Chereads / Mendadak Menikah / Chapter 7 - S1 007 Hai ....

Chapter 7 - S1 007 Hai ....

Kembali ke apartemen Alvin-Audia ....

"Didi ..., maafin aku, ya. Aku cuma becanda, kok," ucap Alvin seraya mengetuk pintu kamarnya yang dikunci Audia. "Jadi ke rumah mama papa, 'kan? Nanti aku anter. Udahan, ya, marahnya, please?" lanjutnya.

"Didi benci Pak Mandala atau Mas Alvin atau siapalah!" ujar Audia jengkel.

"Becanda doang, kok, Sayang."

"Candaannya gak lucu!"

"Kaya anak kecil, igh,"

"—"

"Didi? Sayang .... Mas anter ke mama papa, ya ... atau Didi mau belanja aja ke mall?" tawar Alvin. "Kita beli baju, tas, buku ... apalagi ...."

Tiba-tiba suara kunci pintu diputar dan terbukalah pintu itu sedikit. Hanya memperlihatkan sebagian wajah Audia yang tampak masih kesal dan jengkel hingga ke ubun-ubun. 'What? Anak kecil katanya?!' geramnya dalam hati.

"Pak Mandala lupa, ya? Udah nikahin anak kecil?" sindir Audia. "Umur aku tuh baru 19 tahun, lima hari lalu, kalau Bapak lupa."

"Didi ...," panggil Alvin lirih. "Jangan panggil aku 'pak', dong, kalau di rumah."

"Kenapa? Ngerasa tua?" Masih dengan nada sinis.

"Iya, maaf. Mas salah ucap tadi. Dimaafin, ya? Jadi mau ke mana?"

"Ke mall aja! Didi mau porotin duit Pak Mandala!" ketus Audia sambil membuka lebar pintu kamarnya. Masih bergeming di tempatnya. "Tapi, aku gak punya baju lagi. Baju dari mama Sri mana mungkin aku pakai, 'kan. Serem, ah. Bajuku yang kemarin udah aku satuin sama baju kotor juga, 'kan, masa aku pake baju Pak Mandala gini, lagi," rajuk Audia sambil menunjuk baju kaos Alvin yang dikenakannya—baju kaos lengan pendek yang dipakai Audia menjadi sedikit di atas lutut, yang membuat Alvin terkekeh.

"Panggilnya 'mas Alvin'. Jangan 'pak', dong, Di." ucapnya gemas sambil merangkum wajah istrinya di kedua telapak tangannya. Membuat Audia memajukan bibirnya, menggembungkan pipinya, matanya yang besar makin melebar kala melotot tajam—menatap suaminya. 'Istriku gemesin banget, deh,' batin Alvin.

***

Akhirnya Alvin memanfaatkan layanan super express laundry—30 menit selesai untuk mencuci pakaian Audia yang kemarin. Agar bisa pergi ke mall. Alvin sendiri yang pergi ke tempat laundry. Salahnya juga, kemarin meminta tolong ibunya menyiapkan pakaian untuk Audia yang ternyata, yah, begitulah—hanya cocok dipakai di dalam kamarnya. Hmmm?

Audia dengan rambut panjang sepunggung—dibiarkan tergerai, gaun putih, sepatu high heels 5 cm, sedangkan Alvin, dengan kemeja kotak-kotaknya berwarna navy, celana bahan warna hitam, sneakers bertali, dengan rambut klimis—disisir ke belakang, tak lupa mengenakan kacamatanya, terlihat memutari area pakaian formal khusus wanita di mall yang baru saja buka sepuluh menit lalu, yang masih satu gedung dengan apartemennya. Beberapa potong pakaian Audia ambil—sengaja memilih yang bandrolnya paling mahal di antara pakaian yang ia taksir, untuk dicobanya di kamar pas.

Pakaian untuk Audia kuliah sudah dikantonginya di beberapa paper bag. Dan Alvin tampak terlihat biasa saja saat melihat bandrol dari enam stel pakaian yang istrinya pilih—demi membuatnya berhenti merajuk. Kemudian dia beralih ke tempat pakaian hari-hari yang berada satu lantai di atasnya. Lagi-lagi Audia memilih pakaian yang harganya paling mahal. Dengan menatap jahat suaminya. 'Rasakan pembalasanku! Hahahaha ...,' batin Audia.

Waktu sudah hampir masuk jam makan siang, pengunjung mall pun mulai ramai berdatangan. Alvin menggandeng tangan Audia, agar aman tidak berpisah jalan. Namun yang ada di pikiran Audia adalah, bahwa Alvin-takut-Audia-bakal-belanja-barang lain- dan-takut-uangnya-habis-dibelanjakan-istrinya. 'What? Yang benar saja!' Begitulah wanita, dengan segala asumsinya sendiri.

