Lima bulan lalu ....
Audia tampak berlari tergesa-gesa menapaki jalanan di lorong yang mengarah ke ruang kelasnya. Dua pekan lalu dia mendapat info bahwa selama dua pekan tidak ada mata kuliah arsitektur, dikarenakan ibu Tami, sang dosen, mendadak harus mengikuti suaminya yang bertugas di Jepang. Jadi selama dua pekan itu, dikarenakan belum ada dosen pengganti, maka para mahasiswa hanya diberikan tugas tambahan selama dua pekan untuk mengisi kekosongan jadwal, hingga mendapatkan dosen pengganti. Dan selama itu pula yang mengisi mata kuliah arsitektur hanya asisten dosen saja. Itu pun hanya membagikan tugas saja.
Namun siapa yang menduga, ternyata hari itu tiba-tiba sebuah pesan dari grup arsitektur masuk di aplikasi hijau, mengabarkan bahwa ada perkuliahan arsitektur karena sudah ada dosen pengganti ibu Tami. Seluruh mahasiswa diharapkan kehadirannya untuk mengikuti perkuliahan.
Sialnya, karena hanya ada satu mata kuliah di hari itu, Audia berniat bersantai ria di rumahnya. Tidak berangkat ke kampus—tho, tugas arsitektur sudah ia dapatkan melalui pesan grup arsitektur, dua hari sebelumnya.
Pada hari itu, ia memutuskan untuk menyalurkan hobinya membuat kue di rumah. Audia baru membaca pesan itu ketika akan memasang timer—untuk lama waktu memanggang kue. Dan saat itu waktu sudah menunjukan pukul 07.00 pagi. Audia bahkan belum mandi. Yasallam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi, tiga puluh menit sudah berlalu, dari jadwal mata perkuliahan itu dimulai, ketika akhirnya Audia berhasil tiba dengan selamat di pintu kelasnya. Napasnya masih memburu, tatanan rambutnya yang biasanya rapih, kini berantakan. Badannya mendadak terasa panas dan mulai berkeringat. Perlahan Audia memutar knop pintu ruangan itu dan mengintip ke dalam.
Dilihatnya sang dosen pengganti—berkaca mata, memakai kemeja kotak-kotak, rambut klimis, disisir rapih ke belakang—sedang mengabsen satu per satu para mahasiswanya yang jumlahnya tidak lebih dari 30 orang. Sepertinya bukan hanya Audia yang terlambat datang. Namun di mana teman-teman yang lainnya itu? Apakah mereka lantas memutuskan tidak masuk kuliah karena bakal terlambat? 'Ah, benar-benar sial! Kenapa baru terpikir, ya?!' rutuk Audia dalam hati. Tadi sebelum berangkat kuliah Audia sudah menitipkan kue yang sedang dibuatnya pada mamanya, Ning. Seharusnya tadi tidak usah memaksakan diri datang untuk mengikuti perkuliahan—yang beresiko terlambat—dan meneruskan saja acara membuat kuenya.
"Ada keperluan?" Tiba-tiba suara bariton itu memecah lamunan Audia yang masih nampak pucat pasi di ambang pintu kelas—akibat berlari tadi. Intonasi suaranya datar, sedatar ekspresi wajahnya. Mengerikan! Seketika membuat nyali Audia menciut.
"I-iya, Pak?" tanya Audia linglung.
"Saya tanya, ada keperluan?" ulang pria yang tubuhnya menjulang tinggi di hadapan Audia. Sehingga dengan jarak sedekat itu, dirinya harus mendongakkan kepalanya. 'Ditaksir tingginya 180 cm, atau lebih. Postur tubuhnya tegap, sepertinya di balik kemeja kotak-kotak itu ada otot yang seksi—mungkin dia gemar olahraga? Eh? Didi! Fokus!' monolognya dalam hati.
"Saya tanya terakhir kali, kamu mau masuk ikut kuliah, atau bagaimana?" Nada suaranya mulai terdengar tidak sabar.
"Masuk! Masuk, Pak!" jawab Audia cepat tanpa menoleh dan langsung melesat ke dalam mencari bangku yang masih kosong—mengabaikan dosennya itu. Dan sialnya lagi, bangku kosong hanya tinggal di barisan depan. 'Yasallam, dosa apa gue sama mama, hiks,' batin Audia.
"Siapa nama kamu?" tanya dosen-ntah-siapa-namanya pada Audia ketika ia telah menduduki bangku di deretan depan. Hanya ada dua mahasiswa yang duduk di deretan paling depan itu.
