Chereads / Mendadak Menikah / Chapter 11 - S1 011 Adegan Penyelamatan

Chapter 11 - S1 011 Adegan Penyelamatan

Beberapa pekan sebelum hari pernikahan ....

Audia dan teman-temannya berkumpul di pinggiran pantai di daerah Jawa Barat. Menanti malam pergantian tahun. Terompet, kembang api sudah siap di tangan mereka.

Sepuluh ... sembilan ... delapan ....

... tiga ... dua ... satu .... Treeeet! Treeeet! Duaaar! Duaaaar! Duaaaaaaarrr!

Suara terompet dan kembang api bersahutan memenuhi kawasan pantai berpasir putih. Saling berteriak, tertawa, menikmati malam pergantian tahun. Tak terkecuali, Audia dan Erika tertawa gembira menikmati suasana pantai dengan semilir angin aroma laut yang khas.

Acara yang sudah dipersiapkan oleh EO hotel tempat mereka menginap dilanjutkan dengan acara musik. Pengunjung hotel terlihat mulai menikmati hidangan makan malam.

Audia mengambil beberapa macam dessert dan salad. Kedua tangannya tampak penuh membawa dua piring itu ke meja di mana teman-temannya berkumpul. Mereka bergantian mengambil makanan, agar meja mereka aman tidak ditempati pengunjung hotel yang lain.

Tampak di sudut lain tempat itu, pria tampan dan wanita cantik sedang menikmati malam pergantian tahun baru juga. Sang pria mengenakan kaos dipadukan dengan jas hitam di bagian luarnya. Kasual namun terlihat formal. Sang wanita yang merupakan model papan atas yang sedang bersinar di bumi pertiwi tercinta, mengenakan long dress hitam yang mengekspos punggungnya. Rambutnya di tata bergelombang. Sangat cantik. Serasi dengan pria tampan yang duduk di hadapannya, anak salah seorang pengusahan real estate yang terkenal di Indonesia. Mereka berada di sana dalam rangka acara Tahun Baru sekaligus Launching Produk Fashion Terbaru—St.Eva, yang mana si wanita itu menjadi brand ambassador Produk Fashion St.Eva, dan tentu saja sebagai tunangan yang baik, pria itu menemaninya.

Ketika acara puncak malam tahun baru, tiba-tiba ada sekumpulan remaja berteriak di bibir pantai. Mereka berteriak meminta tolong seraya menunjuk ke arah pantai yang gelap. "Tolong! Tolong! Teman kami terbawa ombak! Tolong!"

Pria tampan yang sedang berada tak jauh dari tempat itu langsung berlari menuju arah pantai. Diikuti oleh beberapa orang yang juga ikut melihat dan mendengar suara teriakan. Ketika dilihatnya ada tangan seseorang melambai-lambai dari kejauhan, agak ke tengah laut, pria itu segera melepaskan jasnya, dan menerjang ombak untuk menolong orang itu.

Pria itu kembali dengan menggendong seorang gadis yang sudah tidak sadarkan diri. Lifeguard yang datang sedikit terlambat, segera menolong gadis tersebut. Gadis itu segera dibaringkan di tempat yang agak jauh dari bibir pantai. Pria itu lalu memberi ruang kepada para lifeguard, yang langsung mengambil alih menangani gadis itu. Diperiksanya apakah ia masih bernapas dengan cara mendekatkan telinga ke sebelah mulut, lalu hidung gadis itu. Gadis itu tidak bernapas. Lifeguard lalu memeriksa denyut nadinya selama 10 detik, namun tidak bisa merasakan nadinya, sehingga mereka langsung melakukan CPR (cardiopulmonary resuscitation).

CPR dilakukan sebanyak 30 kali dengan rata-rata kecepatan 100 kali tekanan per menit. Masih belum ada hasil. Lifeguard mencoba membuka jalan pernapasannya dengan mendongakkan kepala dan mengangkat dagunya dengan hati-hati, memencet hidung gadis itu, kemudian meniupkan udara ke arah mulut korban, dua kali dalam satu detik. Pria itu menyaksikan dengan raut khawatir.

Setelah beberapa waktu gadis itu tersadar, terbatuk dan mengeluarkan air laut dari mulutnya. Pria itu dengan segera menggendong kembali gadis yang belum sepenuhnya sadar ke dalam mobilnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Wanita yang bersamanya tadi dan sedari awal menyaksikan adegan penyelamatan itu pun turut serta.

