…?! Tidak mungkin, maafkan aku, silahkan."
Saat aku melangkah lagi—
"Hey … setidaknya pakailah jas almamaterku,"
"Kau yakin mau meminjamkannya?"
"Ya, ambilah."
Aku pun berjalan dari paling ujung belakang aula menuju panggung dengan pakaian alakadarnya. Pangsi hitam yang tertutup jas almamater dengan kain merah pertanda anggota OSIS, celana pangsi hitam yang panjangnya hanya sampai pas di atas mata kaki, ikat kepala tradisional berwarna hitam dengan motif biru khas baduy, dan dengan sandal jepit berwarna putih bergaris biru, aku berjalan menuju ke atas panggung.
Saat itu juga semua perhatian tertuju ke arahku. Lagi-lagi, aku menjadi pusat perhatian dengan pakaianku yang sepertinya sangat mencolok. Lalu di pertengahan jalan, aku mendengar seseorang memanggilku dengan nada yang pelan.
"Hey."
Dan saat aku melihatnya, dia adalah gadis cantik yang sebelumnya menolongku saat aku berurusan dengan 3 berandalan di luar area sekolah. Kami hanya saling tatap satu sama lain untuk beberapa saat hingga aku melewatinya.
Saat aku sampai di atas panggung, aku berdiri di samping seseorang yang bernama Red Scarlett. Seorang pria dengan rambut putih dan mata berwarna merah, dan juga … telinganya sedikit panjang dan juga runcing?!
Jangan-jangan … di-da elf?! Elf?!!!
H-ha-ha … tapi dia laki-laki, benar-benar mengecewakan.
Saat di atas panggung, aku benar-benar tak memperhatikan dan tak mendengarkan apa yang diucapkan oleh pembicara, pikiranku melayang entah kemana, aku benar-benar tak peduli dengan upacara ini. Lagi pula kenapa aku di panggil ke atas panggung? Apa aku di jadikan contoh sebagai orang-orang yang bermasalah? Ha … masa depanku di tempat ini sangatlah suram, seharusnya aku diam saja di desa, mungkin besok aku akan pergi kembali ke desa.
Sampai suatu ketika kami ber 7 di persilahkan kembali ke barisan masing-masing. Seluruh peserta upacara pun bertepuk tangan, entahlah. Aku tak tahu kenapa mereka bertepuk tangan, yang ku ingat hanyalah naik dan turun tangga dari panggung ini, dan juga pria di sampingku, Red Scarlett. Dia memiliki aura yang sangat kuat, bahkan untuk sesaat aku seperti melihat sosok puun darinya.
Setelah aku kembali ke barisan ku di paling ujung bersama OSIS dan petugas lainnya, aku mengembalikan jas almamater yang ku pinjam sebelumnya.
"Terimakasih untuk jas almamaternya."
"Sama-sama."
Entah kenapa suasana di barisan ini terasa sangat berbeda dari setelah kembalinya aku dari panggung, ada apa ini? Entahlah, mereka semua seperti menjaga jarak denganku. Ha … masa sekolah ku benar-benar berantakan, sekarang tak akan ada satu orang pun yang mau berteman denganku.
Mereka bahkan menjauihku, aku semakin yakin jika alasanku di panggil adalah sebagai contoh bagi mereka yang melanggar peraturan sekolah. Aku yakin jika mereka melihatku sebagai orang yang menakutkan, ditambah dengan pakaian yang sudah sangat jelas salah. Apalagi mereka sudah pasti mengenal sukuku, baduy, suku manusia serigala. Semua salahku jika mereka semakin membenci sukuku! Aah…! Benar-benar kacau!
Tapi sudahlah, dari awal aku memang tak bernniat untuk mencari teman, semoga dengan hadirnya aku di sekolah ini, aku dapat berkembang dan bisa semakin kuat, sehingga aku bisa pantas untuk memasuki portal dimensi dan bertemu dengan gadis-gadis elf— maksudku, bukan.
Mungkin—
Aku dapat menemukan ayahku di sana, entahlah.
Bukan berarti aku rindu atau butuh sosok ayah, aku sudah cukup mendapatkan semua itu dari puun. Aku hanya penasaran orang seperti apa yang tega meninggalkan istri dan anaknya kepada seorang tua bangka itu. Dan juga si tua bangka itu tak pernah menceritakan sedikitpun tentang ayahku, bahkan ibuku. Meskipun aku tak pernah menanyakannya juga, pada akhirnya aku memang tak peduli.
Setelah upacara penerimaan siswa baru telah selesai, sekolah pun di bubarkan begitu saja. Seluruh murid baru di arahkan ke gedung asrama, dari situ aku mendapat arahan-arahan dari petugas-petugas di sekolah.
Aku pun sampai di kamar milikku, kamar nomor 3.0.6 di lantai lima. Aku pikir aku akan mendapatkan teman sekamar, tapi nyatanya aku tinggal sendiri di kamar yang menurutku sangat besar. Tiga kali lebih besar dari kamar milikku di desa. Aku tak habis pikir kenapa mereka memberiku kamar sebesar ini? Apa karena aku seorang Aegis? Entahlah, padahal sebelumnya aku sudah mengacau, tapi mereka malah memberi fasilitas yang baik untukku.
Siang pun berganti malam, setelah aku selesai membereskan barang-barangku, aku mematikan lampu sihir, lalu berbaring di kasur.
Aku pun menatap langit lewat jendela kamarku.
Beberapa orang bilang, jika cahaya di luar kota Bandung sana benar-benar indah. Lampu menyala sangat terang oleh listrik, bahkan kita tak perlu berjalan kaki ataupun berlari, berkuda, bahkan naik kadal, atau bahkan … berubah menjadi serigala. Jika kau ingin berpergian dengan jarak yang sangat jauh, kita tinggal naik sebuah kendaraan seperti mobil, motor, bahkan pesawat.
Tapi bagiku, kota ini masihlah yang terbaik.
Sihir, siapa yang tak ingin memiliki sesuatu yang menakjubkan seperti sihir.
Dan juga … cahaya? Pemandangan di langit saat ini adalah yang terbaik yang pernah ada, mungkin karena di kota Bandung saat ini tidak ada polusi cahaya sehingga bintang-bintang di langit benar-benar terlihat sangat indah. Bahkan sampai saat ini orang-orang di luar sana, sedang menunggu giliran untuk dapat jatah berlibur ke kota Bandung. Ada pula diantara mereka yang berusaha mati-matian untuk bisa menetap di kota Bandung secara permanen.
Kota ini, memanglah yang terbaik.