Seakan belum cukup ketidakberuntungan Audia di kelas arsitektur di hari itu, dosen-ntah-siapa-namanya, memilih berdiri tepat di depannya, hanya dipisahkan oleh meja panjang. Menatap dirinya yang terasa mengintimidasi.
"A-Audia Cinta, Pak?"
"Kamu mau bercanda di kelas saya?" tanya dosen-ntah-siapa-namanya sambil bersedekap tangan di dada. 'Wow, lengannya betul-betul berotot!' batin Audia.
"Eh?"
"Nama kamu. Yang bener siapa?"
"Audia Cinta, Pak." ulang Audia. Ntah mengapa Audia mendadak menjadi sebal dengan nama yang diberikan oleh orang tuanya. 'Kenapa pake nama 'Cinta', sih,' sesalnya.
"Nama saya Audia, Pak. Cinta, nama belakang saya, Pak. Ada, kok, itu di absen nomor urut 39, Pak. Coba Bapak cek, deh," jelas Audia. 'Sapa juga yang mau nyatain cinta ke Bapak, igh, mentang-mentang ganteng—eh,' lanjutnya dalam hati.
Setelah memastikan nama Audia ada di lembar absensi, mencontreng tanda kehadirannya—meski terlambat—dosen itu pun memperkenalkan dirinya kembali.
Namanya A Mandala H. Alumnus Universitas Tanah Air. Diminta mengajar sementara untuk mengisi kekosongan dosen pengajar arsitektur.
Di tengah-tengah penjelasan tentang prinsip-prinsip dasar arsitektur, tiba-tiba saja ponsel Audia berbunyi nyaring. Tanda alarm dari timer yang tadi dia setting untuk memanggang kue—lupa dimatikan. Lebih tepatnya ponselnya tidak dimatikan dan tidak juga dialihkan ke mode getar. Suaranya menggema di ruangan perkuliahan tersebut seperti suara klakson bus. Tangan Audia spontan merogoh tasnya, dan mencari-cari di dalam tasnya dengan panik.
Seketika keheningan di ruangan itu mendadak sedikit ricuh. Setelah beberapa saat belum juga berhenti suara alarm dari ponsel Audia itu. Pasalnya, di awal sebelum perkuliahan, dosen yang meminta dipanggil pak Mandala itu sudah memberitahukan aturan kala dirinya mengajar, semua mahasiswa tidak diperbolehkan mengaktifkan alat komunikasi atau sejenisnya—ini disampaikan sebelum Audia tiba di kelasnya.
"Ponsel siapa itu yang bunyi?!" tanya pak Mandala terlihat tidak senang, penjelasannya diinterupsi.
Takut-takut Audia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, sementara tangannya yang lain masih sibuk mengaduk-aduk isi tasnya. Matanya tertunduk. Dadanya berdebar-debar tidak karuan. Hatinya berdoa agar dia tidak mati hari ini. Sangat tidak masuk akal bukan, dirinya mati hanya karena suara ponsel yang berbunyi nyaring, di tengah-tengah mata perkuliahan si dosen angkuh, muka datar, killer.
"Tidak bisa dimatikan atau bagaimana?" tanya pak Mandala masih dengan nada tidak senang. Mau tidak mau Audia menatap dosen itu. Sorot matanya yang tajam terasa menusuk Audia. Sakit gak berdarah.
Akhirnya saat tangan Audia berhasil menemukan ponsel di dalam tasnya, suara alarm itu pun berhenti. Audia langsung menonaktifkan ponselnya. Dadanya masih bergemuruh—terasa sesak. Matanya berkaca-kaca. Kala ia mengedipkan matanya, satu bulir bening air mata lolos dari kedua sudut matanya.
***
Dua bulan sudah Alvin mulai menetap di Indonesia lagi, sejak telepon terakhir Sriwedari—sang mama, yang memintanya pulang, karena ayahnya terkena serangan jantung dan harus menjalani operasi bypass. Setelah hampir lima tahun melanglang buana, mengerjakan beberapa pesanan projek fotografinya—aerial, makro-mikro, natural, arsitektur, makanan—untuk kepentingan periklanan, hingga fotografi perang, namun yang ini hanya sekali Alvin lakoni, mengingat resikonya yang tinggi.
Sambil mengerjakan projek kliennya, Alvin pun menyempatkan berburu objek foto favoritnya dan telah menjadi obsesinya, fenomena alam, khususnya gerhana matahari.