Sementara teman-teman gadis itu menyusul dengan mobil mereka, mengikuti mobil yang tengah membawa teman mereka yang hampir tenggelam.

***

Kembali ke Coffee Bean. Audia dan Erika sudah selesai menghabiskan kudapan mereka. Audia kemudian menghubungi suaminya untuk menjemputnya di bawah.

"By the way, lo pulang ke mana?" tanya Audia yang sedari awal mulai curiga dengan teman baiknya itu, masih juga berada di seputaran apartemen itu hingga malam menjelang.

"Gue lagi nginep di sini, sama om tanteku. Di lantai 35. Mama papaku, 'kan, lagi keluar kota. Besok baru pulang," terang Erika yang diangguki Audia.

Mereka pun berpisah, saat group lift yang akan membawa Erika ke unit om dan tantenya terbuka, meninggalkan Audia yang masih menunggu suaminya menjemput.

Tak lama, Alvin pun tiba. Mereka berdua masuk ke dalam private lift. Di dalam, Audi teringat ucapan Erika tadi, saat menunggu group liftnya turun.

"O iya, Di. Orang asing yang tempo hari nolongin lo, waktu lo di pantai waktu itu, Alvin, suami lo," ujarnya. Membuat Audia terbelalak.

"Seriously?" tanya Audia memastikan, Erika tidak salah menyebut nama. Karena waktu kejadian itu, Erika mengaku, samar-samar mengenali siapa pria asing yang berani menolongnya dan bahkan membayarkan biaya pengobatannya, sebelum akhirnya pria itu pergi tanpa pamit. "Kata lo waktu itu, 'kan, gak inget, gak liat jelas."

"Masa gue bohong. Tanya aja ntar ma suami lo. Gue duluan, ya, bye." Erika pun masuk ke dalam liftnya. Meninggalkan Audia yang termenung, hingga suaminya tiba di bawah.

Di dalam private lift, Audia menatap suaminya, lebih tepatnya meliriknya diam-diam. Penampilannya masih sama seperti tadi saat mereka berpisah sesaat lalu, setelah bertemu Erika kembali, namun Alvin tidak mengenakan kacamatanya. Dan melihatnya dengan kemeja yang berbeda dengan yang siang tadi dikenakannya, sepertinya suaminya baru selesai mandi, karena aroma white musk-nya yang segar, harum, lembut serta maskulin masih terhindu jelas di penciuman Audia. Aroma yang baru-baru ini tetiba menjadi favoritnya. Mengingat, di rumahnya dahulu, semua saudaranya laki-laki, dan aroma ini berbeda dengan sabun yang biasa mereka gunakan. Alvin yang merasa tingkah istrinya yang mulai absurd kemudian bertanya, "Kenapa? Erika bilang apa aja tadi?" Suara bariton Alvin memecah lamunan Audia seketika.

Tiba-tiba saja Audia menerjang suaminya, dan memeluknya. Erat. "Terima kasih," ucapnya lirih.

"Untuk?" tanyanya bingung.

Lama tidak ada jawaban dari Audia, tapi dirasanya tubuh Audia bergetar, dan kemeja yang dikenakannya terasa basah.

"Didi?" tanyanya lagi, terdengar khawatir. Membalas pelukan Audia. Mencoba menenangkan. "Erika ngomong apa?"

"Mas Alvin kenapa gak cerita?" tanya Audia setelah berhasil mengendalikan emosinya. Mendongakkan kepalanya, menatap Alvin, masih dalam pelukan suaminya itu.

"Cerita apa?" tanyanya masih bingung. "Ngomongnya jangan setengah-setengah, dong. Mas, 'kan, gak ngerti."

"Kalau Mas udah pernah ketemu Didi sebelumnya." Seketika raut wajah Alvin berubah serius.

"Ya, Mas, 'kan, dosen Didi. Udah pernah ketemulah, apalagi yang mau diceritain?" ujarnya.

"Bukan yang itu. Erika belum tau, Mas dosen Didi. Tapi ... yang di pantai. Mas yang selamatin Didi, 'kan?" tanyanya. "Kenapa gak cerita?"

Seketika Alvin ingat kejadian itu. "Bukan gak cerita. Tapi belum, Sayang," jawab Alvin seraya menjawil hidung istrinya yang memerah akibat menangis tadi. "Kita nikah juga, 'kan, baru kemarin."

"Ish!" protes Audia. Mereka tiba di unit dan segera keluar dari lift. Seperti kemarin, Alvin tertawa terbahak-bahak, mulai menggoda istrinya lagi dan membuat Audia kesal.

***