Sebelum pulang, di pagi hari.
Setelah Audia kembali tenang, dan bisa mengingat kembali siapa Alvin, mereka pun mandi dan berencana sarapan pagi di restoran. Alvin membawa kameranya, mengalungkan di lehernya.
Hari terakhir di bulan madu, mereka akan berburu foto-foto yang menarik. Audia pun mengeluarkan kamera miliknya, yang sebelumnya tidak sempat ia gunakan.
Alvin tertegun sesaat, melihat kamera polaroid berwarna ungu lilac–ungu muda atau ungu pucat–milik Audia. Baru kali ini ia tahu, Audia pun memiliki kamera. Kamera yang tampak familier.
"Kenapa?" tanya Audia.
"Kamera punyamu?" Audia mengangguk.
"Hadiah saat aku ultah." Audia mengalungkan kamera, dan lanjut berkata, "Ayo, kita jalan. Didi lapar, nih." Menarik Alvin keluar dari kamar mereka.
*
Alvin dan Audia tiba di restoran, memilih tempat duduk yang mengarah ke pantai. Meletakkan kamera mereka di atas meja makan, kemudian memesan dua porsi roti bakar dan dua gelas minuman susu cokelat panas.
Alvin memperhatikan Audia begitu intens. Seolah menilai wanita di hadapannya ini, penyakit apakah yang dialaminya?
"Ada yang aneh dengan muka Didi?" Audia merasakan, tatapan Alvin yang penuh selidik. Sambil melahap potongan roti bakar isi pisang, keju, dan cokelat.
"Didi cantik," jawab Alvin singkat.
"Gombal!" Meski berucap demikian, di hatinya Audia merasa senang, karena dipuji cantik.
Sepuluh menit kemudian, mereka selesai sarapan. Keluar dari restoran menuju lokasi penyewaan sepeda tandem.
Alvin mengajak Audia menaiki sepeda dengan dua sadel dan dua pasang pedal. Kamera yang Alvin bawa, ia kalungkan di leher.
Audia pun mengalungkan kamera miliknya. Ingin mengambil gambar dirinya dan Alvin sebanyak-banyaknya. Tidak mau kalah dari suaminya itu, meski kamera yang Audia gunakan bukan kamera pro.
Dengan sepeda tandem, mereka berkeliling di area cottage hingga ke tepi pantai. Suasana yang sepi, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Sesekali berhenti, untuk mengambil gambar dengan kamera mereka.
Kecemasan Alvin sirna, kala menangkap suara ceria milik Audia, di belakangnya, ketika sepeda mereka melalui jalan menuju pantai. Perasaan di hatinya semakin tumbuh besar.
"Yang kenceng, dong, gowesnya! Masa segitu aja, sih!" protes Audia, karena Alvin memacu sepeda mereka dengan santai.
Hingga Alvin berteriak, "Siap-siap, ya!!"
Audia pun ikut berteriak, tertawa ceria, menikmati terpaan angin di wajahnya, kala Alvin memacu sepedanya lebih cepat. Audia mengimbangi gerakan mengayuh sepedanya di belakang.
Di tepi pantai yang sepi, di dekat bebatuan, Alvin dan Audia menepikan sepedanya. Napas keduanya terdengar memburu.
Peluh membasahi kening keduanya. Alvin berinisiatif menyeka peluh di kening Audia. Tersenyum. Menciumnya sekilas di kening Audia. Membisikan ucapan pujian yang membuat Audia tersipu.
Alvin mengambil kameranya, dan mulai memotret. Mengarahkan Audia untuk berdiri di ujung dermaga kecil, yang terdapat dua tiang yang menyerupai bingkai foto.
Mengambil fotonya dengan berbagai pose, bergantian menggunakan kamera Audia. Kemudian Alvin mengarahkan kameranya ke arah lautan, mengambil beberapa gambar kapal nelayan yang berlayar di tengah lautan.
Audia pun tidak mau kalah, ia menggunakan kameranya sendiri untuk memotret pemandangan yang disukanya. Sesekali mengambil gambar kerang laut–yang bentuk dan warnanya unik–yang ditemukannya.
Tiba-tiba, seperti dikomando. Alvin menjepret Audia, begitu pula Audia. Mengarahkan kameranya ke Alvin.
"You shoot me, I shoot you ... we complement each other, right?" Alvin tersenyum setelah mengambil gambar Audia–dengan kamera menutupi wajahnya.
Audia tercengang.
Kata-kata ini ... sepertinya, pernah ia dengar. Tapi di mana?
Alvin melihat Audia terdiam dan lantas memastikan keadaannya, "Didi, gak apa-apa, kan?"
Mengabaikan ingatannya yang buruk, Audia menggeleng.
Sebagai jawaban lain, Audia tertawa bahagia. "Mesti hasilnya lucu. Pasang di IG, ya, nanti. Mukanya, kan, gak keliatan." Audia berucap manja.
"Oke." Alvin mengangguk.
"Yay!" Audia mengangkat kedua tangannya. Dengan wajah berseri-seri.
Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan sepedanya mencari tempat yang lain untuk diabadikan dengan kamera mereka.
Audia dan Alvin meninggalkan sepedanya di atas jembatan kayu. Kemudian mereka turun menuju pantai, ingin mengulang pengambilan gambar tangan mereka yang saling bertautan. Dan mengambil beberapa gambar lainnya.