Peristiwa yang dijuluki sebagai 'Ring of Fire' itu terjadi ketika Bulan menutupi pusat Matahari, tetapi masih meninggalkan tepian luar Matahari.
Hampir di setiap wilayah ada pemberitaan akan terjadinya gerhana matahari, Alvin bisa dipastikan akan berada di sana. Berbekal senjata perang andalannya, kamera digital DSLR (menggunakan lensa 400-600 mm, filter ND tingkat tinggi-ND 400, untuk memotret saat matahari masih terbuka—agar tidak merusak sensor kamera dan minim distorsi), tripod dan bracket.
Seperti di tahun ini, di bulan Maret lalu Alvin sudah berada di Kepulauan Faroe yang terletak di antara Skotlandia dan Islandia, tepatnya di utara laut Samudra Atlantik. Para pemburu gerhana saat sudah berada di Kepulauan Faroe, tidak saja untuk menikmati gerhana matahari total, melainkan juga untuk menikmati aurora.
Setelah mengetahui kondisi sang ayah sudah stabil, Alvin lalu memutuskan membeli apartemen dari hasil keringatnya sendiri, di bilangan Jakarta Selatan. Bersamaan dengan itu, datang surat undangan dari tempat dia mengenyam pendidikan S1-nya dahulu. Menawarkan pekerjaan sebagai dosen arsitektur. Tanpa pikir panjang, Alvin menerima tawaran itu. Pekerjaan sebagai dosen menurutnya menyenangkan dan lagi ia bisa membagikan ilmunya itu agar bermanfaat bagi orang banyak.
Meski telah memiliki penghasilan yang lebih dari cukup dari pekerjaan fotografinya dan beberapa bulan ke depan bakal menggantikan tugas ayahnya, Alvin adalah tipe manusia low profile. Pergi ke mana pun selalu berpakaian kasual—tidak membuka jati diri sebenarnya, kecuali pada orang-orang tertentu saja. Alvin tidak suka berada di bawah bayang-bayang kesuksesan ayahnya.
Jika bisa memilih, Alvin ingin terus menggeluti profesinya sebagai fotografer. Namun sejak kondisi ayahnya kritis, dan hanya dia satu-satunya penerus di keluarganya, mau tidak mau, dirinya yang harus memikul tanggung jawab itu—demi para bawahan ayahnya. Seandainya adiknya masih hidup, bisa dipastikan adiknyalah yang akan meneruskan perusahaan real estate ayahnya itu.
Di hari pertamanya mengajar, Alvin sudah mempersiapkan diri sejak subuh dini hari. Memberitahukan pada komti kelas perihal jadwal perkuliahan, pada malam sebelumnya. Berangkat lebih awal untuk menghindari macet. Mengingat jarak tempuh yang tidak sedikit. Alvin termasuk orang yang jika melakukan janji temu, maka akan datang lebih awal, selalu tepat waktu. Benar-benar tipe manusia yang efisien dan menghargai waktu.
Tiba di kampus sekitar pukul 07.45 pagi. Beristirahat sejenak di ruangan yang sudah dipersiapkan untuknya hingga pukul 08.00 nanti tiba.
Entah ada salah komunikasi di mana, mahasiswa yang datang pada kelas pertamanya itu hanya sebagian saja. Namun Alvin masih berbaik hati memberikan toleransi 15 menit bagi para mahasiswa yang datang terlambat. Sambil menunggu mahasiswa lain yang datang, Alvin membuka kelasnya dengan perkenalan singkat dengan para mahasiswanya dan kemudian memberitahukan aturan mengajar di kelasnya setelah waktu toleransi 15 menit itu sudah berakhir.
Tiba-tiba muncullah satu mahasiswa di ujung sana, hanya menyembulkan kepalanya—ntah ingin masuk atau bagaimana. Setelah ditegur akhirnya masuk ke dalam kelasnya. Mengabsennya dan memulai perkuliahan.
Saat itulah suara dering ponsel memotong perkuliahannya. Hingga membuatnya kesal dan menegur salah satu mahasiswanya yang ternyata lagi-lagi ulah gadis itu.
"Tidak bisa dimatikan atau bagaimana?" tanya Alvin kesal, ia sengaja menatap mata gadis itu tajam.
Namun setelah dering itu senyap, dilihatnya gadis itu meneteskan air matanya. Membuatnya merasa ada sesuatu yang ikut menusuk hatinya. 'Apakah aku sudah bersikap kelewatan?' batinnya.
***