ROMIO OR ROMEO [05]
Not you baby girl----I'm living in my own world---
Gue menggenggam benda berbentuk persegi Panjang itu, menatap lamat-lamat dengan pikiran yang bimbang untuk lebih memilih mengangkatnya atau tidak. Pasalnya panggilan itu dari bunda.
"alya pulang nya kerumah mina bund, tadi juga dianterin nya sama kak theo kok"
"ya syukurlah, bunda kira kamu marah sama kejadian di café tadi. Kamu gak papa kan?"
"iya bunda gak usah khawatir, alya baik-baik aja"
"sabar yah sayang, bunda bener-bener lagi ngusahain buat ngebujuk daddy kamu."
"hah?---ngebujuk apa bund?"
"yaa ngebujuk biar gak ngejodoh-jodohin kamu lagi"
"buat apa dijodohin lagi? Aku kan dah sama kak theo"
"alya---bun---bunda tau. Sebenarnya kamu gak punya perasaan apa-apa sama theo"
"eumm-eumm apaan sih bund, aku beneran suka----beneran suka kok sama kak theo, bunda ini ngomong apaan sih"
"alya, bunda tau kamu itu dari sejak kau masih jadi janin, bunda tau gimana perasaan kamu. Bunda tau sebenernya kamu gak punya perasaan apa-apa ke nak theo"
"maaf bund---
"----alya bunda---"
---tuttt-----tutt----
Gue matikan sepihak alat komunikasi itu, kemudian melemparnya ke atas nakas. Senyum getir terlukiskan di wajah gue. Kenapa sih bunda harus boongin gue dengan sok jadi seorang ibu yang khawatir dan bener-bener sayang? Jelas-jelas gue tau itu Cuma sandiwara. Bunda kenal gue sejak dari janin? Huh!---padahal gue diadopsi aja baru pas umur satu tahun, mana ada dari janin?---
Kaget kalian?
Gue itu anak adopsi. Daddy dan bunda mungkin gak tau kalau selama ini gue udah tau kalau gue itu anak adopsi. Waktu gue masih kelas satu sma atau tepatnya dua tahun yang lalu. Waktu itu bunda sempet nyuruh gue buat ambilin proposal perusahaan yang ketingalan di ruangan kerja khusus daddy.
Jujur, waktu itu pertama kalinya gue masuk ke ruangan yang dari dulu selalu daddy larang keras buat gue masukin. Gue membuka nakas berwarna coklat tua yang bunda bilang ada di samping rak buku.
Badan gue bergetar, air mata tumpah begitu saja. Gue menatap gak percaya sama dokumen yang gue pegang. Tak percaya dan terus mengatakan dalam hati 'enggak, ini gak bener, i—ini bohong!—ini bohong!!' tapi sekelebat bayangan dimana saat-saat gue selalu disiksa sama daddy bikin gue sadar dengan kenyataan yang sebenarnya dan mendukung apa yang disebutkan di dokumen itu. Mungkin daddy kelihatan benci sama gue selama ini yaa karena gue itu anak adopsi nya yang gak perlu diberi kasih sayang sepenuh hati cukup tuk jadi alat pemuas keinginan nya aja.
Dengan lirih gue eja " dokumen pe—penyerahan hak asuh hikssss…" di halaman selanjut nya bikin gue terpukul. 'bukti adopsi'.gue menggeleng gak percaya dengan foto yang tertera di lembar selanjutnya. Dimana disitu ada seorang wanita asing dengan ras kulit putih yang dinyatakan sebagai ibu kandung gue. Gue saat itu gak sanggup, rasa benci memenuhi relungan hati. Dengan cepat gue masukan kembali dokumen itu. Gak tahan buat lama-lama ngeliat kebenaran pahit yang selama ini ditutup-tutupi.
Ini alasanya kenapa bunda gak sekalipun ngijinin gue buat buka-buka dokumen data diri gue ataupun keluarga. karena bahkan di kartu keluarga bukan 'anak kandung' yang tertera tapi 'anak angkat'.
Sejak saat itu gue mikir jadi apa karena gue punya predikat 'anak adopsi' gue di benci daddy gue?--- di matanya kalau gue gak melakukan sesuatu sesuai keinginannya, daddy selalu bilang kalau gue itu 'anak yang mengecewakan'.
Sampai gue bisa bertahan bertahun-tahun dari perilaku kasar daddy ke gue, dan keteguhan hati gue yang selalu terluka. Dengan kedua mata yang selalu menatap memohon ke bunda yang Cuma ngelewatin gue dengan tatapan dingin disaat daddy selesai nyiksa gue. Tapi esok nya bunda bakal jadi pribadi yang hangat, sayang, dan seolah-olah peduli sama gue. Entah kenapa tapi makin lama gue makin mati rasa kalau gue tetap tinggal di bangunan yang gak bisa gue sebut 'rumah' lagi.
Gue kadang iri sama sahabat-sahabat gue. Ersya yang selalu cerita dengan semangat tentang ayah nya yang sering ngajakin dia jalan-jalan keliling Jakarta seharian walau ayahnya itu sibuk banget tapi bisa menyisakan waktu buat ersya. Iri sama cipa yang selalu dianterin ke sekolah bareng bunda dan papa nya bahkan sampai awal dia masuk sma. Iri seberapa pun nilai yang mereka dapatkan orang tua mereka selalu berkata tuk jangan menyerah, semangat belajar juga tingkatkan ditambah dengan kecupan juga pelukan hangat yang gak bisa gue dapet kecuali gue bisa melampaui target yang daddy kasih.
Apakah iya? Satu kecupan cinta dan sebuah pelukan hangat itu begitu mahal ya?... karena untuk ngedapetin itu gue harus belajar semaleman, les sampai dua kali satu hari, gak boleh keluar kamar kecuali gue udah ngisi soal-soal yang daddy kasih bahkan sampai lupa buat makan.
Semakin dewasa gue semakin peka, kalau semua di rumah itu cuman sandiwara. kehangatan, kecupan yang dari dulu gue damba-dambakan tiap hari dan diucapkan tiap gue berdoa itu udah gak gue inginkan lagi. Rasanya semua di rumah itu sudah hambar. Rasa yang dibilang nano-nano itu juga bahkan tak terasa lagi. semuanya pahit.
"kamu harus dewasa, semakin dewasa semakin kamu mengerti banyak hal. Dengan dewasa kamu gak akan terpikirkan tuk jadi kanak-kanak lagi dalam bertindak atau berfikir. Dengan dewasa kamu gak akan banyak ngecewain saya sebanyak yang kamu lakuin dulu. Semakin dewasa kamu bisa semakin pintar lagi, jadi saya tak sia-sia membesarkan kamu."
Itu kata-kata yang selalu daddy bilang ke gue.
Gue harus jadi 'dewasa' jadi 'dewasa' jadi 'dewasa'…sebegitu memalukan dan mengecewakannya masa kecil gue kah? Seolah-olah masa kecil gue itu masa kelam hitam yang harus daddy hapus dari kehidupan gue di masa depan.
Tapi, bukankah sifat kekanakkan pasti ada saja pada diri manusia dalam beberapa sudut dan sisi? Masalahnya hanya pada tak menyadari dan tak mau mengakui saja bukan? Sejujurnya Manusia itu memang mahluk yang paling egois, dan sulit untuk melihat apa yang ada pada diri nya sendiri. Terlalu sibuk untuk menilai kekurangan orang lain.