"Udah mau siang, kita kembali." Audia mengangguk.
Alvin dan Audia pun kembali mengayuh sepeda tandem menuju cottage.
*
Siang hari, saat dalam perjalanan pulang.
Audia tengah asyik melihat-lihat hasil jepretan dari kamera miliknya. Semuanya ada sekitar sepuluh lembar foto polaroid.
Audia memilih satu foto mereka, dan meletakkannya di atas dashboard mobil. Foto Alvin dan Audia, sama-sama mengerutkan hidung, memajukan bibir mereka, menghadap kamera.
Pose yang terlihat konyol, sama sekali berbeda dengan ekspresi Alvin yang Audia kenal sebagai dosen killer di kampusnya.
Alvin mengalihkan sejenak pandangannya dari jalanan di depannya, melihat foto yang Audia pajang.
"Lucu, kan?" Audia menoleh, meminta persetujuan Alvin. Alvin tertawa.
"Atau ... yang ini aja?" Audia mengganti dengan foto yang lain. Senyum tiga jari, dan Audia mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya–tanda peace. Tampak ceria dan romantis.
"Yang pertama aja, deh. Kalau yang ke dua, nanti mas gak konsen nyetir." Audia tertawa terbahak.
"Kok, bisa?" tanyanya setelah tawanya reda.
"Karena Didi terlihat cantik di sana."
"Igh! Jadi yang ini, jelek, gitu, ya?" Audia memajukan bibirnya. Cemberut.
Dimasukkannya foto konyol mereka, dan membiarkan foto romantis yang terpajang di atas dashboard mobilnya.
Audia tersenyum puas, foto romantis mereka menghiasi dashboard mobil Alvin yang tampak sepi tanpa dekorasi.
Alvin menggeleng sambil tertawa kecil. Dasar Audia! Pikirnya. Untuk apa meminta pendapatnya, jika ujung-ujungnya, pendapatnya tidak dianggap.
Tanpa terasa, jelang sore, mereka tiba di depan gedung apartemen Alvin. Alvin lantas memarkirkan mobilnya di basement. Menurunkan beberapa barang bawaan mereka, dan berjalan menuju lift pribadi.
Tiba di unit Alvin, di lantai 37, pintu lift otomatis terbuka.
Apartemen yang ditinggalkan oleh mereka selama tiga hari dua malam tampak rapi dan bersih. Tadi pagi, Alvin memang meminta housekeeping datang ke unitnya.
Keduanya merebahkan diri di sofa panjang, beristirahat sejenak, sebelum membersihkan diri. Duduk berpelukan. Audia merebahkan kepalanya di dada Alvin.
Alvin mendengar Audia menghela napas, membuatnya penasaran dan bertanya, "Kenapa, Sayang? Baru pulang, kok, ngeluh?"
"Besok udah kuliah lagi ... mana ketemu dosen killer ...." Audia spontan menutup mulutnya. Menjauhkan diri dari Alvin.
"Gitu, ya, sama suaminya." Alvin mulai menggoda Audia, menggelitiknya di beberapa tempat. Audia berusaha mengelak dan meminta ampun. Namun, Alvin mengabaikannya.
Hingga rambut Audia berantakan, dan napasnya memburu, barulah Alvin berhenti menggoda Audia.
"Kita mandi, yuk." Bicara sambil mengangkat tubuh Audia yang lemas, kehabisan tenaga. Tidak memberi kesempatan Audia menjawab.
Menempatkan tubuh Audia di pinggir bathtub. Mengisinya dengan air hangat dan memasukkan bath bomb ungu berbentuk bola-bola besar yang akan larut di dalam air dan membuat banyak busa.
Bath bomb biasanya terbuat dari berbagai macam wewangian, minyak essensial, buih, dan pewarna.
Dan Alvin kemudian memasukkan bath salt ke dalam air mandi mereka. Terakhir, bagian favoritnya, membantu Audia membuka pakaiannya.
"Eh, Didi bisa sendiri!" Wajahnya memerah. Tangannya meremas pakaiannya. Menghalangi tangan Alvin. Membuat Alvin makin menjadi ingin membantu.
"Mas Alvin!!" Yang diteriaki hanya tertawa lepas.
"Didi bisa send–hmft."
Tidak memberi kesempatan mengelak, membungkam bibir Audia dengan bibirnya. Tangannya dengan cekatan membantu Audia melepas semua pakaiannya.
"Didi harus dapat hukuman, karena ngatain mas, dosen killer, tadi."
"Hah?"
*
Selesai mandi dan berpakaian, Alvin memesan makanan melalui aplikasi makanan siap antar. Makan berdua dengan khusyuk. Hukuman yang diberikan Alvin, membuat Audia kelaparan. Memakan bagiannya dengan lahap.
"Pelan-pelan, Sayang."
"Huh?!" Alvin tertawa geli. Mulut Audia yang penuh dengan makanan, tampak menggemaskan.
"Mau tambah?"
Audia mengunyah makanan di mulutnya, menelannya, sebelum akhirnya bisa berujar, "Gak, ah, ntar Didi gendut!"
Alvin tertawa geli, mencubit pipinya. Audia ....
***
Follow IG @sere_nity_lee ada ilustrasi bab ini lho ... hehe.