Hingga mereka melewati gerai alat-alat elektronik, yang memajang satu mixer idaman Audia—hand mixer KitchenAith berwarna merah, yang sering dia lihat kala menonton acara cooking & baking di televisi. Seketika langkahnya terhenti. Menatap takjub etalase itu hingga lupa berkedip.

Alvin yang menyadari tatapan Audia, tersenyum tipis, lantas menariknya untuk masuk ke dalam gerai itu yang masih sepi pengunjung. 'Mau ngapain?' tanya Audia tanpa bersuara.

Langkah mereka langsung menuju counter peralatan baking. Ada bermacam-macam merk mixer dan breadmaker dipajang lebih banyak di sana. Alvin langsung menunjuk hand mixer merk KitchenAith berwarna merah—yang persis di pajang di etalase depan kepada salah satu penjaga counter di gerai. "Yang itu, Mas."

"Mas Alvin ...," ujar Audia lirih, seraya menarik lengan kemeja baju Alvin yang digulung hingga sikunya.

"Kamu pengen, 'kan?" konfirmasi Alvin.

"Umm ..., tapi, kan, mahal," jawabnya berbisik, agar penjaga itu tidak mendengarnya.

"Kalau kamu suka. Gak masalah." Seketika Audia merasa tidak enak hati. "Mau warna merah? Atau yang lain?"

"Sukanya merah, sih, tapi nanti gak matching sama perabotan di dapur—nuansa hitam-putih," gumam Audia yang ditanggapi kekehan Alvin.

"Gak masalah. Sejak aku memutuskan untuk menikah, aku udah siap, kok, berbagi warna dengan istriku."

Pernyataan Alvin sontak membuat wajah Audia terasa panas dan memerah. Tersipu malu 'Ini mas Alvin, maksudnya lagi ngerayu, ya, di depan orang lain?' batin Audia. 'Boleh, dong, ya, ge er sama suami sendiri.'

"Jadi merah, ya?" tanya Alvin memastikan yang langsung dijawab dengan senyuman Audia. "Tapi dengan satu syarat, ya," lanjutnya. Spontan senyuman hilang dari sudut bibir Audia.

'Nah, 'kan. Gak mungkin gratis!' batin Audia.

"Ngambeknya udah. Gak marah lagi. Dan gak panggil aku 'pak' kalau kamu sedang kesal. Deal?"

"Okay!!" jawab Audia antusias. 'Ah, syaratnya mudah!' batinnya.

Setelah itu, Alvin menitipkan semua barang belanjaannya di tempat penitipan barang. Tujuan berikutnya makan siang. Alvin mengajak Audia makan ke restoran ala Jepang, dan memilih tempat duduk yang berada di pojok restoran itu.

Audia memesan menu chanko nabe (berisi bakso ikan, sayuran, sup dashi, tahu), sedangkan Alvin memesan yakitori—sate ayam ala Jepang, dan onigiri—nasi kepal yang diberi garam. Minuman sencha dan gyokuro (sejenis teh ocha yang dikenal di Jepang). Dan terakhir dua kakigori—es serut versi Jepang.

Pesanan tak lama dihidangkan dan mereka mulai menikmati santap siang dengan khusyuk, sesekali diselingi gurauan khas Alvin. Baru sehari menjadi suaminya, Audia akhirnya menyadari, ternyata sosok pak Mandala yang menyebalkan itu bukanlah karakter Alvin—yang menyenangakan, kecuali sifat jahilnya itu. Di mata Audia, Alvin adalah sosok suami idaman.

Audia sedang menikmati bakso ikan dan tahu dari menu chanko nabe, saat tak sengaja netranya menatap sosok perempuan muda yang dikenalnya, masuk ke restoran tempat ia dan suaminya makan siang, bersama dua orang asing yang tidak Audia kenal—pria dan wanita.

"Erika ...," katanya lirih.

"Siapa?" tanya Alvin penasaran dan mengikuti arah pandangan Audia.

'Mati gue! Sekampus bisa heboh ini besok!' batin Audia panik. Tanpa pikir panjang, dia langsung berdiri, menjulurkan tangannya ke rambut Alvin—mengacak-acaknya sehingga terlihat messy, kemudian melepas kacamata yang bertengger di hidung Alvin.

Alvin yang tiba-tiba mendapat perlakuan absurd istrinya hanya bisa berkata, "Hei ...."

Erika dan dua orang asing itu pun menyadari keberadaan Audia dan Alvin di sana, dan langsung berjalan menghampiri.

"Hai .... Audia makan di sini juga?"

***